Ingatlah Hari Ini (Bagian 15)



"Aku memang pernah menciumnya. Justru dari sana aku tahu Anne benar-benar menyukaiku. Bukan karena aku punya hotel ini atau bukan karena dia tidak laku. Aku bisa saja melakukan yang lebih jauh. Tetapi aku tidak mau. Aku menghargainya. Dia punya tempat istimewa di hatiku dan oleh karena itu. Jadi kesimpulannya. Dia bukan kelinci percobaanku.

"Aku memang pernah menciumnya. Justru dari sana aku tahu Anne benar-benar menyukaiku. Bukan karena aku punya hotel ini atau bukan karena dia tidak laku. Aku bisa saja melakukan yang lebih jauh. Tetapi aku tidak mau. Aku menghargainya. Dia punya tempat istimewa di hatiku dan oleh karena itu. Jadi kesimpulannya. Dia bukan kelinci percobaanku.

"Sekarang aku tahu.Kenapa aku tidak berhasil membangkitkan kelakilakianku ketika aku menyewa perempuan-perempuan itu biarpun mereka membuka seluruh pakaian mereka." Mata Erick menatap tajam pada Tania. "Karena aku tahu mereka melakukannya karena uang. Dan aku jatuh cinta pada Anne karena aku tahu dia benar-benar tulus, bukan uang."

“Dimana orang-orang ketika aku membutuhkan mereka? Dan sekarang orang-orang memaksa aku melakukan ini-itu. Komentar A-B-C-Z. Apa hak mereka?”

“Aku bukan orang-orang seperti itu. Kamu sendiri juga nggak pernah memberitahu aku dimana kamu sejak kamu pergi? Lantas bagaimana aku bisa menemui kamu?”

“Aku nggak pernah membaca berita kehilangan di surat kabar. Tak seorang pun mencari aku. Selamat malam Tania, aku capek. Aku mau pulang. Kita baru aja ketemuan setelah sekian lama. Aku nggak pengin dirusak masalah ini.”

Erick melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Mulut Tania ternganga. Ia menghapus air mata dengan punggung tangannya ketika kembali duduk di belakang kemudi.

*** 

Erick selalu memejamkan mata mengingat pembicaraannya pada Tania beberapa hari lalu. Nafasnya terkadang memburu jika kalimat-kalimat itu mondar-mandir di kepalanya. Lagi dan lagi. Tangannya berkali-kali hendak meraih ponsel dan menelepon Tania, tapi urung. Ia masih merasa dirinya sendiri masih labil. Ia takut, kejadian kemarin terulang jika Tania memicunya lewat kata-kata-katanya.

Matanya terbuka, dibenahi posisi duduknya. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Matanya tidak sengaja menatap kalender. Sebuah tanggal ia lingkari merah. Matanya terbelalak. “Ya, ampun,” ujarnya. “Aku hampir lupa.’

Ia menekan tombol angka dan berbicara sebentar pada orang di ujung telepon dengan serius. Punggungnya kembali bersandar di kursi. Kali ini matanya terbuka lebar.

*** 

“Gimana? Jadi datang, nggak? Masa sudah kayak Keanu Reeves begini kagak jadi.” Gordon mengelus-ngelus rambutnya, menyesal dengan jumlah minyak yang terlanjur menempel di rambut.

“Aku takut entar ayah Anne ngusir aku.”

“Ah, eloe. Kemarin-kemarin sok jago. Kayaknya nggak ada di dunia ini yang bakalan jadi sandungan. Sekarang malah kayak kucing kejebur got. Lagian, darimana dia tahu kamu suka anaknya. Bersikap biasa aja, ngkali.”

“Kalau ternyata dia udah punya pacar, terus pacarnya datang. Malu, dong.”

“Orang mancing butuh umpan. Orang dagang butuh modal. Apa-apa itu mesti diusahain dulu. Kalau pengin enak doang, sono no, jadi anak raja. Kakimu aja bakalan ada yang nyuci.”

Mata Rudy memandang keluar jendela sebentar sebelum berbalik menatap Gordon. “Aku rasa kita harus datang. Aku pengin tahu, kayak apa pacar Anne.”

Gordon menaik-turunkan siku tangan. Tangannya menyambar kunci motor sebelum keluar dari kamar.

“Lagipula,” bisik Rudy. “Aku bakalan tahu apa yang harus aku lakukan jika aku tahu siapa dia.”

*** 

Gordon duduk tenang, sabar menunggu Anne berbicara ini-itu sebelum acara makan dimulai. Ingin rasanya segera mengunyah makanan porsi besar di depannya. Tulisan di belakang nama restoran--All You Can Eat—membuat ludahnya tertahan penuh di mulutnya yang tertutup.

Kapan daging berkuah coklat itu hinggap…eh, kok hinggap? Emangnya kupu-kupu?

Kapan bola-bola daging di kuah panas itu meluncuri di lidah? Bah, ini lagi. Emangnya ski?

“Gordoooon, woi?”

Telinga Gordon kembali berfungsi. Ia melihat sekitarnya.

“Ayo, apa pendapatnya tentang Anne?”

Duh, ini acara apa? Pakai ditanyain pendapat? Jumpa pers? Gordon garuk-garuk kaki.

“Anne cantik?”

Anne mendengar suara tawa setelahnya seperti angin. Merambat pelan-pelan di sekitar telinganya. Samar, tetapi menyentuh lembut telinganya. Matanya ingin tahu, apakah di jendela sana akan terlihat sesuatu. Sesuatu yang diinginkannya ada di sini. Menit demi menit cuma meningkatnya rasa kecewanya.

Anne menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Pegas-pegas meredam keterkejutan hentakan dengan susah payah agar tubuh Anne kembali diam. Terdengar tarikan nafas panjang sebelum kepalanya rebah ke sampaing. Seketika mata Anne terbelalak. Matanya yang mulai adaptasi di kegelapan kamarnya melihat sosok di sudut dekat jendela. Korden menyamarkannya sehingga ia tidak menyadari ketika memasuki kamar. Ia menjatuhkan dirinya ke lantai; berlari cepat ke dekat lemari besar. Tangannya menggapai bagian atas. Sesuatu dari belakangya melesat dan memeluknya, membuat tegak.

“Ssst....aku Erick.”

Anne berhenti meronta. Tubuhnya berbalik cepat, seakan-akan memastikan apa yang didengarnya tidak salah.

“Erickkkk,” jeritnya tertahan. “Bagaimana kamu masuk kesini? Papa ada di depan, Mama lagi nonton. Tidak mungkin rasanya mereka mengijinkan kamu masuk.”

“Tidak selalu uang berbicara, tapi coklat. Dengan coklat berukuran cukup besar aku berhasil membujuk Aurora.”

“Oh, pantas. Dia tadi pengin tidur-tiduran disini sebelum berangkat, alasannya jam janjian masih lama. Terus apa yang dia lakukan?”

“Buka slot jendela.”

Mata Anne otomatis melihat ke arah jendela. Ia sekarang tahu alasan kenapa merasa udara agak dingin tadi. Erick kembali ke tempat ia tadi duduk dan kembali dengan membawa sebuah kotak; Mereka duduk di lantai berhadapan, menunggu Anne membukanya. Mulutnya ternganga ketika ia menyadari benda apa itu.

“Aku nggak tahu ini kebetulan atau tidak. Aku pernah punya ini dari kecil. Waktu SMP temanku tidak sengaja menjatuhkannya dari meja. Dua minggu aku nggak bisa tidur, karena aku terbiasa mendengarnya sebelum tidur.”

Anne memutar tuas besi di samping kotak. Suara nada dari batang-batang besi kecil beradu membentuk nada romance de amor. Erick membaca kata terima kasih dari mata Anne ketika tubuhnya condong ke arahnya.

“Selamat ulang tahun. Kamu bukan anak kecil lagi.”

Mata itu masih menuliskan lagi. Apa cuma ini hadiahnya?

Mata itu. Mata itu lebih bernyawa dari sebelumnya. Erick merasa ada sesuatu yang tak pernah dirasakannya sebelumnya sedang merayapi hatinya. Mata wanita. Mata itu tak pernah membuatnya seperti ini. Apakah itu artinya.....Anne. Erick hendak mengucapkan terima kasih, tetapi menariknya lagi. Ia masih tak yakin dengan perasaannya saat ini.

Erick sudah tidak melihat mata itu lagi. Mereka tertutup ketika Erick merasakan hembusan hangat nafas Anne melewati bibirnya. Pikirannya masih demikian kacau meskipun wangi pasta gigi mentol mampir ke hidungnya. Di satu sisi, Erick merasakan bahaya yang ingin dicegahnya. Gelap. Berdua. Di tempat sempit. Hanya mereka berdua. Di sisi yang lain, Erick ingin tahu sampai seberapa dirinya bisa menerima sesuatu yang baru. Impian lamanya. Impian yang membuatnya kembali ke rumahnya sendiri.

Nada Romance de amor sudah menghilang beberapa detik lalu. Telinga mereka hanya mendengar nafas. Bel bahaya semakin kencang berbunyi. Erick dengan susah payah menarik tubuhnya menjauhinya.

“Jangan Anne. Ini sudah nggak benar.”

Anne membuka matanya lagi. Tangannya terangkat mengusap bibir Erick dengan telapaknya.

“Aku harus pergi sekarang. Tapi aku janji, suatu saat, aku nggak akan pergi lagi. Kita bisa bersama-sama sampai pagi.”

Anne mengangguk. Ia memeluk Erick erat-erat, sampai telinga mereka mendengar suara berjalan mendekati pintu. Erick menjauhkan tubuhnya cepat-cepat. “Met malem, Anne sayang. Ntar kita ketemu lagi.”

Erick berlari kecil menuju jendela. Anne masih melihat Erick menatapnya dari balik jendela, tepat sebelum terdengar ketukan.

Bersambung...

Bagian
12345678910
1112 13 14 15 16

Ingatlah Hari Ini (Bagian 15) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar