Erick ragu untuk masuk. Ia berjanji untuk datang ke tempat ini berkali-kali. Baru kali ini ia merasa sudah saatnya, berharap orang yang dikecewakannya masih mau menerimanya. Penerima tamu tampak tidak senang ketika Erick datang. Ia mengerti, Erick sudah sering datang kemari dan menunggu tetapi sebelum waktunya tiba, Erick selalu meninggalkan tempat. Erick berusaha menyakinkan diri, dia benar-benar ingin bertemu.
“Apa yang membuat Anda yakin sekarang?” Wanita menjelang empat puluhan itu mempersilakan Erick duduk di sofa panjang empuk di sampingnya.
Tarikan nafas kehati-hatian wanita itu ditangkap kilatan matanya. “Saya pribadi tidak menggunakan kata abnormal untuk keadaan Anda. Normal atau tidak itu tergantung siapa yang berkata. Bagi orang gila mungkin saya yang gila, dia merasa dirinya wajar-wajar saja.”
“Saya ingin menikah dan mempunyai anak.”
“Punya pacar?”
“Saya harap akan.” Erick terpekur sesaat. “Karlina,” matanya terbuka menatapnya. “Apa saya bisa memuaskan istri saya nanti?”
“Jika Anda mencintainya, itu suatu hal yang mungkin.”
“Tetapi saya tidak tertarik perempuan. Bagaimana saya bisa melakukannya.”
“Serahkan itu pada saya dan jangan cemaskan pada saat ini. Santai saja. Berlarinya seakan-akan apa yang Anda cita-citakan ada di depan Anda. Anda tidak perlu menghitung seberapa jauh, tetapi nikmati seberapa dekat Anda saat Anda terus berlari ke arahnya. Sekarang santai saja. Pejamkan mata. Mata Anda akan tampak berat. Semakin berat. Lebih berat. Tarik nafas Anda dalam-dalam. Keluarkan perlahan-lahan sampai seluruh isi paru-paru Anda kosong. Anda sekarang masuk ke alam bawah sadar Anda. Lebih masuk. Semakin Anda masuk, semakin Anda merasa senang. Anda kembali ke masa kecil Anda—”
***
“Gimana, Ma? Erick sudah didaftarkan di TK Budi Sejahtera?” Pambudi melipat korannya yang semakin kumal. Ia menyeruput kopi sambil melirik Juwita.
Juwita mengangguk. Pambudi masih belum puas karena melihat wajah Juwita muram. “Kita tidak bisa selalu berharap ibu selalu bisa mengantarkan. Kadang-kadang rematiknya kumat.”
“Aku sudah duga kamu ngomong itu. Tadi siang aku telepon Cak Dul. Dia mau antar jemput Erick dengan becaknya.”
“Erick tidak mudah bergaul dengan orang yang baru dikenalnya.”
“Cak Dul sudah biasa mengantar anak-anak sini. Aku rasa dia bisa menenangkan Erick.”
Pambudi tersenyum sambil melirik Juwita ketika Erick menuruni tangga. Tas ransel kecilnya berdeting-deting karena lonceng-lonceng kecil di penarik resluitingnya. Ibu Juwita—Dhenok—berjalan tertatih-tatih mengikutinya. Pambudi hendak bangkit dari kursi, tetapi tangan Juwita mencegahnya. Kepalanya menggeleng. Pambudi tahu apa maksud Juwita, Dhenok tidak mau dianggap lemah, oleh sebab itu ia menolak segala bantuan. Termasuk bantuan dari tetangganya di masa awal suaminya meninggal sejak Juwita masih berumur setahun. Meskipun mengetahui kenyataan itu, Pambudi masih tidak tega kaki yang terkadang terjangkit rematik itu menuruni tangga.
“Maaf, Ma. Mama harus anter Erick. ”
“Tidak apa-apa, Sayang. Mama juga harus melatih kaki. Semakin dimanjakan, kaki Mama semakin berkarat.”
Pambudi dan Juwita melihat Dhenok dan Erick menaiki becak. Cak Dul memperlihatkan giginya ke arah mereka sebelum mengayuh. Pambudi memalingkah muka ke arah istrinya.
“Giginya emas? Hebat juga orang itu.”
“Jangan membicarakan orang. Ayo kita habiskan makan sebelum berangkat ke kantor.”
Erick mulai terbiasa pergi ke sekolah dengan becak. Sesekali bahkan pergi sendiri ketika rematik Dhenok kambuh. Pada bulan berikutnya, Dhenok sudah tidak mengantar. Erick mulai malu terlihat bersama Nenek. Erick tidak mau lagi dicium nenek di depan teman-temannya, alasannya, olokan dari teman-temannya bisa mampir di telinganya sampai pulang sekolah.
Erick menyesal. Seharusnya Nenek ada disini sekarang. Hujan dan petir selalu membuatnya takut. Om Becak belum datang juga dan teman-temannya sudah pulang. Erick beringsut ke tempat yang lebih kering. Ujung sekolahnya. Matanya menangkap takut-takut pintu ruang pramuka yang hampir rusak. Ruangan itu jarang didatangi kecuali kalau latihan pramuka. Tempat itu adalah satu-satunya ruangan yang diberikan sekolah. Kakak Pembina memakai hampir separuh ruangan untuk menyimpan peralatan pramuka.
Tengkuknya mendingin. Sesuatu menempel disana. Erick tidak berani berbalik. Ia merasa lebih baik mati tanpa melihat penyebabnya.
“Maaf, Rick. Cak Dul terlambat.”
Erick lega. Badannya memutar dengan cepat.
“Ban becak Cak Dul bocor. Masih ditambal. Kita ke rumah Cak Dul aja dulu sampai bannya selesai ditambal? Mau?”
Erick menengadah. Tidak tahu harus menjawab apa. Neneknya pasti menunggunya di rumah. Mama akan marah kalau dia tidak pulang tepat waktu.
“Jangan kuatir. Nanti Cak Dul yang akan bilang ke nenekmu.” Cak Dul membelai-belai kepala Erick.
Erick berharap anak Cak Dul menerimanya. Ia ingin menceritakan robot barunya. Erick membayangkan banyak kemungkinan yang bisa ia lakukan bersama anak Cak Dul. Apa mungkin dia mau menukarkan salah satu robotnya?
Tapi kenapa rumah Cak Dul sepi. Tak ada wanita yang biasanya ada di rumah tetangganya. Kok tidak anak kecil yang keluar? Lamunan Erick berhenti. Cak Dul keluar sambil membawa teh panas.
Cak Dul melambaikan tangan setelah Erick menghabiskan tehnya. Jari Cak Dul menunjuk pada pangkuannya? Erick bingung, kenapa Cak Dul ingin memangkunya. Ia sudah duduk nyaman di kursinya. Cak Dul juga. Ia juga bukan anak kecil. Buat apa Cak Dul ingin memangkunya. Dan benar saja, Erick tidak menyukainya. Cak menggoyang-goyang pahanya. Perut Erick mual dan kram. Erick ingin menjerut. Rasa sakit itu menjalar juga dari bagian belakangnya.
***
“Kamu akan bangun dengan jentikan jari saya.” Wanita itu kuatir melihat keringat dingin menetes dari dahi Erick. Ia heran, bagaimana ruangan ber-AC seperti ini masih dapat membuat Erick berkeringat.
Erick bangun terduduk. Tangan wanita itu memegang kedua bahunya.
“Dia—“
Wanita itu mengangguk, berusaha menunjukkan bahwa ia mengerti apa yang dimaksud Erick. Setelah tenang, ia menuju mejanya, menuangkan teh dan memberikannya pada Eric.
Wanita itu terkaget. Erick tiba-tiba berdiri dan menoleh ke belakang. Matanya menelusuri sofa yang didudukinya, lantas membanting pandangannya ke arah wanita itu.
“Disini cuma ada kamu dan aku. ” Wanita itu ikut berdiri dan memegang tangan Erick. “Untuk hari ini, sesi kita sudah cukup. Pulanglah. Nanti kita bisa bikin janji lagi untuk ketemu.”
Erick berjalan dengan ragu ke arah pintu. Pandangannya kabur, tetapi ia berulang-ulang menyakinkan diri bahwa jaraknya hanya tinggal sejengkal dari pintu. Ia tinggal memutar pemegang pintu dan rasa sakit itu ditinggalkannya dalam ruangan itu. Ia melihat kakinya dan bingung, darimana datangnya cairan merah ini. Tangannya mencoba menggapainya. Bukan cairan yang ada ditangannya. Telapak tangannya hanya menyapu celana kain yang sedari tadi dipakainya.
0 komentar:
Posting Komentar