Anne mengenali sepeda motor itu. Biru tua. Ban sport botak. Rem cakram di depan dan belakang. Tangki bahan bakar besar dengan rantai perak. Ada apa dia kesini? Papa sudah pulang?
Anne merasa badannya mendadak lemas. Ingin rasanya lari dari tempat ini. Tapi mau kemana? Rumah eyang di luar kota. Rumah om juga diluar pulau. Mau menginap di rumah teman? Masalah bisa lebih besar lagi.
Dari pagar rumah, Anne bisa melihat Rudy sedang duduk di depan papanya. Garis-garis wajahnya lurus. Rahangnya terkatup rapat. Mataya menyorot tajam ketika Anne pelan-pelan memasuki rumah. Rudy sadar Anne datang, ia memutar badan. “Ne.”
Anne tidak berani memandang Rudy. Ia masuk ke rumah, berganti pakaian dan menemui Rudy. Anne tidak banyak berbicara. Ia tahu papanya sedang menguping di balik ruangan. Antara ruang tamu dan ruang keluarga cuma disekat dengan papan jati berukir. Tingginya tak sampai langit-langit. Pantatnya serasa duduk di kompor. Pandangannya sering dibuang ke arah luar pintu. Rudy pamit ketika tukang bakso kesayangannya lewat.
“Ngapain kamu kesini?” baru kali ini Anne berbicara, setelah mereka sampai di depan pintu pagar.
“Emangnya kenapa? Bertamu itu melanggar hukum?”
“Sudah aku bilang, papa nggak suka ada laki-laki datang ke rumahku?”
“Kalau papamu nggak suka, bukannya dari tadi dia usir aku?”
Anne ingin menjitak kepala Rudy. Tapi urung. Rasanya kepalanya lebih keras dari batu, pikirnya.
“Aku cuma pengin buktikan ke kamu, aku serius. Aku berani ketemu ayahmu, itu artinya aku nggak macam-macam sama kamu. Kalau aku nekat, kecurigaan mereka langsung ke aku.”
“Apa aku sudah menjawab Ya atau Tidak.” Anne merendahkan suaranya agar tidak tampak emosi.
“Memang tidak. Itu hakmu. Hakku juga berusaha.”
Anne tidak ingin meneruskan pembicaraan. Sudah jelas baginya, siapa Rudy itu. Ia merasa percuma saja harus berceramah. Ia biarkan Rudy berbicara apa saja, sampai Rudy merasa sendiri, Anne tidak ingin berbicara apa-apa lagi. Begitu Rudy berlalu, jantungnya lebih berdetak keras. Dulu, ketika Erick baru saja berlalu dari rumahnya, ayahnya langsung bertanya dan menasehatinya sampai dua jam lebih. Anne hanya bisa duduk di depan ayahnya. Membalas perkataan papanya cuma memperpanjang waktu kemarahan ayahnya. Tapi waktu itu, Erick berbicara dengan ayahnya dengan sopan. Jawaban-jawaban Erick bisa diterima ayahnya.
Sikap Rudy lebih mencemaskan. Sampai saat ini tidak ada teman cowok manapun yang berani datang ke rumahnya. Apa kata papa nanti? Anne seperti mau mati rasanya. Duh bodohnya Rudy.
***
Erick berjalan-jalan mengelilingi Valley Resort. Sesekali tangannya menyapu kursi atau meja. Diusap-usapnya jempol dan telunjuknya. Seorang bellboy berdiri tidak jauh dari situ. Nafasnya terhenti ketika mengawasi wajah Erick. Saat wajah itu mengendur dan melanjutkan perjalanan, senyum di bibirnya mengembang. Penerima tamu di front office bergegas merapikan diri. Tas kresek berisi gorengan ia masukkan ke dalam laci. Tangannya mencari-cari tisu basah. Ia semakin panik melihat Erick ke arahnya. Teman satunya yang sedang bermain ponsel langsung memasukkan ponsel ke dalam saku. Ia tidak sempat mematikan suara game. Harapannya satu, semoga suara game tidak terlalu terdengar sampai di depan meja.
Hanya tinggal beberapa langkah, Erick berhenti. Tangannya merogoh kantong. Sambil meletakkan ponsel di telinganya, ia berjalan ke luar hotel.
“Ada apa, Ne. Kok suaramu gitu? Habis nangis?”
“Rick, kamu mau jemput aku.”
“Dimana?”
“Kamu masih ingat, sebelum masuk ke gang rumahku ada pos ronda? Aku sudah disitu. Nanti aku ceritain.”
Melihat rambut Anne tidak tersisir rapi, Erick sudah punya beribu pertanyaan. Ia menahan diri sampai Anne masuk ke dalam mobil.
“Nggak usah kuatir. Aku sudah menyuruh orang untuk mengatur pesta sekolahmu. Kamu tinggal datang dan jalankan acaranya saja.”
Anne menoleh. Matanya berkaca-kaca. Erick bingung.
“Aku benci Rudy.”
“Rudy? Siapa dia? Teman sekolah.”
Anne mengangguk. “Gara-gara dia, papa tidak kasih uang saku selama sebulan. Aku harus ikut mobil antar jemput. Itu artinya aku tidak bisa kemana-mana sehabis sekolah. Dan aku tidak boleh ikut pesta sekolah nanti.”
“Lho, sampai sebegitunya. Memangnya apa yang dilakukan Rudy?”
“Kamu sudah tahu, kan. Papa nggak suka aku pacaran sampai selesai kuliah.”
“Terus?”
“Rudy datang ke rumahku. Entah apa yang dibicarakan Rudy sama Papa. Papa marah besar. Bahkan Papa tidak mengijinkan aku kuliah keluar kota, padahal aku ingin masuk Psikologi Airlangga.”
Erick membelokkan mobilnya masuk ke jalan besar, tepat saat lampu perempatan merah.
“Papamu masih emosi. Aku yakin, setelah reda, dia akan mengubah keputusannya.”
“Papa udah sering seperti ini. Papa tidak pernah merubah pikirannya kalau sudah mengambil keputusan. Itulah sebabnya, aku berusaha menjaga agar tidak ada masalah sama Papa.”
“Sebentar, kita ini mau kemana?”
“Terserah kamu. Kemana aja aku nggak perduli. Aku cuma pengin keluar rumah. Gara-gara dia, aku jadi nggak punya uang buat kemana-mana. Padahal sekarang kan Sabtu. Masa Sabtu di rumah aja.”
“Entar Papa cari kamu. Lebih berabe kalau kamu nggak pulang sekarang.”
“Papa dan Mama pergi keluar kota. Ada nikahan dari keluarga orangtua Papa. Senin baru balik.”
Erick mengetuk-ngetuk kemudi. “Sekarang waktunya tanggung. Mau kemana-mana nggak bisa lama. Kalau ke rumahku aja gimana? Dua hari yang lalu aku habis mancing. Masih ada Marlin di kulkas. Bikin ikan panggang, yuk.”
“Oke. Kayaknya asyik,” wajah Anne berubah seribu derajat.
“Aku barusan lihat wajah bidadari. Padahal tadinya Piglet.”
Anne memukul lengan Erick. “Lebay.”
***
Anne belum pernah melihat orang menyiangi ikan sedemikian cepat. Rasa-rasanya pisaunya hanya bersinggungan dengan ikan sepersekian detik. Tadinya Anne bermaksud membantu mempersiapkan tempat pemanggangan dan menyiangi ikan, tetapi Erick mengerjakan sendiri dengan cepat. Anne malah masih berpikir bagaimana memakai tempat pemanggangan BBQ. Bagaimana juga membuat bara dengan arang.
Anne duduk di samping Erick; melihat apa yang dikerjakan Erick sudah membuatnya merasa nyaman. Sepertinya segala permasalahan bisa diselesaikan dengan cepat kalau ada Erick.
“Kamu sering masak ikan?”
Erick mencelupkan kuas di bumbu dan menyapukan pada ikan. Asap berhamburan ketika tetesan bumbu mengenai arang.
“Aku pernah tiga hari di pulau tanpa penghuni. Maksud semula hanya memancing sehari, tetapi ombak di jam kepulanganku tinggi banget. Mungkin nelayan penjemputku takut. Aku bertahan hidup hanya dengan memancing ikan. Sejak itu aku terbiasa masak ikan cepat-cepat.”
“Oh, ya. Sendiri?”
Erick mengangguk. “Kenapa? Heran? Nggak banyak pemancing yang mau aku ajak memancing di pulau sendirian.”
“Kapan-kapan aku mau ikut kamu mancing.”
“Beneran? Berarti kita harus nikah dulu.”
Anne mengerutkan kening. “Apa hubungannya?”
“Kalau kejadiannya kayak yang aku ceritakan barusan, bagaimana? Tiga hari di pulau sepi hanya berdua. Kamu yakin aku nggak berbahaya buat kamu?”
Baru kali ini Anne melihat sisi lain Erick. Bukan sok alim. Berpura-pura gentleman, tetapi lebih serupa seorang kakak.
“Memangnya kamu bisa?”
Wajah Erick langsung berubah. Anne menilai, ini adalah wajah Erick yang paling tegang selama ia mengenalnya sejauh ini.
“Sorry, Rick. Aku cuma bercanda. Aku lupa kalau—“
Ada senyum terpaksa ketika Erick menyodorkan tusukan ikan panggang. Anne menyesal. Ia merasa terlalu terlarut dengan suasana sehingga berbicara tanpa rambu-rambu.
Erick duduk di sampingnya. “Ayo makan ikannya, keburu dingin. That’s okay.“
Bersambung...
Bagian | |||||||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 |
11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 |
gambar oleh: Marie-Laurie, weheartit.com
0 komentar:
Posting Komentar