Ingatlah Hari Ini (Bagian 2)


Apakah orang mempunyai kesadaran di saat-saat terakhir sebelum dia dilahirkan di dunia? Apakah Tuhan bertanya, “Kamu mau bakat apa? Mau miskin apa kaya?” Tuhan tidak pernah bertanya atau mengatakan apa-apa. Tiba-tiba saja seorang bayi terlahir kedunia dan di usia tertentu, ingatannya mulai berjalan. Logikanya mulai tumbuh. Saat itu ia akan mulai berpikir, Siapa aku? Dan mau apa aku? Maka, jika seseorang menjadi seperti ini atau seperti itu, orang itu tidak seratus persen bersalah. Tetapi orang itu harus berusaha mengatasi kekurangannya. Hanya saja ada orang yang terus berusaha, ada yang berhenti, dan ada yang gagal di saat-saat terakhir sebelum dia mati.

Erick melihat tumpukan kertas dengan mayun. Kapan pekerjaan-pekerjaan membosankan ini bisa selesai? Ia meletakkan pulpen kesayangannya. Pulpen berujung emas berwarna hitam. Mereknya seperti nama gunung di Eropa.

Ia bangkit dari kursinya menuju jendela besar. Pemandangan di seberang jendela itu yang membuatnya memilih ruangan ini. Kolam disana tidak pernah sepi pengunjung. Posisi hotelnya memang menguntungkan, dekat dengan sumber air panas. Siapa yang tidak suka berendam di air panas di daerah pegunungan seperti ini.

Entah kebetulan atau tidak, dosa selalu mempunyai cara untuk menggodanya. Tiap hari, selalu ada saja pria-pria berbadan tegap yang mampir kesana. Semula Erick mengagumi cara pria-pria itu melatih ototnya sampai seperti itu. Butuh kedisplinan. Telaten. Dan makanan yang cukup. Ia sendiri pernah mencoba membuat perutnya sixpack. Tapi tidak bertahan lama. Setelah tiga tahun latihan dan tidak membuahkan hasil, ia pelan-pelan mengakhiri keanggotaannya di klub fitness itu. Dia harus kembali puas bertubuh kurus, meskipun bukan jenis pria yang meributkan masalah diet.

Erick menggeleng-gelengkan kepala. Seakan-akan dengan cara itu ia dapat membersihkan kembali pikirannya yang kotor karena pemandangan di depannya. Ia berjalan balik menuju mejanya, menarik nafas dan mendorong kursinya lebih ke belakang. Matanya mulai terpenjam dan terbangun lagi setelah mendengar suara telepon.

“Maaf, Pak. Bapak tadi minta tolong diingatkan untuk menjemput keponakan Bapak jam 12.”

Erick melihat jam pada dinding dan bergegas pergi setelah mengucapkan terima kasih. Ia lega melihat Anne masih di tempat kemarin.

“Sorry, terlambat. Aku banyak rapat.”

Anne tersenyum dan menyerahkan jaket. “Tidak apa-apa.”

“Mau aku antar pulang seperti kemarin?”

Anne tanpa sadar mengangkat alisnya.

“Kamu tidak percaya denganku?”

“Bukan itu, Pak. Tapi—apa saya tidak mengganggu. Bapak tadi yang bilang kalau banyak rapat.”

“Kalau memang itu menggangguku. Aku tidak akan menawarkan.”

Anne duduk di kursi, samping Erick.

“Apa kamu keberatan kalau kita makan siang dulu sebelum kamu pulang? Kebetulan sekarang jam makan siang.”

Anne menoleh. “Makan siang? Sama saya?”

“Yeup. Tapi aku tidak memaksamu. Kalau kamu keberatan, sekarang juga kita ke rumahmu.”

“Tapi saya masih pakai seragam sekolah. Kalau tempat itu di mall-mall, mereka tidak akan menerima saya.”

“Jangan kuatir. Kita makan di tempat kerjaku.”

“Tempat kerja? Maksud Bapak di ruangan?”

“Aku kerja di hotel. Disana ruangannya selalu menarik dan banyak makanan enak.”

“Oh?” Mata Anne membesar. “Oke.”

***

Anne terbelalak. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

“Wowww. Tempat ini menyenangkan. Mudah-mudahan kalau saya kerja nanti tempatnya seperti ini.”

“Mimpikan dan jalankan.” Erick meraih kertas menu di meja. “Ini menunya. Pilih saja, nanti mereka akan antar kemari.”

Anne meraihnya dan membawanya ke kursi sofa. Belum lama duduk, matanya tertumbuk pada jendela dan pemandangannya. Ia bangkit lagi dan menuju ke jendela.

“Ruang kerja yang sempurna. Saya rasa saya tidak seperti di tempat kerja kalau suasananya seperti ini.”

Erick tersenyum dan duduk di sofa yang baru saja ditinggalkan Anne. “Mungkin. Tetapi tunggulah sampai beberapa lama, dan hal itu menjadi biasa lagi.” Erick kemudian menunjuk pada kertas menu.

Anne tertawa sambil menutup mulutnya. “Maaf. Saya pesan ini.”

Erick menelepon bagian dapur kemudian menemani Anne duduk di sofa. Mata Anne tidak lepas-lepas melihat kolam renang. Erick melihat kearah mata Anne melihat.

“Memang menyenangkan mandi panas di hawa dingin seperti ini.”

“Emm-eh.”

“Kalau kamu mau, mandi aja disana. Free of charge.”

“Benarkah?” Anne seperti ingin meloncat. “Tapi tidak bisa sekarang. Nanti pasti lama.”

“Sabtu ini tanggal merah. Datang aja kesini.”

“Benarkah?”

“Hemm-eh.”

“Terima kasih, Pak.” Anne tanpa sadar memeluk Erick. “Eh, maaf.” Anne membenahi duduknya.

“Tidak apa-apa.”

Erick dan Anne sama-sama menyadarkan punggungnya pada sandaran sofa dan Erick hanya sanggup diam selama beberapa detik.

“Kamu pernah punya pacar?”

Anne menoleh. Wajahnya tampak memerah sebelum terkena air panas kolam renang. Erick menangkap pandangan Anne dan membuang wajahnya ke bawah.

“Sorry, kalau pertanyaan itu terlalu pribadi. Aku cuma pengin tahu.”

Anne menoleh lagi. Kali ini raut wajahnya tampak aneh. “Maksud Bapak, Bapak belum pernah pacaran?”

Erick mengangguk pelan. “Kamu tahu aku gay. Aku tidak bisa berpacaran dengan wanita dan juga tidak bisa berpacaran dengan yang bukan wanita.”

“Lantas darimana Bapak tahu kalau Bapak gay?”

“Tolong, Anne.” Erick sedikit tersenyum. “Sebaiknya mulai sekarang kamu ganti kata Bapak menjadi Erick, dan kata saya menjadi aku. Supaya terlihat enak di dengar.”

“Tapi Bapak memang lebih tua dari saya.”

“Aku tahu. Tapi aku sudah bosan dipanggil Bapak disana-sini. Kata itu seperti stempel kalau aku tidak punya teman.”

“Oke. Erick.”

Erick hendak membuka mulutnya, tetapi mereka mendengar pintu diketuk. Seorang pelayan membawa meja dorong dan meletakkan semua perlengkapan makan di meja dekat sofa.

“Ayo, kita makan sambil ngobrol.”

Anne mengambil makanannya dan menikmati makan sambil menatap kolam renang.

“Dari kecil aku memang tidak menyukai wanita. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Pokoknya setiap melihat mereka, perasaanku biasa-biasa saja. Waktu SMP aku mulai berani menunjukkan kalau aku suka yang bukan wanita. Orangtuaku tahu dan mereka mengusirku. Mereka bilang aku tidak boleh menginjak rumah lagi sebelum membawa seorang gadis calon istriku.”

Anne tersendak. Tangannya menggapai gelas minum. “Maksudmu, kamu tidak pernah ketemu mereka sampai sekarang?”

Erick mengangguk. “Begitulah. Oleh karena itu, aku juga tidak pernah mencoba berpacaran lagi dengan sesamaku. Aku takut jika aku melakukannya, aku bakalan seperti itu seumur hidup. Aku harus menghindarinya jika ingin membawa gadis ke rumah orangtuaku.”

Pandangan Erick nanar menatap ke arah kolam. Kepalanya menggeleng-geleng keras dan membuang muka ke bawah ketika melihat seorang laki-laki sedang mengajari seorang wanita berenang.

“Sorry, aku mengajak kamu ngomong masalah ini. Rasanya tidak pada tempatnya.”

“Nggak apa-apa. Aku justru merasa senang. Belum pernah ada yang mengajak aku berbicara masalah-masalah seperti ini. Setiap hari aku hanya berbicara masalah pelajaran, tugas sekolah, ekskul, pokoknya hal-hal semacam itu. Kadang-kadang asyik juga punya topik pembicaraan yang lain.”

 Bersambung...

Bagian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16

gambar oleh: Marie-Laurie, weheartit.com

Ingatlah Hari Ini (Bagian 2) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar