“Ayo. Jangan membuang waktu lagi.”
Mereka bertiga membekap Catik dengan selembar kain milik salah satu dari mereka. Si Gondrong mengikatnya. Mereka bertiga menggotong Catik sampai tepi hutan dan meninggalkannya disana.
***
Seorang nenek yang sedang mencari kayu bakar, menemukan Catik. Usia tua yang tidak mengijinkannya menggendong, membuatnya berpikir untuk menemukan cara bagaimana membawa Catik ke rumahnya. Dengan dua bilah kayu dan tali dari rotan, ia membuat tandu dan menyeretnya sedikit demi sedikit ke rumahnya. Hari demi hari tangan keriputnya membuat ramuan dan meletakkannya pada luka Catik sehingga Catik akhirnya siuman.
Catik sangat berterima kasih terhadap pertolongan nenek—yang kemudian dikenalnya dengan nama Singkang—sehingga berniat membantunya mencari nafkah dengan menjual periuk di pasar.
Karena Catik sangat tampan, banyak wanita membeli periuk darinya. Nenek Singkang terheran-heran, sebab sebelum hari gelap, Cantik sudah kembali ke rumah. Ketika ia menanyakan kenapa, Catik tidak menjawab. Ia malah mengeluarkan gulungan kain berisi uang.
Nenek Singkang memekik, “Terjual semua?”
Catik mengangguk.
“Baru kali ini periuk Nenek terjual semua. Dengan cara apa engkau menjualnya, Cucuku?”
“Catik menjualnya dengan harga lebih rendah sedikit, Nek. Dengan begitu banyak orang berbondong-bondong membelinya. Bagi Catik, lebih baik harga murah tetapi terjual banyak daripada harga mahal tidak laku.”
Catik semakin rajin menjual periuk. Badannya yang kekar sanggup membawa periuk lebih banyak daripada yang dibawa Nenek Singkang.
Suatu ketika Catik memperhatikan tiga pedagang bunga di depan lapaknya. Dua orang laki-laki muda, seorang perempuan tua. Yang perempuan berumur kira-kira seperti Nenek Singkang.
Catik mengamati, bunga milik pria selalu habis, tetapi Si Nenek terkadang masih utuh sampai ia pulang sore hari. Hari berikutnya Catik baru mengerti, kenapa bunga pemilik pedagang laki-laki selalu habis terlebih dahulu. Pria-pria itu selalu merayu pembeli yang sebagian besar memang wanita. Lirikan, rayuan dan pantun-pantun indah memabukkan seperti mantra pengasihan selalu dilakukan kedua pria itu.
Ketika periuknya habis, Catik mendekati nenek penjual bunga. Ia menawarkan diri untuk menjualkan bunganya. Nenek itu setuju, malah berjanji untuk membagi setengah keuntungannya untuk Catik.
Catik percaya diri dengan ketampanannya. Sebagai bangsawan, kulitnya lebih bersih. Rupanya lebih rupawan dan badannya lebih kekar karena latihan-latihan kemiliteran yang harus dijalaninya sebagai anak raja. Jika hanya menggunakan taktik merayu wanita untuk berdagang, maka dua pria penjual bunga itu tidak ada apa-apanya. Apalagi Catik mendatangi pembeli yang baru saja membeli bunganya keesokan hari. Sebagai pelayanan tambahan, Catik menawarkan kepada mereka untuk mengirim bunga segar setiap hari.
Lama kelamaan, kedua pria penjual bunga di pasar itu jengkel karena bunga mereka tidak laku. Mereka ingin menegur Catik tetapi tidak berani. Perkelahian dengan pria setinggi dan se-kekar Catik jelas tidak menguntungkan mereka. Keduanya lantas bersengkongkol dengan preman pasar. Mereka menawarkan imbalan yang cukup membuat preman itu hidup selama sebulan.
Dengan licik, mereka memukul Catik dari belakang ketika preman pasar terlibat pertengkaran dengan Catik. Mereka lantas menyumpal mulutnya dengan kain, mengikat tangan dan kakinya, kemudian memasukkannya ke dalam karung sebelum menenggelamkannya ke dalam danau. Seekor ikan besar yang kelaparan melihat karung itu. Karena mengiranya itu adalah ikan, dilahapnya karung berisi Catik itu.
Malam itu terjadi hujan yang sangat lebat. Air danau meluap. Ikan-ikan menggelepar-gelepar di daratan pinggir danau. Tiga orang pencari ikan datang dan terkejut mendapati seekor ikan yang sangat besar.
“Bagaimana kita membawanya? Ikan ini terlalu besar,” kata pria dengan codet di pipi.
Pria kurus disebelahnya menyahut, “Kita potong-potong saja. Pasti lebih ringan.”
Teman satunya, dengan udeng di kepala, langsung mengeluarkan pisau panjang dan memotongnya, sementara kedua teman-temannya memegangi kepala dan ekor. Saat bagian perut terkuak, mereka heran melihat sebuah karung di dalamnya. Mereka membukanya dengan hati-hati sambil menahan nafas.
“Orang,” pekik Codet.
“Aku tahu orang ini,” Kurus mengusap wajah pria di dalam karung. “Ini adalah orang yang berjualan periuk di pasar.”
“Ya, ya, ya. Dia, kan yang berjualan di depan penjual bunga. Ayo kita bopong ke rumah.”
Codet, Kurus, dan Si Udeng membawa Catik pulang ke rumah mereka. Mereka merawat Catik sampai kuat kembali. Suatu hari Codet ke pasar. Ia bertemu nenek yang sudah mencari Catik berhari-hari.
“Nenek mencari penjual periuk itu?” Codet memastikan tidak salah orang.
“Ya, Nak. Apakah kamu tahu cucuku itu?”
“Dia di rumahku. Kami menemukannya dalam karung di perut ikan.”
Nenek itu menangis mendengar penderitaan Catik dan meminta Codet membawanya untuk menemui Catik.
“Betapa malang nasibmu, Cu.” Nenek memeluknya dalam tangis.
“Jangan menangis, Nek. Aku sudah sehat.” Catik duduk pada balai. Kedua kakinya digerak-gerakkan seperti orang yang sedang berjalan.
“Kalau begitu mari kita pulang. Nenek akan membuatkan makanan yang paling enak untukmu.”
“Aku mau pulang, Nek. Tetapi dengan satu syarat.” Catik memandang ke dalam dua mata Nenek.
“Apa itu? Nenek pasti akan mengabulkan, asalkan Nenek sanggup.”
“Nenek harus menjual cerita ke Baginda Raja.”
“Jual cerita? Nenek tidak pernah mendongeng sebelumnya.”
“Nenek harus mencoba.”
“Tetapi kenapa ke Baginda? Nenek tidak berani. Apa mungkin Baginda mau membeli cerita Nenek. Istana pasti mempunyai juru dongeng untuk menghibur keluarga kerajaan.”
“Kalau begitu Catik tidak mau pulang.”
Nenek begitu sayang pada Catik, sehingga akhirnya menyanggupinya.
“Baiklah, Nenek akan menjual cerita ke Raja. Kira-kira Nenek harus menjualnya dengan harga berapa?”
“Seratus keping emas.”
Jantung Nenek Singkang hampir copot. “Mahal sekali, Cu. Nenek tidak berani. Baginda pasti marah dan memancung Nenek.”
Bersambung ke Bagian 4
Sumber gambar: thestarts-themoon.tumblr.com
0 komentar:
Posting Komentar