Singapurna (Bagian 2)



Pagar itu juga harus pendek. Dengan demikian ia dapat berlari berputar ke sisi yang satu seandainya singa tadi dapat melewati pagar.

Ketemu! Catuk langsung masuk halaman rumah yang dimaksudkannya.

Singa itu mengejarnya dengan marah. Cakaran pada pagar tak membuat pagar itu goyah, padahal Catuk bersiap-siap akan memutari pagar seandainya singa itu dapat merobohkan pagar.

Aumannya semakin keras. Kedua taringnya menanti daging manusia di depannya. Catuk melihat ke sekelilingnya, mencari sesuatu yang mungkin dapat digunakannya sebagai senjata. Matanya tertumbuk pada rimbunan bambu hijau besar di belakang rumah.

Catuk mengira-ngira, apakah ia dapat cepat-cepat mematahkan bambu itu dan menggunakannya sebagai senjata. Setelah yakin dengan perkiraannya, Catuk lari secepat-cepatnya ke arahnya. Cepat-cepatnya dipegangnya salah satu bambu dengan tangan kiri. Dipukulnya bambu dengan tangan kanan.

Belum sempat bambu putus, singa itu sudah hampir sampai di tempatnya. Catuk kembali memutari rimbunan bambu untuk membuat langkah singa agak terhenti sehingga timbul jarak yang cukup untuk berlari ke arah pagar lagi.

Sekembalinya dari pagar, Catuk menghantamkan buku tangannya sekali lagi. Bambu itu putus. Tepat ketika singa itu melayang di udara hendak menerkamnya, Catuk mengangkat sisi bambu yang mempunyai bekas pukulannya. Pecahan-pecahan bilah bambu menancap tepat di dada singa itu dan jatuh menimpanya. Catuk tak sadarkan diri. Singa itu terlalu besar sehingga membuntu jalan pernafasannya.

Penduduk dusun keluar. Suara auman singa yang pertama kali sudah membuat mereka ketakutan. Mereka miris membayangkan bahwa orang yang mengetuk-ngetuk rumah mereka dimangsa singa itu. Mereka terkejut mendapati punggung singa itu tertembus bambu.

“Ada orang dibawah singa itu,” seru salah seorang dari mereka.

Orang-orang berbondong-bondong mendekati singa. Mereka yakin singa itu sudah mati. Enam orang mengangkat bangkainya. Mulut mereka terbuka lebar-lebar mengetahui orang yang mereka kira sudah mati ternyata masih hidup. Dengan bergotong royong mereka membawa Catuk ke balai. Mereka menempatkannya pada balai-balai. Sebagian para wanita sibuk mencari daun obat-obatan untuk mengobati luka, sedangkan para lelaki bergerombol di sana sini saling bergunjing.

“Kalian masih ingat wasiat Raja Geda sebelum beliau wafat?” tanya kepala Dusun Pendung.

“Tentu. Tentu kami masih ingat. Beliau memelihara dua ekor singa dan melepaskannya ke daerah kita. Siapa yang dapat membunuh singa jantan, lantiklah dia menjadi raja, sedangkan bagi orang yang dapat membunuh singa betina, berilah ia uang tiga ratus keping emas,” sahut ujang, anak kepala dusun.

“Orang ini pantas menjadi raja. Aku saksinya selama ia bertarung dengan singa itu. Kami sekeluarga mengintipnya dari papan rumah.”

Catuk terkejut ketika siuman. Sayup-sayub ia mendengar suara orang berbicara. Seorang gadis melihat kepalanya yang mencoba bergerak dan berteriak, “Hei kemari. Dia sudah bangun.”

Dua orang pria bergegas menghampiri. Mereka membantu Catuk duduk. Tanpa ada perintah, semua orang yang berada disana berlutut. “Salam, wahai raja kami.”

Dua garis tampak pada dahinya. “Raja? Apa maksudnya ini?”

***

Pakaian Catik compang-camping. Bagian atasnya robek sampai pinggang. Meskipun demikian, Catik bersyukur karena badannya tak mengalami luka yang parah.

Tidak seperti kakaknya, Catik jarang pergi jauh dari istana, sehingga ia tidak mengenali daerah tempat ia jatuh. Ia berharap berjumpa dengan orang-orang yang lewat tetapi sudah sampai delapan ratus hasta dari tempat ia jatuh, tak ditemuinya satu manusia pun.

Catik duduk pada batu. Pepohonan di sekelilingnya semakin membuatnya bingung. Semua tampak sama. Agak sulit memutuskan hendak kemana.

Pada jarak beberapa kaki darinya, Catik baru menyadari bahwa beberapa pohon telah tumbang. Sudut bibirnya tertarik. Gairahnya kembali muncul. Ia berjalan mendekati tumbangan pohon.

Kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan seseorang.

“Pohon-pohon ini jelas dipotong seseorang.” Catik melihat bekas bacokan pada bagian bawah. “Tetapi kenapa tidak ada seorang pun disini? Buat apa orang itu menebang pohon tetapi tidak mengambil kayunya?”

Catik tidak sempat bingung berkepanjangan. Suara gemerisik dari belakang membuat nalurinya bekerja untuk mencabut pisau kecil yang selalu terselip di balik bajunya. Ia memutar badannya ketika tepat seekor singa menerkamnya.

Pisau Catik menancap pada kaki kiri singa itu. Bukannya kesakitan, singa itu malahan tampak marah dan liar. Ia segera berlari ke arah Catik. Adik dari Catuk itu berdiri. Ia memasang kuda-kuda hendak menerima serangan.

Ketika jaraknya dan Catik hanya tinggal satu langkah, singa itu menghentikan langkahnya. Kaki kanannya mengayun ke tubuh Catik. Tetapi Catik dengan gerakan cepat mundur. Dengan memanfaatkan kaki singa yang masih berada di udara, Catik bergerak ke bagian kiri tubuh singa itu dan memutar badannya, sehingga dengan mudah tangan kirinya menghantam kepala singa saat tubuhnya dalam keadaan terlentang di udara.

Singa betina itu bergeming. Catik terlentang diatas tanah. Ia tak menyia-nyiakan calon santapannya. Ia membalikkan badan dan mengayunkan kaki depannya sekali lagi. Catik yang sudah menduga berkelit ke samping, tetapi ia sedikit terlambat. Beberapa kuku dari singa menusuk kulitnya. Cairan merah segar keluar dengan deras.

Melihat darah segar, singa itu tambah beringas. Ia mengaum dengan keras sebelum melayang untuk menerkam. Dahi Catik dipenuhi keringat dingin. Tangan-tangannya meremas sesuatu yang dapat diraih dengan tangannya.

Catik menoleh pada telapak kanannya ketika ia merasa menyentuh sesuatu yang keras. Batu. Suatu pikiran melintas dengan cepat. Dengan posisi duduk ia melempar batu itu tepat mengenai pelipis singa. Singa itu roboh.

Darah segar menetes dari luka di kepalanya. Catik tak menyadari, saat ia jatuh, kepalanya menghantam batu hitam besar di belakangnya. Bayangan hitam menutupi pandangannya samar-samar. Detik berikutnya tubuhnya melayang ke tanah.

Tiga orang pria muncul dari semak-semak, saling berpandangan, sebelum berlari ke arah Catik.

“Hebat. Dia pria paling hebat yang pernah aku temui,” kata pria berkepala botak.

“Itu benar. Singa itu roboh hanya dalam beberapa menit. Dia pasti mendapatkan tiga ratus keping emas dengan mudah, ” sahut pria berambut cepak.

“Sebentar.” Pria yang lain turut berbicara. Rambutnya paling panjang dari antara mereka bertiga. “Pria ini pingsan. Dan disini tidak ada saksi kalau pemuda ini membunuh singa betina ini. Bagaimana jika kita membuang pria ini dan mengaku pada raja kalau kitalah yang telah membunuhnya.”

“Setuju.” Si rambut cepak terkekeh. Benaknya membayangkan sekendi tuak. “Aku bisa minum tuak terbaik seharian.”

Bersambung ke Bagian 3, Bagian 4

Sumber gambar: thestars-themoon.tumblr.com

Singapurna (Bagian 2) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar