Tanda
Karina duduk di bawah pohon pada tepi kali. Suara aliran sungai sejenak membuatnya lupa akan kegiatannya selama beberapa hari ini. Disekitarnya tergeletak beratus-ratus orang. Beberapa diantaranya mati, sisanya masih hidup atau setengah hidup. Bencana tanah longsor di dusun ini samasekali tak terduga. Banyak pohon-pohon di lereng dan rerimbunan semak-semak seharusnya menghalangi air menggerus tanah, tetapi kenyataanya sehari lalu berton-ton tanah dan batu hitam besar terguling-guling dari atas bukit. Karina dan teman-temannya dari sesama Pramuka diminta Kepala Desa membantu mencari penduduk, baik yang hidup maupun mati.
Warga desa tidak bisa mengharapkan bantuan alat berat dengan cepat sebab jalan-jalan menuju desa tertutup batu-batu, pohon-pohon besar dan material-material rumah. Mau tak mau, orang-orang melakukan pertolongan dengan cara manual.
Kardi memotong-motong tali rafia dengan warna yang berbeda, merah dan biru. Karina sempat menanyakan apa maksudnya.
“Tali ini diikatkan ke pergelangan orang-orang. Merah untuk yang mati, biru untuk yang hidup.”
“Kenapa susah-susah begitu? Yang mati bisa langsung kita kubur. Yang hidup kita rawat.”
Kardi menarik nafas panjang. Jengkel. “Kamu lihat sekeliling kita. Kamu mau meletakkan yang mati dimana? Yang hidup dimana? Semua bangunan hancur. Balai desa pun rata dengan tanah. Jalan-jalan dipenuhi pohon, batu, sisa-sisa rumah. Tanah pun belum stabil.”
Kardi melanjutkan memotong-motong rafia. “Lagipula, kita harus cepat-cepat menemukan orang yang masih di longsoran tanah, siapa tahu mereka masih hidup. Kamu tahu, kan berapa lama orang bisa hidup tanpa air? Tiga hari. Berdoalah mereka bisa mengais air di sekeliling mereka. Besok ada tim kesehatan dari tentara akan datang disini, mereka nantinya yang merawat.”
Karina bisa mengerti. Itu artinya pada hari keempat, mereka lebih banyak menemukan mayat daripada orang hidup. Dan dalam beberapa jam, Karina membantu Kardi mengikatkan rafia sebagai gelang pada orang-orang.
Setiap kali mengikatkan rafia merah, Karina merasa mau muntah. Keadaan mayat memang masih bersih, tetapi raut wajah mereka menggambarkan kesakitan. Karina tidak bisa membayangkan bagaimana adrenalin mereka muncrat ke aliran darah saat mereka menyadari akan mati.
Tempat Karina sekarang agak jauh dari Kardi. Ia di sebelah utara, sedangkan Kardi di Selatan. Tempat Kardi lebih dekat dengan orang-orang yang mengeruk-ngeruk tanah dengan alat seadanya, berusaha mencari orang-orang di timbunan material.
Karina mengusap keringatnya. Jam di tangannya menunjuk angka sebelas malam. Kepalanya berputar ke sekelilingnya. Masih banyak orang yang tak bergelang. Mengingat bahwa besok adalah hari terakhir ia membantu di tempat ini, Karina bergegas melanjutkannya pekerjaanya.
“Capek, Mbak?”
Jantung Karina mau copot. Dari setengah jam lalu ia bekerja sendirian. Suara orang di selatan terdengar seperti dengung lebah sehingga suara tiba-tiba seperti ini langsung membuatnya seperti kehilangan darah. Kepalanya berputar sedikit demi sedikit. Di jarak sepuluh meter, ia melihat sosok hitam. Listrik-listrik di seluruh dusun padam, tetapi sinar bulan membantu matanya mendapat gambaran sosok wanita.
Karina lega ketika melihat wajah wanita itu normal-normal saja saat dia mendekat.
“Bu, bisa bantu saya? Saya sedang memberi tanda orang yang mati atau hidup. ” Karina mengangsurkan beberapa rafia merah dan biru. “Merah untuk yang mati, biru untuk yang hidup. Ibu bisa meletakkan jari ibu dibawah hidung mereka untuk tahu mereka bernafas atau tidak. Kalau belum yakin, ibu bisa meletakkan tiga jari seperti ini di leher atau pergelangan tangan. Tekankan jari telunjuk dan jari manis dan rasakan detak darah di jari tengah.”
Ibu itu mengangguk. Tangannya yang bergelang rafia merah menjulur hendak meraih rafia-rafia dari Karina.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo .... mn lanjutannya ... keren
BalasHapusTerima kasih, Mas...
Hapus