Ingatlah Hari Ini (Bagian 11)


Anne melihat Erick membenahi alat pemanggang di gudang. Kepalanya melongok. “Mau kopi?”

Erick mengangguk. Ia mencuci tangan dan menuju sofa. Pikirannya bingung. Ia merasa tidak tenang. Baru pertama kali ada wanita disini. Ia tidak mempunyai pengalaman menghadapi tamu wanita, apalagi pada malam hari. Ia sempat berpikir menyuruh Anne langsung tidur, tapi urung. Meskipun Anne lebih muda; dia bukan anak kecil lagi. Erick sendiri tidak suka diperlakukan seperti anak kecil. Tapi jika harus berbicara ini-itu. Apa yang mesti dibicarakan?

Suara lepek beradu dengan meja menyadarkan Erick. Anne berbalik lagi mengambil gelas dimeja dan menuangkan susu di dalamnya. Erick menunggu Anne berbicara; berharap Anne seperti wanita pada umumnya. Cerewet, tapi setelah beberapa menit Erick menyadari Anne sama seperti dirinya. Menunggu.

Erick menyesap kopi. Rasa panas membuat tenggorokannya yang terasa lengket semakin lama semakin lega.

“Kita tak pernah punya pacar. Atau kita ini manusia-manusia pemalu.” Erick asal ucap.

Anne menoleh dan tersenyum. Aliran susu kembali masuk perutnya. “Aku tidak punya pengalaman bagaimana menyikapi cowok, dan kamu sebaliknya, tidak pernah tahu memperlakukakan cewek.”

Erick tertawa getir. “Lebih pengalaman sama cowok maksudmu?”

Anne pelan-pelan meletakkan kepalanya di bahu Erick; menyadari bahwa dia satu-satunya perempuan yang meletakkan kepalanya disana. Hentakan lengannya mengejang; setiap getarannya membuat degup jantungnya berubah-berubah kecepatan. Degupnya cepat, karena takut Erick menyudahinya, namun melambat saat Erick tampak membiarkan kepalanya tetap berlabuh.

“Erick?”

“Hemm?”

“Aku boleh jatuh cinta sama kamu?”

Erick memandang langit-langit rumah. Ia bukan tidak tahu kejadian seperti ini akan terjadi. Ini bukan pertama kalinya. Memang benar kata orang, pikirnya, sulit bagi pria dan wanita untuk tetap bersahabat dalam jangka waktu lama. Bahaya jatuh cinta selalu ada. Alam sudah mengaturnya demikian sejak Adam dan Hawa. Tetapi Erick tidak ingin Anne pergi. Harapannya yang sudah terkubur dalam-dalam mulai menguak dan muncul. Bulan di hatinya sedikit demi sedikit meninggalkan peraduannya; berganti dengan mentari.

Erick tetap tidak bisa merasakan Anne seperti seharusnya pria pada wanita, tetapi kehadirannya di rumahnya mengubah sedikit dari dirinya. Ia ingin suatu ketika perubahan itu akan bertambah besar. Selama ini Erick hanya memikirkan sesuatu d i dalam otaknya. Itu yang membuatnya ahli efisiensi di Valley Resort. Anne membuat pikiran itu bocor ke hati.

Erick merasa senang menunggu Anne memasak, sementara ia hanya tidur-tiduran di sofa. Untuk pertama kalinya ia menyerahkan masalahnya pada orang lain, meskipun cuma masalah lapar. Erick terkejut, ternyata perasaan dimanjakan tak selalu buruk, sebab jika demikian, tak ada anak yang mengingat kasih sayang ibunya lewat gendongan.

“Aku boleh jujur sama kamu?”

Anne merasa mulas. Ia menakuti kata-kata Erick berikutnya, namun cepat atau lambat keadaan seperti ini memang harus dihadapi.

“Aku pernah berpikiran jorok tentang kamu.”

Wajah Anne langsung berubah. Giginya sebisa mungkin menahan tawa, tetapi daya ledaknya lebih besar.

Erick langsung ciut. “Nah, kan. Sekarang kamu ketawa. Ya, udah, aku nggak jadi ngomong.”

“Eh, udah gede kok lebay. Memangnya sejorok apa sih?”

“Udah diam.” Erick pura-pura marah. Ia hendak mengangkat pantat; Anne menahan lengannya.

“Maaf. Menahan ketawa terkadang pekerjaan yang mustahil.”

Erick duduk lagi, mengatur nafas dan memandang pada mata di sebelahnya. “Aku ingin merasakan seperti yang dirasakan cowok ketika dekat dengan cewek. Debar jantung itu. Perasaan ingin terbang. Tidak bisa tidur. Tapi perasaan itu tidak pernah datang. Artinya—jika aku memaksakan diri sama kamu dan ternyata rasa itu gagal, aku akan menyakiti kamu.”

“Kamu takut gagal. Masalahnya disitu. Perasaan takut itu mencengkeram kamu dan kamu sudah masuk dalam penjaranya bertahun-tahun.”

“Aku bisa tahan jika akibatnya cuma ke aku, tetapi aku tidak sanggup menahannya karena menjadi dua kali lipat sebab melihatmu menderita juga karena aku.”

“Jangan. Jangan memikirkan bagianku. Aku tidak terpaksa menyukaimu. Lagipula, kita tidak pernah tahu kalau tidak pernah mencoba. Mungkin gagal, mungkin berhasil. Jika tidak pernah mencoba, sudah pasti gagal. Kamu tahu? Sewaktu kecil, gajah dirantai dengan rantai besar dan kuat, tetapi ketika besar justru diikat dengan tali selemah rafia; anehnya, gajah dewasa tidak pernah bisa kabur sebab perasaan menyerah sudah ada di pikirannya. Ketika kecil ia sudah mencoba meloloskan diri berkali-kali dan gagal. Perasaan gagal itu sedemikian tertanam dalam otaknya sehingga mempengaruhi usahanya.”

“Tapi—“

“Ssst,” Anne meletakkan jari di depan mulut Erick. “Sekarang pejamkan matamu.”

“Buat apa?”

“Sudahlah. Pejamkan saja.”

“Hilangkan gambaran wajahku. Ganti dengan cowok yang kamu sukai.” Anne menunggu beberapa lama, kemudian ia berbisik lagi. “Sekarang bayangkan yang kamu peluk sekarang dia.”

Anne melingkarkan tangannya di leher Erick. Kepalanya rebah di dadanya ketika pelukan Erick menguat. Pandangan Anne kabur. Matanya sedemikian hangat digenangi sampai tak sadar Erick merenggangkan pelukannya dan melihatnya.

“Aku sudah bilang Anne. Aku tidak ingin menyakiti kamu.”

Anne tidak menjawab. Kepalanya berusaha membuat liang di dadanya. Erick menyentuh pipi Anne dengan kedua tangannya. Sedemikian lembut sentuhan itu, seakan-akan takut pipi Anne akan rusak.

“Jawablah jujur, Rick. Andai ada seorang cowok dengan sifat dan karakter seperti aku, apakah kamu mau menjadi pacarnya?”

Erick mengangguk.

“Itu cukup buatku.”

“ Bagiku tidak. Kalau aku memang menyukaimu, aku harus menyukaimu sebagai kamu. Karena aku juga ingin kamu cuma jatuh cinta buatku. Aku tidak suka topeng. Sebab jika ya, lebih baik aku mencari orang yang mirip dengan topeng itu.

”Aku tahu. Aku masih proses belajar, sedangkan kamu tidak. Perasaanmu sudah alamiah, tapi aku harus mengganti perasaanku. Entahlah, Ne. Aku tidak tahu apakah perasaanku ini benar atau salah. Apakah orang-orang seperti aku ini cacat? Apakah apakah alam sengaja menciptakan aku? Atau memang kami ini orang-orang yang keluar dari jalur semestinya.“

Anne diam. Telinganya mendengar perkataan Erick. Ia hanya mengusap-usap punggung Erick, suatu hal yang sering dilakukan neneknya ketika ia masih bocah. Usapan itu begitu ajaib. Tanpa mantra, pun sugesti, begitu menenangkan. Erick ada pada titik yang membuatnya berhenti berbicara. Ia merasa salah berbicara hanya mengenai dirinya. Seharusnya tentang kita, bukan aku.

Erick merengkuhnya lebih dalam. Membentenginya seperti tembok. Suatu titik di benaknya lambat laun menggerakkan bibirnya. Dikumpulkannya keberanian itu. Keberanian untuk membentuk tiga kata. Kata yang seharusnya diucapkannya di awal masa remajanya. Bukan kata ikatan. Bukan pintu gerbang cemburu. Kata yang ditakutinya karena ia tahu siapa dirinya.

“Would you mind being my girl?”

“Guess it.”

Memang tidak perlu jawaban, jika setelah mendengar kata itu Anne masih memeluknya.

Bersambung... 

Bagian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16

sumber gambar: Marie-Laurie, weheartit.com

Ingatlah Hari Ini (Bagian 11) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar