Ingatlah Hari Ini (Bagian 9)


Pandangan Erick dan Anne tertuju pada hal yang sama. Seseorang beruban berdiri di depan pagar. Sorot matanya menembus kaca depan mobil. Kerutan dahinya terlihat jelas. Tangannya diletakkan di belakang punggung. Ia membuka pintu mobil meskipun Anne mencegahnya.

“Kamu masuk dulu, Anne. Ayah ingin berbicara dengan temanmu dulu.”

‘Tapi, Yah, Anne—“

“Ayah bilang kamu masuk.” Nadanya meninggi.

Anne menatap Erick sebelum menutup pintu. Lewat gerakan mulutnya,Erick bisa membaca maaf.

“Silakan duduk di teras ini dengan saya.”

Erick mengikuti duduk di kursi sebelah orangtua itu. Ia menunggunya berbicara sesudah menatap Erick tanpa malu-malu.

“Kalau boleh saya tahu, Anda ini siapanya Anne—anak saya.”

“Perkenalkan, nama saya Erick.” Uluran tangannya tidak mendapat sambutan. “Anne bertemu dengan saya untuk membicarakan ijin pemakaian tempat di tempat kerja saya untuk acara perpisahan.”

“Apakah tempat kerja Anda buka sampai malam seperti ini?”

“Ya, Pak.”

“Memangnya Anda bekerja dimana?”

“Valley Resort.”

Raut muka Deni, ayah Anne, tampak berubah sedikit. “Apakah ada teman-teman Anne yang ikut tadi?”

Pembuluh darah kepala Erick mengeras. Ia menimbang-nimbang beberapa jawaban yang tidak dapat menjebaknya dan Anne.

“Aurora tadi menemani Anne.”

“Saya sudah menelepon orangtua Aurora tadi. Mereka mengatakan Aurora sudah pulang sejak siang tadi. Kenapa Anne masih bersama Anda?”

Erick melirik kelambu di jendela kirinya; terbuka sedikit. Muka Anne terlihat sedikit. Erick mempertajam penglihatannya, siapa tahu Anne ingin mengatakan sesuatu, tetapi bibir itu terkatup.

“Saya berdiskusi agak lama, karena tempat saya tidak cukup menampung mereka. Saya mengusulkan tempat lain dengan harga yang berbeda. Kami lama bernegoisasi harga.”

“Baiklah. Tapi saya harap Anda mengerti. Ini sudah terlalu malam. Kalau tetangga kami melihat Anne diantarkan pulang oleh seorang pria—yang saya rasa Anda lebih tua dari anak saya—tentu hal itu akan menjadi pembicaraan di sekitar sini.”

“Saya bisa mengerti. Tetapi saya lebih tidak enak membiarkan putri Bapak pulang dalam malam selarut ini. Jika nanti saya—”

“Oleh karena itu saya tidak menginginkan anak saya pulang selarut ini. Saya harap ini terakhir kalinya Anda mengantar puteri saya. Dan sebagai orang pria yang lebih dewasa dari anak saya, mestinya Anda dapat mengingatkan puteri saya.”

Erick ingin menyanggah, tetapi sudut matanya melihat sekilas di jendela sana, Anne seperti menempelkan telunjuk di bibir.

“Saya minta maaf. Kalau begitu saya akan pamit.” Erick hendak bangkit.

“Sebentar. Maaf, jika saya menanyakan ini pada Anda.”

Erick kembali duduk.

“Apakah Anda pacar anak saya?”

Erick menelan ludah. Ia melihat raut muka Anne sama seperti dirinya.

“Tidak. Tentu saja tidak.”

***

Anne hanya memain-mainkan sedotan di gelas jus apukatnya. Sapuan-sapuannya membentuk busa pada permukaan dan membuatnya tidak berselera minum. Sejurus kemudian punggungnya menempel pada sandaran kursi. Rudy yang duduk di seberang beringsut duduk di depannya. Anne melirik dan membuang pandangannya ke luar jendela. Mood-nya hilang beberapa menit yang lalu. Dan ia paling benci ini. Mood itu datang sewaktu Rudy mengambil foto-fotonya. Pagi terkadang memberi energi tak kasat mata. Ia mempengaruhi melalui lukisan mega. Warna keemasan. Aliran udara yang beberapa saat lalu membuatnya terkantuk. Tapi sekarang siang. Segalanya cepat berubah. Aurora pamit akan ke kamar mandi. Itu setengah jam yang lalu. Ia mulai mengerti skenario hari ini. Rudy akan menyatakan cintanya. Ia pasti bekerja sama dengan Aurora.

“Ne…aku suka sama kamu.”

Nah, kan. Apa kataku.

Anne tidak ingin menyakiti makhluk apapun. Otaknya berpikir keras harus menjawab apa. Jawaban yang tidak menyakiti Rudy dan tidak membuat dirinya sendiri terjebak. Jawaban yang cukup imut, bisa membuat Rudy tersenyum meskipun ia gagal.

“Terima kasih.”

Rudy tampak senang. Ia ingin waktu tunggu setelah ini membuatnya lebih senang. Tapi Anne tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbicara lagi. Rudy menarik nafas panjang.

“Sudah? Gitu aja?”

Wajah Anne datar. “Lantas aku harus ngomong apa?”

“Kamu mau jadian sama aku?”

Kata jadian sudah sangat jelas. Anne kesulitan memelintir kata itu. Kali ini gantian Anne yang menarik nafas panjang.

“Papa tidak bolehin.”

“Tidak harus sekarang. Setidak-tidaknya kalau kamu tahu aku suka kamu, aku duluan yang bakalan ada di pikiran kamu, kalau kamu udah siap.”

Anne mencibir dalam hati. Dia pikir cinta itu mekanik. Sebab akibat? Bisa dirancang? Cinta itu lembut. Dia masuk seperti pencuri. Tumor kehidupan. Ia bisa bahagia, bisa juga menderita. Mata adalah pintu gerbangnya. Hati adalah pelakunya. Beberapa saat lalu, Anne masih merasa simpati. Sekarang, rasa itu memudar.

“Aku tidak menjanjikan apa-apa. Kita lihat nasib kita nanti. Kata orang jodoh nggak akan kemana.”

Anne merasa bukan tebakan lagi. Sesi foto ini cuma akal-akalan Rudy supaya bisa berduaan. Mungkin saja Rudy benar-benar mengikuti lomba fotografi. Tapi sudah jelas, Rudy memanfaatkan kesempatan ini bukan sekedar mengambil foto.

Aurora bergabung dan duduk bersandar pada tiang gazebo. Anne beringsut berdiri. “Maaf, ya. Aku pulang dulu.” Ia menoleh pada Rudy. “Ada seseorang yang luput dari perhatianmu. Dia imut. Cerewet, tapi termasuk cewek yang manis. Kenapa nggak milih, dia sih?”

Aurora melotot. “Kamu ngomong apa, sih Ne? Kepanasan, ya?”

“Anterin aku pulang.”

“Lho?” Aurora melirik Rudy. “Emang foto-fotoannya udah selesai?”

Anne diam-diam sudah memesan taksi online saat berbicara dengan Rudy. Mobil itu tepat datang ketika Anne dan Aurora sampai di tepi jalan.

“Dibayar berapa sama Rudy?”

“Apa maksudmu?”

“Kamu tahu maksudku. Kalian kerjasama? Agar dia bisa nembak aku?”

“Kalaupun iya, apa salahnya?”

“Kamu sudah mengakuinya kalau begitu.” Anne mendesah. “Laki-laki apa yang butuh mak comblang. Nggak berani sendiri? Sudah gitu, nyinyir masalah jodoh. Jodoh itu begini begitu.”

Aurora geleng-geleng kepala. “Ampun, Ne. Memangnya kita umur berapa? Kamu ngomong kayak ahli filsafat.”

Druut..uuttt.

Anne tertawa mendengar suara perut Aurora. “Lapar? Mangkanya jangan sok aksi ke kamar mandi. Nggak dapet jatah makan. Rasain lo, laper.”

Aurora cemberut. Ia melipat tangannya di dada. “Tega.”

“Udah. Kita mampir di resto burger yang baru buka itu. Apa namanya, Giant Burger?”

Mata Aurora bercahaya. “Beneran kamu traktir aku kesana.”

Anne mengangguk. “Lumayan bayaran jadi model tiban-nya Rudy.”

Aurora memeluk Anne. “Kamu nggak marah sama aku?”

“Bukan kamu, tapi Rudy. Entahlah kenapa aku kok nggak suka cowok pengecut. Ngomong gitu aja nggak berani. Nggak romantis lagi.”

“Jadi kamu itu suka cowok romantis?”

“Nggak juga. Tapi setidak-tidaknya dia nunjukin usaha. Nggak usah ngrepotin orang lain.”

“Kalau aku suka yang bad boy.”

“Nakal banget juga enggak-lah,” protes Anne. “Gentleman, gitu lho”

Bagian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16

sumber gambar: Marie-Laurie, weheartit.com

Ingatlah Hari Ini (Bagian 9) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar