Home /
cerita /
cerita pendek /
cerpen /
fiksi /
kisah /
masa kecil /
masa lalu /
persahabatan /
pertemanan /
Semangkuk Soto Daging Untukmu Kawan
Semangkuk Soto Daging Untukmu Kawan
Aku sangat suka menyantap soto daging madura. Kuahnya yang asin dan bau lemaknya. Potongan-potongan daging diatasnya dengan separuh telur ayam disamping selalu tampak begitu menggoda. Pengalamanku ber-soto-daging memang cukup lama.
Aku bersekolah dengan penuh semangat suatu pagi. Tetapi oops..aku lupa makan pagi. Padahal jam pertama adalah olahraga. Ya, mau apalagi. Mau tidak mau harus olahraga. Istirahat setelahnya kuisi dengan berlari ke arah samping lapangan sepak bola di depan sekolah. Disana sudah berdiri targetku. Penjual soto daging.
Kala itu harga soto daging cuma seratus lima puluh perak. Jika tambah kecap asin, harus menambah lima puluh lagi. Murah? Sebentar. Saya lupa menyebutkan kalau harga segitu adalah harga untuk anak SD sepertiku. Maklumlah berapa uang saku anak kecil waktu itu, tidak mungkin menjual ke mereka dengan harga normal di kisaran tujuh ratus rupiah. Namun konsekuensinya, dagingnya cuma dua iris kecil. Satu daging, dan satu iris ginjal coklat kecil.Supaya nikmat, kutambahkan jeruk dan sambel. Yamm...yamm.. perutku jadi penuh.
Kulihat Boby dan Purnomo juga asyik antri. Temanku itu memang sainganku disamping Irwan. Tetapi Irwan bertubuh gendut, sehingga kalah berlari dari mereka berdua. Aku mengamati mereka dari bawah pohon di depan rumah orang. Salah satu temanku, Widya tampak mengamati kami dari pintu gerbang sekolah. Aku menunjukkan mangkukku dan melakukan isyarat, "Apa dia tidak ingin soto?" Dia hanya tersenyum. Aku pikir saat itu dia cuma lagi kenyang, tetapi bertahun-tahun kemudian setelah dia meninggal, aku baru mengetahui kalau uang sakunya tidak cukup. Harap maklum jika aku tidak menyadari keadaannya. Kulitnya putih, wajahnya juga tampan. Sekilas orang akan mengira kalau dia anak orang berada. Rumahnya juga tidak mengecewakan. Terbilang elit jika dibandingkan dengan perumahan di belakang gang-nya. Tasnya juga ransel berwarna oranye. Cukup keren untuk ukuran anak SD saat itu.
Boby dan Purnomo sudah memegang mangkuk di tangan. Tiba-tiba Boby membuka mulut dan menjulurkan lidah. Tuh anak pasti kepanasan karena kuah soto diminumnya bulat-bulat. Purnomo tertawa. Aku tidak. Aku cepat-cepat menghabiskan sotoku karena akan ke rumah Harry untuk membersihkan badannku karena kami bersepak bola di lapangan yang sedang berlumpur karena hujan semalaman.
Purnomo melihat Ester juga sedang memegang mangkuk. Aku tahu apa yang ada di pikirannnya. Dia pasti memikirkan cara bagaimana mencuri seiris daging di atas nasinya. Purnomo menghabiskan porsinya cepat-cepat dan berjalan di belakang Esther. Ketika Esther melihat ke arah Linda yang sedang bermain loncat tali, tangan cekatan Purnomo mencuri daging di mangkuknya. Esther yang segera menyadari posisi dagingnya menangis dan merengek-rengek. Tangannya menunjuk-nunjuk Purnomo yang lari menjauh.
Aku tidak menyangka bahwa saat itu akan menjadi kenangan saat aku dewasa nanti. Botol kecap yang kutuangkan selalu mengingatkan akan Boby. Diatas irisan-irisan daging selalu tergambar wajah Esther yang merengek. Dan setiap suapan-suapannya selalu mengingatkan aku pada kejahilan Purnomo.
Aku meninggalkan warung soto daging setelah membayar lima belas ribu. Aku memandang uang itu tadi. Lagi-lagi bayangan uang logam seratus lima puluh perak menggantikannya. Bayangan kenangan masa kecil, ketika makan pun menjadi permainan yang menyenangkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar