Ingatlah Hari Ini (Bagian 1)


Hidup kadang membosankan. Setiap hari bangun pagi, mandi, berangkat kerja. Sore nanti, pulang, mandi dan makan, melihat TV dan tidur. Masih beruntung bagi yang mempunyai keluarga, apalagi anak. Ada pergantian warna dari kerja ke keadaan rumah.

Terkadang kesendirian itu seperti kutukan. Apapun bentuknya, rasa itu menyeruak pelan-pelan. Ia tidak akan menjerit, lebih serupa seperti kanker. Pelan-pelan menjajah, sampai suatu ketika ia muncul dan kita terlambat menyadari kekuasaannya sampai mati.

“Pak?”

Pria itu menoleh. Kaca jendela berembun. Tetapi bayang-bayang samar sudah cukup menyiratkan bahwa benda di luar kaca itu adalah kepala manusia. Ia memandang ke depan. Hujan cukup deras. Orang diluar itu pastilah ingin menumpang. Ia bukan orang yang ramah, tetapi menolak orang yang menggigil seperti ini bukanlah jenis ketegaannya.

Tangannya menekan tombol. Kaca jendela turun sedikit.

“Apa saya boleh menumpang, Pak. Saya sudah menunggu angkot, tetapi belum ada yang lewat. Saya juga tidak bisa memanggil taksi online karena harga waktu hujan seperti ini lebih mahal dari biasanya.”

Pria itu mengangkat bibir. Rambut si pembicara tampak lepek. Mukanya sedikit biru. Bibirnya sesekali bergetar saat berbicara tadi. Wajah pria itu mengangguk membuat roman orang itu tampak hidup lagi. Ia membuka pintu mobil.

“Maaf, ya, Pak. Baju saya basah. Mobil Bapak ikut basah.”

Pria itu memutar tubuhnya ke belakang, mengambil jaket dan menyodorkannya pada orang itu. Tetapi wajah orang itu tampak bingung.

“Pakai saja.”

“Maaf, Pak. Saya tidak ingin merepotkan. Bagaimana nanti saya mengembalikannya.”

“Saya sering lewat jalan ini. Kalau kamu sering menunggu angkot di jalan tadi, kamu pasti akan sering ketemu aku.”

“Tapi—“

“Kamu bisa ganti ke belakang. Dan—“ tangannya meraih kaca spion dan mengarahkannya ke bawah. “Kamu bisa ganti tanpa takut ada yang lihat.”

Dia tampak bingung. Pria itu menangkap kekuatiran dari suaranya. “Jangan takut. Aku gay, kok.”

Mulut orang itu menganga, tetapi ia cepat-cepat menutupnya dan mencoba bersikap biasa. Ia mengucapkan maaf sekali lagi dan berpindah tempat duduk ke jok.

Pria itu menjalankan mobilnya pelan. Pikirannya mengembara lagi sampai orang itu bersuara lagi.

“Terima kasih, Pak. Saya merepotkan sekali?”

“Panggil aku Erik. Oh, ya. Di tas sebelah kananmu ada termos coklat panas kalau kamu mau. Habiskan saja. Sebelum pulang tadi aku barusan minum banyak.” Pria itu berbicara tanpa menoleh. Sebentar kemudian ia mencium bau coklat menari-nari di udara. Tangannya membetulkan kaca spion lagi.

“Nama saya Anne.” Orang itu melihat senyum lewat spion. “Kenapa? Nama saya lucu, ya?”

“Ketika masih kecil, aku sering melihat serial lima sekawan di TV. Nama salah satu anggota mereka  Anne. ” Matanya melihat ke spion. “Entah kebetulan atau tidak, penampilan Anne ini seperti kamu. Pakai bandana. Rambutnya lurus, dan kelihatan tak berdaya, tetapi justru peran Anne di kelompok itu penting. Dialah penengah masing-masing karakter di kelompoknya.”

“Bapak seperti Papa. Dia juga senang lima sekawan. Koleksi bukunya lengkap.”

“Oh, ya? Aku sendiri tidak suka baca, lebih enak nonton film. Papamu pasti orang yang pintar. Aku banyak punya teman yang pembaca. Pikiran-pikiran mereka rata-rata maju.”

Anne tidak menjawab. Ia berdehem membersihkan isi kerongkongannya. Tetapi lama-lama ia merasa tidak enak. “Apa saya perlu ke depan. Saya tidak enak berada di belakang. Nanti orang-orang mengira Bapak supir saya.”

Anne terkejut mendengar tawanya. Ia mengira pria itu jenis serius.

“Pertama-tama memang aku yang nyetir disini. Kedua, kenapa kamu perduli kata orang.”

“Berhenti.”

Erik menginjak rem mendadak. “Ada apa?” matanya jelalatan ke depan.

“Tidak ada apa-apa. Itu rumah saya.”

“Oh,” Erik menarik nafas. Ia mencoba memperbaiki penglihatannya karena titik-titik air di kaca mobil memburamkan pandangannya.

Rumah yang dilihatnya kira-kira seukuran tipe 36. Halamannya kecil dengan dua kursi dan satu meja di depan. Meskipun hampir-hampir tidak ada tanaman, tetapi tanah halamannya ditumbuhi rumput yang terpotong rapi.

“Rumahmu rumah Belanda.”

“Peninggalan Kakek.”

“Orang Belanda?”

Anne menggeleng. “Rasanya wajah saya tidak ada mirip-miripnya sama bule.” Anne membuka pintu lantas menuju samping pintu supir.

“Ma kasih, Pak. Besok temui saya di tempat tadi buat ini.” Anne mencubit jaket Erik di badannya.

“Sampai ketemu, Anne.”
***

Erik membuka pintu rumahnya, gontai. Ia duduk di meja bar, memperhatikan perabotan rumahnya, seakan-akan baru melihatnya hari ini. Tangannya meraih gelas dan menuangkan martini. Rangsangan baunya tidak seperti dahulu. Kalaupun ia meminumnya, ia merasa seperti meminum air putih biasa. Tidak ada dentingan piano di telinganya. Tawa itu sudah hilang. Menguar bersama tanah-tanah yang menyelimutinya.

Erik membanting gelas. Dentingannya justru tidak terdengar ketika menyentuh karpet di bawah kakinya. Ia menggumam-gumam lagu. Tangannya berpura-pura memegang gitar. Dengan semangat, ia menggerakkan jari, seakan-akan tali-tali gitar tak kasat mata didengarnya.

“Selamat malam, Doni. Kita ini cuma halusinasi. Kita hanya pandai membuat animasi, melagukan perasaan-perasaan kita. Entah sampai kapan aku gila membayangkan dirimu lagi saat ini.”

***

“Punya siapa itu, An?”

Anne kaget. Kepalanya dari tadi menunduk memperhatikan gulungan-gulungan air di mesin cuci.

“Baju Anne tadi basah, Ma. Terus dipinjami jaket punya teman.”

“Laki-laki?”

Anne tidak menjawab. Tangan Mamanya mengaduk-aduk di air dan mengangkat jaket darisana.

“Pacar kamu?”

Anne menggeleng.

“Ingat kata Papamu. Kamu tidak boleh pacaran sampai kuliah.”

“Iya, Ma.”

Anne mencoba membayangkan wajah Erik dan mencoba mengingat-ngingat setiap katanya.

Jangan takut. Aku gay, kok.

Erik begitu tenang sewaktu mengatakan dirinya gay. Tidak ada penekanan ataupun perendahan suara seperti yang tampak pada orang yang harus mengatakan sesuatu yang tidak ingin dikatakannya. Datar. Tanpa emosi. Sudah lamakah?

Esok harinya Anne berada di perpustakaan, di bagian buku-buku psikologi. Wajahnya gembira ketika membaca judul sebuah buku. Ia membawanya ke meja dan mulai membacanya. Waktu istirahat hampir dilewatkannya ketika sebuah tangan menyentuhnya.

“Serius sekali baca buku itu?” Penyapanya membaca judul buku itu. “Ada temanmu yang seperti itu?”

Anne menutup bukunya. Kalau ratu rempong sudah berbicara seperti ini, membaca buku adalah suatu kemustahilan.

“Aku pengin masuk psikologi. Dan kasus-kasus seperti ini marak. Daripada nganggur, mending sedikit-sedikit baca buku beginian.” Anne tiba-tiba teringat sesuatu. “Rasanya kamu enggak pernah masuk perpustakaan.”

“Kalau enggak mencari pendonor buat jajanku di kantin, jangan harap aku masuk kuburan buku ini.”

Anne tanpa sadar tertawa. Beberapa orang di depannya memasang wajah terganggu. Anne buru-buru menyeret temannya.

“Ngobrol di luar aja. Disini banyak kutu buku.”

“Termasuk kamu.”

Anne mendatangi meja peminjaman. Mbak petugas mengernyitkan muka ke Anne ketika membaca judul bukunya.

“Aneh, tuh Mbak. Buku ini kan ada di perpustakaan kita, lantas kenapa dia pasang muka seperti itu. Memangnya ini buku porno.”

“Udah, nggak usah ngurusin orang lain. Aku traktir tahu isi, yuk.”


Bersambung...

Bagian
12345678910
1112 13 14 15 16


gambar oleh Marie-Laure, weheartit.com

Ingatlah Hari Ini (Bagian 1) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar