Ingatlah Hari Ini (Bagian 7)



“Gila..ini gila.” Gordon mengelus-ngelus dagu. “Bagaimana bisa rancangan pengeluaran kita bisa lebih lima puluh persen dari seharusnya?”

“Terang aja mahal, coy. Kita mau pakai Valley Resort. Turun dikit kenapa grade-nya. Lapangan sekolah juga gak pa pa.” Suara Aurora tercampur makanan di mulutnya.

“Dasar ndesit…pikiran desa…nggak maju….kita ini mau perpisahan. Apa salahnya bikin sesuatu yang bakal dikenang anak cucu.”

Sisa-sisa makanan mampir di tenggorokan Aurora. Mulutnya terbuka karena tersendak. Semprotannya mengenai muka Rudy.

“Damn…kamu boleh aja nggak setuju, tapi tak perlu bertingkah seperti orang ndesit.”

Aurora mengambil tisu dan mengelap mulut.

“Jangan mengolok orang desa, Bos. Kutit beli beras dari ndesit. Kamu nggak punya desa, ya?”

Gordon memukul meja pelan. “Udah…udah. Kenapa kalian selalu berantem? Omongan kalian sama-sama benarnya. Kita disini mau rapat buat nyelesein masalah. Jangan bawa masalah rumah tangga kemari.”

What?” Rudy dan Aurora berpandang-pandangan. “Punya istri kayak Aurora bisa merusak makan pagiku.”

“Emangnya aku suka ama kamu? Dasar bola daging.”

“Aku bisa mengusahakan pemecahan masalah ini.”

Seluruh ruangan diam menatap Anne. Aurora melirik Anne dan menyesap minumannya. Gordon menyandarkan punggung. “Maksudmu kita tetap bisa di Valley Resort—“

“Dengan harga lebih murah.” Anne menimpali. “Beri waktu aku sekitar dua harian.”

“Kamu mau apa? Cari dana? Ngompas kepala sekolah?”

Anne melotot pada Rudy, kemudian menebar pandangan ke seluruh ruangan. “Bagaimana?”

Gordon memandang wajah peserta rapat satu persatu. Ia mengambil kesimpulan semua yang hadir setuju.

“Aku tahu apa yang kamu pikirin? Kamu mau minta bantuan dari Erick. Iya, kan?”

“Lantas kenapa. Salah? Ingat. Aku baru saja memaafkan kamu dan itu hanya berlaku sekali. Aku tidak mau orang mencampuri urusanku. Lagipula, antara aku dan Erick tidak ada apa-apa. Aku kesana supaya kita bisa tetap bisa pakai tempat itu dengan harga murah, bukan karena hal lain.” Anne menghentikan langkahnya dan berbalik. “Kenapa kamu care sekali terhadap hubunganku dengan Erick. Jika memang ya, lantas kenapa? Itu sama sekali bukan urusanmu.“

“Ok..ok. Aku tidak akan komentar apa-apa lagi. Tapi aku boleh ikut?”

“Tentu. Aku kesana bukan buat nge-date. Buat apa takut kalau kamu ikutan.”

*** 

Aurora mendelik. Air liuran hampir menetes. Seumur hidup baru kali ini ia duduk dengan macam-macam roti di depannnya. Ia menunggu Anne selesai menjelaskan pada Erick, tetapi sudah hampir se-abad, Anne masih terus mencerocos.

Erick melirik Aurora. Mereka beradu pandang. “Ambil aja Rora. Itu bukan pajangan.”

Wajah Aurora seperti Donal Bebek bertemu Desi Bebek. Tangannya mencomot Lapis Surabaya. Bumbu spikunya harum. Selai nanasnya kuning gelap dengan kuning telur yang matang sempurna.

Plakk.

Auhh. Aurora membuka mata. Noda selasi ada di hidungnya. Roti di depannya tiba-tiba menempel disana. “Kenapa jitak aku? Kalau kamu ngomong, ngomong aja. Aku laper.”

Anne melotot. Ia berbalik ke arah Erick. Senyum samar di bibirnya sempat ditangkap Anne. “Jadi bagaimana?”

“Dengan asumsi semua temanmu datang, hall-nya nggak bakalan cukup, Ne. Gimana kalau aku tawarkan tempat agak keluar kota. Disana hotel kami punya tempat buat outbound. Kita bikin model pesta kebun. Ini perpisahan sekolah, pasti rame banget kalau bisa ngadain di tempat yang lumayan luas. Aku bisa kasih free tempat. Diluar makanan, lho.”

Anne memandang Aurora. Mulutnya cepat-cepat menelan roti. “Telpon Bos dulu.”

Anne menelepon Gordon. Tak sampai dua menit. Anne berjalan mendekati meja Erick lagi dari tempat dekat jendela. “Oke, Pak Erick. Bos kita sepertinya oke-oke aja.”

Aurora bertepuk tangan. Tidak lama. Pelototan Anne menghentikan aksinya seketika. Anne dan Aurora menghabiskan waktu, atau lebih tepatnya menghabiskan kue dan roti sebelum akhirnya Anne memberi tanda akan pulang. Erick beranjak ke jendela. Matanya melihat ke arah kejauhan, Nafasnya agak berat ketika menutup korden dan berbalik…

“Anne?” Erick tidak menyangka Anne masuk lagi ke ruangannya.

“Maaf. Aku tidak mengetuk pintu. Aku cuma mau tanya, apa yang harus aku lakukan sebagai rasa terima kasih.”

“Terima kasih? Maksudmu untuk tempat outbound itu? Anne, tempat itu tidak habis karena temanmu. That’s okay. Aku tidak rugi apa-apa.”

“Kamu bisa dapat untung dengan menyewakan ke orang. Tetapi kamu mau kasi ke temen-temenku.”

“Aku mohon, Ne. Jangan bersikap seformal itu. Easy aja.” Erick mendekati Anne. “Lagipula siapa tahu nantinya aku butuh pertolongan kamu. Hidup itu seperti itu, kan?”

“Justru itu. Aku ingin membalasnya cepat-cepat. Supaya kalau aku mati tidak penasaran—“

“Ya, ampun, Ne. Omongan apa ini? Jangan serius-serius banget. Kamu masih muda, having a fun aja. Jangan bersikap seperti orang-orang seumurku.”

“Kalau kamu nggak nyebutin. Aku nggak mau pergi.”

“Oke..oke. Kamu bisa masak? Aku tidak pernah masak. Jadi kangen masakan rumahan.”

“Seperti apa itu?”

“Ya, semacam sayur sup, lodeh, sayur nangka muda. Gudeg atau apalah.”

“Oke. Di rumahmu?”

Kepala Erick langsung berdenyut. Selama ini tidak pernah ada yang kerumahnya. Ia bingung jika harus menyambut seseorang. Apalagi jika seseorang itu adalah wanita seperti Anne.

“Kok diam? Kamu nggak pengin aku dateng ke rumahmu? Atau kamu punya pacar?”

“Eh.” Raut muka Erick berubah-ubah antara malu, tidak enak dan bodoh. “Rumahku kotor. Aku belum sempat membersihkan.”

“Oh,” Anne tersenyum. “Cowok memang seperti itu. Aku rasa itu sudah biasa. Kamar adikku bukan lagi kapal pecah, tapi meledak.”

Erick dan Anne tertawa.

“Nggak masalah.”

Erick mengeluarkan dompet dan memberikan uang. “Aku tidak tahu kamu mau masak apa. Jika kurang, pakai uangmu dulu, entar aku ganti.”

“Oke.” Anne berbalik dan menuju pintu. “Sampai nanti.”

*** 

Erick pulang lebih cepat. Ia sibuk memikirkan mana yang harus dibersihkannya dahulu. Benda-benda yang tidak sempat diaturnya dimasukkan dalam gudang. Ia berhenti sebentar di depan bar mininya. Ia masih bingung untuk memutuskan untuk menyembunyikan minuman-minuman ini atau membiarkannya. Ia melesat menuju dapur. Kompor, keramik tempat kompos gas, dan tabung gas-nya tak luput dari kain perca di tangannya.

Ting tong.

Deg. Telinganya seperti mendengar suara geledek. Baru kali ini ia mendengar bunyi bel pintunya sendiri setelah mendengar untuk pertama kali saat membelinya di toko elektronik.

“Hai.” Leher Anne berkedut. Dua tas plastik di kedua tangannya hampir menyentuh lantai. Erick meraih tas plastik itu sambil tertawa.

“Kamu mau masakin orang sekampung? Enggak gini-gini juga, Ne.”

Sebelum masuk tadi, Anne berpikiran untuk segera mencari sofa. Tetapi yang terjadi, badannya masih berdiri di depan pintu. Kepalanya berputar berkeliling.

“Kalau pengin mengagumi rumahku, masuk aja. Entar kamu masuk angin kalau berdiri disana.”

Anne masuk dan duduk tanpa melihat sofa. Ia berpikir bahwa rumah Erick cukup kecil untuk orang berpenghasilan seperti Erick. Tidak terlalu banyak barang. Hampir semua perabotan berunsur kayu.

Bersambung....

Bagian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16

Sumber gambar: marie-laurie, weheartit.com

Ingatlah Hari Ini (Bagian 7) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar