Pelabuhan Hati (Bagian 7)


“Sampah.” Rommy meletakkan kedua tangannya pada kaca satu arah.

“Kalau tidak ada ada sampah, kita mau makan apa? Orang-orang seperti kita memang kebanyakan ngurusi sampah.” Rasyid terkekeh. Pakaian dinasnya tampak kekecilan, tawanya membuat perutnya yang buncit tersiksa di balik ikat pinggang.

Pintu terbuka, pria berumban dengan badan tegap memasuki ruangan. Semua pandangan terkejut dan cepat-cepat membenahi diri mereka.

“Siap, Pak.”

Pria yang baru masuk itu mengangguk. Rommy menganggukkan kepala ke arahnya.

“Kenapa bukan kamu saja yang menginterogasinya.”

“Saya tidak tahu apakah ada pengacara yang akan melepaskannya. Jika ya, penyamaran saya terbongkar.”

“Aku rasa tidak. Mana punya duit cecunguk itu.”

“Gayatri itu istri simpanan pejabat. Dia bisa saja membujuknya untuk melepaskan mereka.”

“Dengan resiko belangnya sendiri ketahuan,” pria itu tertawa samar.

“Banyak cara menipu laki-laki, Pak. Tangisan perempuan contohnya.”

“Apa rencanamu selanjutnya? Apa kamu mau Gayatri masuk penjara.”

“Dia korban. Orang-orang yang memanfaatkan Gayatri yang seharusnya masuk bui. Mereka sengaja membuat Gayatri kecanduan agar bisa memanfaatkan koneksi suaminya untuk memperlancar operasi mereka.”

“Ok. Atur aja. Aku tinggal dulu. Beri aku laporan tiap minggu.”

***

Rommy menarik nafas panjang. Baru saja emosinya mereda dengan pengakuan penyerangnya, sekarang ia melihat kedai kopinya ramai. Seorang pegawainya berdiri di depan seseorang yang sepertinya marah. Dia memasuki kedainya dari dapur.

“Ada apa, Icha?”

“Tuh, Pak. Anak bule itu ngamuk-ngamuk karena ketumpahan kopi, padahal dia sendiri yang menampar cangkirnya.”

“Ganti aja kopinya sama yang baru terus kalian minta maaf.”

“Sudah, Pak. Tapi dia minta ketemu sama pemilik kedai ini.”

Rommy berjalan ke arah gadis yang marah-marah.

Excuse me. I’m owner of this cafĂ©. What can I do for you?

Gadis itu menghentikan omelannya dan berbalik menatap Rommy. Matanya yang meradang pelan-pelan melunak. Rommy tidak enak karena gadis itu melihatnya cukup lama tanpa berkata apa-apa.

What can I do for you?” tanyanya lagi.

“Saya bisa bicara bahasa indonesia.”

“Saya meminta maaf. Saya akan mengganti kopi yang tumpah,” ujar Rommy sesudah mereka berdua duduk.

“Tidak masalah. Saya akan melupakan masalah ini tetapi Anda harus menemani saya menonton movie.”

Rommy mengernyit. “Maaf. Saya mempunyai banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Salah satu pegawai saya bisa menemani Anda jika Anda menginginkan.”

“Tempat ini punya Anda. Jadi Anda yang harus bertanggung jawab. Saya anak atase Amerika disini. Papa saya punya koneksi banyak. Saya bisa minta papa saya supaya memperkarakan Anda di pengadilan karena luka bakar saya.”

“Mari saya antar ke dokter kulit. Saya akan mengganti semua biayanya.”

“Anda pikir saya tidak punya uang? Saya hanya ingin Anda menemani saya menonton movie, lantas masalah ini saya anggap selesai. Dan Anda perlu ingat, saya dan keluarga saya mempunyai kekebalan hukum, kalau Anda lebih memilih untuk memperkarakan saya, Anda pasti kalah.”

Rommy sudah tidak menganggap gadis di depannya ini seorang remaja. Secara samar ia mengamatinya dari atas. Rambutnya bergelombang keemasan, terkadang beberapa helainya menyapu sutra pada kulitnya. Badannya setinggi dirinya, tetapi matanya terlalu kecil untuk ukuran tubuhnya tapi tidak untuk wajahnya yang kurus. Cuma satu kekurangannya bagi Rommy. Terlalu cerewet. Apa karena bibirnya yang tipis, atau usia belum melahapnya cukup lama.

“Baik. Tapi cuma hari ini. Dan jika Anda tetap memaksa saya, silakan saja perkarakan saya.”

Deal.” Gadis itu bangkit. “C’mon.”

***

What? Kamu gila. Benar-benar gila. Kamu ingin kenalan dengan mengancamnya?”

For his attention sake. Yesss. I could do everthing.

“Lantas apa yang kalian lakukan di sana. Smooch? Did he tease you?

Martha tertawa ngakak. “Wow. Are you jealous? It’s private area, young lady. I don’t have to tell you.

“Ingat Martha,” Flori merasa dadanya meledak. “Aku cuma mengijinkan kamu menggodanya, bukan menjadikan dia pacar kamu.”

Time goes by. The future is mystery. Jika dia menyukaiku dan memutuskan menjadi my boyfriend. I don’t mind.

“Jadi kamu menganggap ini real, bukan sekedar main-main?”

The point is I don’t mind to be his girlfriend. I did not say I want to be his girlfriend. It’s different, Dear.

Don’t call me dear. I’m not your dear.” Flori memundurkan kursi makannya. Suara benturan besi dengan kursi di belakangnya terdengar. Teman di belakangnya berdiri dengan pandangan melotot. Flori bertabrakan dengan Tammura di pintu masuk kantin. Wajahnya berubah ceria, ia hendak mengatakan sesuatu tetapi Flori sudah menghilang dari pandangan.

“Ada apa dengan dia?” tanya Tamamura.

Go after her. Cheer her up. Maybe she’s mad.” Martha melahap sisa makanannya.

***

“Pak Rommy sudah pulang?” Flori bertanya pada pegawai Rommy di rumah. Si Pegawai terkejut karena tadi dia cuma mendengar musik melalui earphone sambil mengaduk-ngaduk youghurt.

“Belum, Kak. Biasanya kalau sampai jam segini belum pulang, berarti Pak Rommy sedang rapat di kantor.”

“Yang di mall?”

Pegawai itu mengangguk. Flori memasuki kamarnya. Berbagai pikiran tentang Rommy dan Martha masih deras bertumpuk-tunpuk di permukaan. Apa iya Rommy tega mengkhianatinya? Martha memang bukan gadis jelek. Wajah indo saja sering membuat cowok Indonesia termehek-mehek, apalagi jika bule asli. Tetapi sikap Rommy tidak berubah. Atau itu memang disengaja agar tidak mencurigakan? Jika benar memang begitu, Martha tidak akan berbicara seperti tadi. Sebab itu sama saja membuat saingannya menjadi waspada.

Flori ingin bertanya pada seseorang. Seseorang yang ia percaya. “Jika saja ada Papa,” pikirannya menyedot ke alam bawah sadar. Menguak-nguak keinginannya yang sejak kecil belum terpenuhi.

“Apa semua lelaki selalu tidak setia? Tidakkah Tuhan berbaik hati menciptakan satu saja pria yang baik untuk aku. Ia sudah mengambil kebahagiaan yang seharusnya aku dapatkan dari Papa. Apa dia tidak bermurah hati sedikit saja dengan menggantinya dengan pria lain. Meskipun pria itu bukan sebaga Papa, tetapi sebagai kekasih?”

Flori memeluk gulingnya, "Andai ini kamu, Rom. Sedikit saja setialah, aku akan lakukan apapun untuk kamu."

Flori muak ketika bayangan Martha mencium Rommy ada di dalam kepalanya. Tidak! Tidak mungkin! Rommy tidak akan sebegitu sayang padanya jika memang sekarang ia menyukai Martha.

Tetapi sayang kan tidak selalu harus seperti kekasih. Bagaimana jika dia menyayangi sebagai ayah atau saudara?

“Lantas buat apa dia menciumku? Apa seorang kakak atau ayah mencium seperti itu?”

Kamu tidak mau melepaskannya waktu itu, padahal dia harus menghadapi orang yang masuk ke rumahnya.

“Tetap saja ia tidak akan mencium seperti itu. Itu bukan sekedar ciuman.”

Kamu memejamkan mata waktu itu. Bagaimana kamu tahu ia menciummu?

“Tentu saja aku tahu.”

Kamu terlalu mencintainya sampai kamu berimajinasi.

“Tidak. Aku tidak ber-imajinasi. Ia memang melakukannya tetapi tidak mengakuinya”.

Dia memanfaatkan kerapuhanmu. Tanpa sadar kamu mau saja melakukan apapun yang ia ingin perbuat.

“Bohong. Dia bisa melakukan apa yang seharusnya ia lakukan karena sudah membeliku sampai 25 juta. Tetapi ia tidak melakukan. Pergi kamu. Pergiiiiiiiiiii.”

Flori bangkit dan melemparkan guling ke arah kaca tempat berhias.

Bersambung ke Bag 8 , Bag 9
Sebelumnya: Bag 1, Bag 2, Bag 3, Bag 4, Bag 5, Bag 6

Sumber gambar: pinterest.com

Pelabuhan Hati (Bagian 7) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar