Matanya melihat ke kanan-kiri. Jalanan memang sepi. Pos Satpam terdekat berjarak lima puluh meter, tetapi bukan tidak mungkin tiba-tiba ada orang lewat. Justru di jalanan seperti begini, orang terangsang mengebut. Jalanan cukup lebar, sinar lampu tidak menjangkau seluruh bagian jalan. Bukan karena lampunya kurang, tetapi ukuran rumah disini besar-besar, satu lampu di depan rumah sebelahnya tidak bergandengan dengan lampu tetangganya.
“Tidak banyak berubah,” dengusnya. Kakinya cepat-cepat berlari menaiki pagar paling kiri. Di dekatnya ada pohon sosis cukup besar. Dahan-dahannya mampu menampung hentakan kakinya untuk melewati pagar tanpa tersangkut bagian atasnya.
Keringatnya menetes meskipun hawa malam masih mampu membuat orang menarik selimut. Kepalanya mendongak, memperkirakan apakah dia masih bisa memanjat bekas batu-batuan yang sengaja ditanam di dinding untuk menciptakan air terjun buatan. Terlalu berbahaya, pikirnya. Batu-batuan itu licin, ia ngeri membayangkan terpeleset saat sampai di tengah-tengah dinding dan jatuh menimpa kolam kering.
Ia ingat sesuatu. Badannya terbungkuk dengan kaki mengendap-ngendap menuju samping rumah.
“Ahh.” Ia hampir menjerit. “Pintu ini dulu nggak ada.” Kalau saja tidak ingat dia harus sembunyi-sembunyi, rasanya ingin menggebraknya. Tangannya mencengkeram erat-erat tongkat-tongkat besi penghalang ke bagian dalam. Suara derit hampir membuatnya mati rasa. Pintu bergerak. Bibirnya terungkit, menertawakan dirinya sendiri, kenapa tidak memeriksa penguncian pintu sebelum berusaha menggebraknya. Ia menutup pintu pelan-pelan dan berjalan menuju. Ia berharap tempatnya tidak berubah. Bagian kiri rumah, dekat tanaman anggur. Jalaran batang-batangnya mencapai puncak genteng. Ini semua akibat dia.
“Jangan dipotong dong batangnya. Kasihan.”
“Anggur itu itu harus sering dipotong begini biar buahnya banyak.”
“Nggak banyak nggak pa pa. Yang penting luar kamarku kelihatan seger banget.”
Ia urungi memotongnya. Senyumnya itu selalu membuatnya mengalah. Mata bulatnya seperti tangan tak kasat mata, mencegahnya melakukan sesuatu. Terlalu sayang. Kata itulah yang menjadi judul hubungannya dengan dia.
Ia melepas sepatu. Dimasukkan jempol kakinya di lubang kawat ram raman. Kepalanya mendongak. Matanya menangkap bagian tembok yang menyiku ke arah dirinya. Pinggulnya menaikkan kakinya di tembok bagian atas dan hoplah, ia tersenyum lega meletakkan pantat di atap tembok. Tinggal sedikit lagi. Tinggal beberapa meter saja, jendela ada di depannya.
“Nah, lho. Jendela ini masih terbuka,” keluhnya. Beberapa tahun yang lalu, ia sudah memperingatkannya untuk menutup jendela kalau tidur. Dia selalu membantah. Ia maklum, dia dan dirinya memang keturunan orang keras kepala.
“Aku nggak pengin pake AC. Angin alami seperti ini justru lebih dingin.”
“Kalau dimasuki orang gimana?”
“Kamarku ada diatas. Siapa yang bisa masuk? Superman? Spiderman?”
“Kamu selalu begitu.” Ia menggeleng geli. “Itu yang membuatmu mirip denganku.”
Ia memiringkan badan untuk masuk melewati celah jendela. Mulutnya sempat menyumpah karena lututnya tersangkut besi kait jendela.
Ia hampir melangkahkan kaki, ketika sosok di ranjang itu berbalik menghadap dirinya. Ia melihat mulutnya hampir berteriak. Badannya melonjak, ia berlari secepatnya membungkam mulutnya.
“Ini aku, Tania.” Tangannya mengarahkan rahang Tania ke wajahnya.
Gerakan badannya melambat, tangannya melepas pelan-pelan bungkamannya.
“Ahhhh.” Tania menjerit.
Badan Erick menegang. Tania yang baru menyadari arti ketegangan badan Erick, menutup mulutnya. Keduanya diam sambil menajamkan telinga. Bunyi derit suara tapakan kaki di kejauhan membuat mata Tania membesar.
“Sini.” Tania menarik tangan Erick dan menuntunnya ke lemari pakaiannya.
Tania lantas berlari dan duduk di tepi ranjang. Suara ketukan terdengar. Pemutar pintu berderit. Tania menunduk, kedua tangannya bertolak ke ranjang.
“Ada apa Tania? Kenapa kamu menjerit?”
Kepala Tania memutar malas. “Maaf, Ma. Tania mimpi buruk.”
“Mau Mama temani tidur, Sayang?”
Kepala Tania menggeleng. Wanita beruban itu menutup pintu. Tania berlari menuju lemari pakaian.
“Kak.”
Erick hampir kehilangan nafas. Pelukan Tania membuatnya hampir kembali masuk ke lemari.
“Kenapa baru balik sekarang?” bisiknya.
“Kamu tahu Papa mengusir aku.”
Tania merenggangkan diri. “Tapi kamu bisa datang seperti ini.”
Erick mengangguk. “Aku minta maaf. Baru sekarang aku punya keberanian.”
Tania tiba-tiba menengadah. “Apakah itu berarti Kakak punya pacar? Cewek?”
Erick gagal menyembunyikan senyum. Tania mengabaikan kegamangan wajah Erick. “Kenalin. Aku pengin tahu wajah iparku sebelum Papa Mama. Please.”
“Itu pasti. Tunggu saatnya.”
“Dia cantik? Baik? Ketemu dimana?”
“Ya, ampun Tania. Tukang sensus kalah sama kamu.”
“Ayo janjian ketemu dimana?”
“Iya. Iya. Aku nanti kabarin, sekarang mending kita bicarakan masalah kita berdua.”
“Kita berdua nggak punya masalah.”
“Tentu saja punya. Aku sudah melewatkan kamu tumbuh dari kecil sampai sekarang. Aku tidak tahu kamu sekarang kuliah atau tidak. Punya pacar apa nggak. Dan— ” Erick melihat sekelilingnya. “Kenapa kamu mengubah warna pink kamarmu jadi kuning gini?”
“Karena kamu yang mengecatnya. Ingat kamu bikin aku benci sama mama papa. Tidak semestinya Papa mengusir kamu dan Mama cuma diam.”
Erick memeluk Tania. Apa yang dirasakannya bertahun-tahun lalu masih tetap sama. Ia masih merasa memeluk gadis kecil. Dara yang tidak pernah menangis memakai air mata. Erick belajar bagaimana menerjemahkan gerak-gerak Tania lewat pelukan.
“Jangan. Jangan seperti itu Tania. Kakak yakin apa yang dilakukan Papa karena dia ingin Kak Erick menjadi lebih baik. Tak cukup umur kita membalas kebaikan mereka membesarkan kita. Membenci mereka itu sama saja dengan menambah hutang kita pada mereka.
“Ibu diam saat itu karena ia tahu, itu akan meredam suasana. Coba bayangkan jika saat itu Ibu memihak Kakak atau Papa, mungkin salah satu dari kita ada yang sakit hati. Suasana bakalan lebih panas. Jangan benci Mama Tania sayang. Ibu adalah satu-satunya wanita di dunia yang tak pernah membenci kita. Mana mungkin sih membenci bagian dari nyawanya selama Sembilan bulan? Jangan pernah menjatuhkan air mata Mama. Hutang kita pada Mama juga terlalu besar untuk dibayar.”
“Aku kangen saat-saat seperti ini. Mestinya Kakak ada saat aku sekolah dulu.”
“Aku tahu kamu sekolah di SMP dan SMA mana.”
Tania menjauhkan tubuhnya. “Kakak tahu tapi tidak pernah datangi aku?”
Erick menunggu emosi Tania mereda. “Aku tidak ingin kamu membenci Papa Mama. Kita sama-sama belajar bagaimana rasanya rindu itu. Sekarang aku tahu bahwa aku tidak mungkin memusuhi orangtua kita. Bahwa mereka mungkin benar dan kamu belajar bagaimana mengatasi masalah kamu sendiri. Nggak seperti waktu SD, dikit-dikit aku berantem sama temen sekelasmu gara-gara mereka menggoda kamu.”
Ada rentang waktu lama, sebelum Tania dan Erick sama-sama merenggangkan badan. Matanya masih menangkap mata gadis kanak-kanak seperti dulu. Mata itu yang membuatnya kuatir kalau-kalau ada orang yang menyakiti Tania.
“Kamu adalah orang ketiga setelah orangtua kita yang selalu membuatku selalu ingin kembali ke rumah.”
Erick merogoh kantung bajunya, tangannya menyodorkan kartu nama. “Cari aku disini kalau pengin ketemu. Tapi jangan beritahu Papa Mama dulu. Hubunganku dengan dia masih terlalu rapuh. Nanti jika Kakak rasa sudah kuat, Kakak pasti akan mengajak dia ke rumah kita.”
Bersambung...
Bagian | |||||||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 |
11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 |
sumber gambar: Marie-Laurie, weheartit.com
0 komentar:
Posting Komentar