Catatan Penulis:
Cerbung ini saya persembahkan untuk SEBUAH NAMA yang meninggal karena penyakit maag akut. Semoga kamu bahagia disana. Kamu sudah tidak merasakan sakit lagi.
“Anak-anak. Kenalkan, ini Andika Nugroho. Dia baru pindah dari sekolah di Jakarta. Bapak minta kalian semua bisa bekerja sama dengan Andika.”
Cerbung ini saya persembahkan untuk SEBUAH NAMA yang meninggal karena penyakit maag akut. Semoga kamu bahagia disana. Kamu sudah tidak merasakan sakit lagi.
“Anak-anak. Kenalkan, ini Andika Nugroho. Dia baru pindah dari sekolah di Jakarta. Bapak minta kalian semua bisa bekerja sama dengan Andika.”
Sinetron banget. Andika memaksa tersenyum,”Hai. Apa kabar?”
Kelas riuh. Potongan Andika yang tinggi besar, berkulit coklat, dan berotot terlalu menyolok perhatian cewek-cewek di kelas itu. Tetapi beberapa murid cowok menyipitkan mata.
“Bakal ada saingan berat, nih.” Celetuk lirih salah satu dari mereka.
Pandangan Andika menyapu seluruh kelas. Ia mencari-cari tempat duduk kosong. Dari kiri sampai kanan semuanya penuh. Matanya beradu dengan seorang gadis yang duduk paling belakang sebelah kanan. Pandangannya dingin tanpa ekspresi. Ia tersenyum melihatnya duduk seorang diri.
“Boleh duduk disini?”
Gadis itu melengos. Andika menganggapnya sebagai persetujuan.
“Saya berharap kalian bisa menerima Andika dan bisa membantunya agar kerasan tinggal di Surabaya.” Kepala sekolah berlalu dari depan kelas.
Andika menoleh pada gadis di sebelahnya. “Andika.” Katanya tanpa mengulurkan tangan.
”Ardilla.” Jawabnya dingin, tanpa menoleh.
Andika merasa tidak nyaman sebagai anak baru. Ia masih belum mengenal mereka, jadi masih canggung berbicara. Sementara teman satu bangkunya tidak banyak berbicara. Dia terlihat lebih asyik membaca buku sambil sesekali melihat ke arah papan tulis tempat Pak Gunadi, guru kimia, sedang menjelaskan persamaan kimia sejak lima belas menit lalu.
Iseng, sudut matanya melihat-lihat keadaan kelas. Matanya menangkap seorang cewek yang tampaknya sesekali melihatnya. Tubuhnya kecil. Matanya bulat besar dibawah alis tipis melintang panjang, membuatnya mirip boneka barbie. Kaos kakinya berwarna merah muda dan tas sekolahnya yang digantungi boneka jelas-jelas menunjukkan kalau dia cewek banget. Apalagi ditambah dengan warna kulitnya yang putih cerah.
Andika membandingkan gadis yang duduk di sebelahnya dengan cewek yang mencuri-curi pandang tadi. Andika melihat gadis disebelahnya. Rambutnya paling panjang di kelas ini, hampir sepinggang. Rambutnya tersisir rapi kebelakang dengan bandana warna putih di kepalanya, kontras dengan warna kulitnya yang coklat matang.
“Gak ada kerjaan lain, ya?” Ardilla mengagetkannya.
Andika tidak menyangka dibalik sikap tenangnya yang tampak serius membaca buku dan memperhatikan uraian pak Gunadi, ternyata dia tahu kalau Andika memperhatikannya.
“Maaf.”
Bunyi bel istirahat membuat Andika lega. Pelajaran-pelajaran tadi hampir membuatnya muntah tujuh turunan. Ia melirik Ardilla. Dia tampak biasa-biasa saja mendengar bel istirahat. Padahal bel istirahat adalah salah satu bunyi yang paling disukai murid-murid SMA setelah bel pulang. Andika jadi ingin tahu tentang Ardilla. Ia menunggu sesaat. Mungkin sampai ada tanda-tanda ke kantin.
Tak berhasil. Ardilla tetap duduk manis ditempatnya. Andika hampir membuka suara ketika mendengar suara menuju ke tempatnya. Ternyata gadis yang tadi mencuri-curi pandangan ke arahnya.
“Andika, ya, namamu?” matanya sering mengalihkan pandangan ke tempat lain. “Aku Ella.” Tangannya mengulur.
“Andika.” Andika melirik ke arah Ardilla, samar-samar bibir Ardilla tertarik ke atas.
Belum selesai Andika memperhatikan Ardilla, beberapa teman pria yang sekelas dengannya melemparkan bola basket kepadanya. Andika menangkapnya.
“Bisa basket?” tanya salah seorang dari mereka.
Andika tersenyum, tidak berusaha menjawab. Meskipun ia pernah memimpin sekolahnya pada kejuaraan basket antarsekolah SMA se-Jakarta. Baginya tidak menonjolkan diri di lingkungan baru adalah syarat diterima di lingkungan itu. Orang Jakarta bilang, “Jangan belagu.”
Sambil bermain basket, sesekali Andika mengarahkan pandangannya ke arah jendela kelasnya. Lucu, karena ia melihat dua orang gadis yang sedang dipikirkannya sedang melihatnya. Ella di jendela sebelah kiri sementara Ardilla di jendela sebelah kanan. Ella menatapnya ceria dengan mata berbinar-binar sedangkan Ardilla menatapnya dengan pandangan yang agak lain. Dia tersenyum kecil, tapi pandangan wajahnya kosong.
Malam harinya Andika tidak bisa tidur. Ia menyalakan laptop untuk meneruskan permainan gamenya sehari yang lalu, tapi konsentrasinya buyar. Wajah kedua gadis itu menari-nari di benaknya.
Selama ini aku tidak pernah tertarik dengan seorang gadis pun. Kenapa sekarang berbeda?
Semenjak ibunya berselingkuh dengan pria lain, orangtuanya bercerai. Andika menjadi dendam dengan wanita. Baginya tak ada kata maaf buat pengkhianat. Ia menjadi mengagumi sosok ayahnya. Ia menganggap ayahnya pejuang. Pejuang kehidupan. Lain dengan ibunya yang sekarang sudah bersuami lagi, ayahnya tidak. Sejak bercerai delapan tahun yang lalu ia masih sendiri. Itu sudah bukti cukup baginya untuk menghormati ayahnya.
***
Ella memeluk boneka pandanya; salah satu dari koleksi boneka yang paling disukainya sejak SMP. Mamanya kadang jengkel sebab Ella lebih sering berlama-lama dengan bonekanya daripada bermain-main dengan temannya. Sampai ibunya berpikiran lebih baik jika Ella mempunyai pacar, meskipun pada awalnya ia tidak menyukai putri tunggalnya itu berpacaran. Belajar sampai menjadi sarjana adalah impiannya tentang Ella. Tapi pikirannya berubah ketika melihat Ella hanya senang berlama-lama di kamar bersama bonekanya. Lebih baik ada seorang pria baik-baik yang menjadi pacarnya. Mengajaknya keluar jalan-jalan, belajar bersama. Pokoknya melakukan hal-hal berguna yang nantinya menjadikan ia gadis yang mempunyai pengalaman luas.
Ella lagi berpikir di kamarnya sambil memandang foto ukuran postcard di meja samping tempat tidur.
"Bagaimana—apa dia cowok yang baik?" Ella mendengus kencang. "Kalau saja kamu disini, aku pasti bahagia sekali. Kamu sering membantuku memecahkan masalahku, tapi.....", Ella menitikkan air mata. "Aku sendiri tidak pernah bisa membantumu. Aku memang kekanak-kanakan, aku akui. Kamu butuh orang yang lebih dewasa untuk membantumu....Sayangnya di sekolah kita tidak ada seorang pun yang lebih dewasa dari kamu. Aku kangen banget sama kamu."
Ella merasa penat. Kedua matanya menutup perlahan.
***
Andika sengaja bangun pagi-pagi agar tiba disekolah pada waktu sepi. Ia ingin memperhatikan teman-teman barunya saat memasuki kelas satu persatu.
Ternyata Ardilla sudah ada disana. Heran! emangnya cewek satu ini berangkat dari rumah jam berapa? Sementara saat ini setengah enam pagi.
Ardilla cuek terhadap kehadiran Andika. Dia tidak berkomentar apa-apa sampai Andika duduk di sebelahnya.
"Kamu itu siapa? Kenapa tampaknya seluruh murid disini tidak pernah menyapa kamu." Ardilla meletakkan buku yang dibacanya. Pandangan matanya sekarang ditatapkan ke arah Andika. Dingin, tajam tapi berwibawa. Andika tiba-tiba merasa ngeri. Seumur hidupnya baru kali ini ada seorang cewek yang begitu berwibawa di hadapannya.
"Mana yang lebih parah. Seseorang yang tidak perduli pada orang cuek atau seorang yang tidak perduli pada orang yang perhatian sama dia." Ardilla memposisikan badannya sehingga berhadapan dengan Andika. "Kalau aku cuek terhadap orang yang cuek sama aku itu hal yang biasa. Tapi lihat diri kamu. Kamu lebih parah dari aku karena kamu cuek terhadap seseorang yang perhatian terhadap kamu."
"Hei, non. Aku enggak ngerti kamu ngomong apa? Apapun yang aku pikirkan bukan urusanmu."
"Oh,ya. Kalau kamu punya prinsip begitu lantas kenapa kamu begitu perduli apakah semua orang-orang disini perhatian ke aku atau tidak? Itu urusanku bukan urusanmu." Nada Ardilla meninggi. Sejenak kemudian ia kembali memposisikan badannya searah bangku tempat duduk dan mulai mencoba membaca buku yang ditutupnya tadi.
Andika benar-benar kehabisan kata-kata menghadapi Ardilla. Gadis ini seperti pemain catur. Ia mengantisipasi semua kata-katanya, sehingga Andika sulit membalas serangannya. Lima belas menit sudah berlalu. Keduanya hanya duduk terdiam. Ego Andika masih meninggi. Dicobanya membuka suara selama lima belas menit ini tapi tidak berhasil. Sampai akhirnya—
Bersambung ke Bagian 2, Bagian 3, Bagian 4
Sumber gambar: boredpanda.com
0 komentar:
Posting Komentar