Pelabuhan Hati (Bagian 6)



“Ya, Rud. Aku tahu kita memang harus membeli mesin espresso buat kedai baru kita. Tetapi uangnya belum ada.”

“Kalau tidak salah, Pak Rommy pernah mengatakan akan meminjam uang dari Bank.”

“Aku sudah pakai beberapa untuk keperluan mendadak. Aku masih memikirkan cara lain. Nanti aku beritahu kalau sudah siap.”

“Baik, Pak. Apa lebih baik kita pakai alat manual dulu—Ya, memang tidak seberapa bagus jika dibandingkan dengan mesin yang asli—daripada tidak ada.”

“Nanti aku putuskan. Sudah dulu. Ada orang yang ketuk pintu.”

Rommy cepat-cepat meletakkan ponselnya di meja. Suara ketukan di pintu segera diikuti seseorang membuka pintu.

“Boleh masuk?”

Harum sedap kopi langsung membuat Rommy memejamkan mata. Flori meletakkan cangkir di meja.

“Sibuk?”

“Biasa aja. Lagi membuat laporan pajak. Kok belum tidur?” Rommy melihat jam dinding. “Udah malem, besok kamu kesiangan.”

“Mama enggak pernah bilang itu. Dia sendiri sering pulang pagi. Aku terpaksa bangun sambil nabrak-nabrak tembok untuk buka pintu.”

“Sekarang aku yang malah paksa-paksa kamu buat tidur.”

Flori ke belakang kursi Rommy, kedua tangannya memijit-mijit bahu Rommy pelan-pelan. “Aku ingin suatu ketika ada yang maksa aku buat tidur..he..he..pengin tahu rasanya kayak apa. Tapi sekarang aku pengin nemenin kamu.”

“Entar lagi aku juga tidur, kok. Kamu duluan aja.”

“Nggak suka aku temenin?”

“Siapa yang tidak suka ditemenin orang yang suka pijit-pijit gini. Sampai pagi enggak bakalan kerasa capek.”

Flori menekankan jarinya lebih dalam. Rommy mengaduh, tapi tak lama ia larut dalam ajaibnya jemari Flori.  Ujung jarinya mengetahui titik-titik simpul pembuluh-pembuluh yang bermasalah, mengurai simpulnya, dan meletakkannya pada tempat semula.

“Kamu berbakat jadi tukang pijat,” ucap Rommy sambil memejamkan mata. Flori tidak menjawab lama. Pijatannya semakin lama semakin pelan. Rommy menengadah. Ia melihat mata Flori seperti menerawang ke tempat yang jauh. Rommy menggoyang lengan Flori.

“Ada apa?”

Flori seperti tidak sadar Rommy mengajaknya bicara, ia terus saja memijat. Pelan-pelan pijatannya melemah.

“Hei, ada apa?” tanya Rommy lagi. Kali ini kedua tangannya menarik lengan Flori dengan lembut ke arahnya. Flori duduk di sisi Rommy.

“Kangen rumah?”

Flori menggeleng. “Tiba-tiba aku pengin rasanya punya ayah." Punggungnya bersandar.  "Ayahmu pernah memelukmu?”

“Hemm..eh.”

“Pernah menamparmu?”

“Tidak. Justru dia yang selalu membelaku kalau aku mencuri mangga tetangga.”

Flori tertawa masam. “Sering mengantarmu ke sekolah?”

“Yeup. Karena ayah pergi ke kantor pagi juga, jadi sekalian antar aku.”

“Mama enggak pernah mengantar. Aku selalu jalan sendiri. Teman-temanku pernah tanya, ‘kenapa mamamu nggak pernah antar kamu pake mobil?’ Aku jawab mama harus ke kantor pagi-pagi. Lama-lama mereka tahu kalau mama memang nggak pernah mau ngantar.”

Flori menoleh, “Bagaimana rasanya dipeluk ayah?”

Salah satu lengan Rommy mengembang, menarik Floriana ke arahnya. Flori membalas mengembangkan lengannya. Kepalanya benar-benar bertumpu dalam dekapan. Pelipisnya mengusap-usap, membayangkan seorang anak meminta perlindungan dalam dekapan ayahnya, seakan-akan kedua lengan Rommy adalah pagar yang menjaganya. Tak seorang pun boleh memasukinya jika tidak berhadapan dengan Rommy.

“Hangat,” bisik Flori. Dekapannya lebih erat. Ia merasa menjadi anak berumur lima tahun dan memimpukan masa pertama kali menginjakkan kaki di taman kanak-kanak. Pandangannya berkeliling di seputar tempatnya berdiri. Asing. Tak ada yang dikenalnya. Berlari berbalik pada ayahnya dan memeluknya. Pasti ada monster disana. Tapi monster itu tidak akan menyakitinya. Ayahnya akan mengusirnya.

Rommy merasa ada cairan yang menghangatkan dadanya, tempat mata Flori menyentuhnya. Ia menelan kembali kata-kata yang dipikirkannya. Tangannya membelai-belai punggung Flori. Setiap kali belaian itu membuat guncangan tubuh Flori mereda, Rommy merasa lega.

“Rommy?” suara Flori serak.

“Hemmm?”

“Jangan tinggalin aku.”

“Enggak.”

Be my lover. Be my father, please. I’d do anything for you, but please don’t le me alone.”

I will.”

Promise?

Did I lie to you?

Please, say it, you wouldn’t let me alone.”

Rasa ngeri menghinggapinya. Andai Flori bertemu orang selain dirinya, apa yang terjadi pada Flori hari ini. Rommy menunduk. Flori menatapnya. Mata itu terlalu redup, pikir Rommy. Flori menjadi keramik yang akan pecah berkeping-keping. Dan mata itu adalah tali yang diulurkannya. Tali yang seharusnya ditangkapnya. Tali penyelamatnya dari lubang yang akan menenggelamkannya.

Please, promise to me,” bisiknya lebih lirih.

I promise.”

Prang.

Rommy dan Flori tersentak. Suara berdenting yang baru didengar mereka seperti sebuah kaca pecah. Rommy hendak mengangkat pantatnya, tetapi tangan Flori mencegahnya. Pelukannya lebih erat.

“Aku harus melihat apa itu.”

“Jangan. Jangan pergi.”

“Aku pasti kembali.”

“Jangan.”

“Kalau itu orang. Aku enggak akan biarkan mereka ngapa-ngapain kamu. Aku pastikan itu, setelah itu aku kembali. Aku janji.”

Matanya memelas. Rommy menatap ke arah dua matanya. “Believe me. Aku enggak akan jadi seperti papa dan mamamu.”

Praannng.

Pelukan Flori tambah erat. Ujung kukunya menancap di punggungnya. Rommy menangkup wajahnya. Dilihatnya dalam-dalam bola matanya. Air hangat itu mengalir lebih deras. Wajahnya semakin lama mendekati pemilik mata kosong itu.

Flori memejamkan matanya. Tak ada keinginan barang sedetik pun membiarkan Rommy membujuk untuk melepas pelukannya. Tapi aneh, ia merasakan sesuatu berada di permukaan bibirnya yang terbuka. Sesuatu itu terasa hangat. Flori yakin bahwa diantara mereka tak ada jarak yang memungkinkan sesuatu yang menyentuhnya. Ia ingin membuka matanya tapi takut. Ia takut menghadapi kenyataan bahwa apa yang menganduk-aduk bibirnya bukan apa yang seperti dipikirkannya. Biar. Biar saja ini mimpi. Meski cuma sebentar ia sudah cukup puas. Jika tidak dapat mendapatkannya pada dunia nyata, ia ingin bermimpi seperti ini. Lagi dan lagi.

Flori merasa sesak. Sepertinya udara di dalam mulutnya tersedot keluar.

“Flori.”

Flori benci. Sesuatu itu menyudahinya. Udara AC menyeruak membuat bibirnya mengering.

“Kamu sekarang percaya?”

Flori merenggangkan pelukannya sampai akhirnya tangannya tergantung di samping. Rommy melepaskan pelukannya kemudian meraba-raba bawah tempat tidurnya.

“Ambil tongkat ini. Jika mereka sampai kemari pukul aja.”

Flori tidak menjawab. Rasa dari beberapa detik yang lalu masih terasa. Ia menggenggam tongkat tanpa menyadarinya.

“Kunci pintu dari dalam. Jika nanti ada yang mengetuk pintu tiga kali, itu berarti aku. Kalau enggak, jangan pernah membuka pintu.”

Flori tidak tahu kejadian apa setelah Rommy menutup pintu pelan-pelan. Ia beranjak ke pintu dan menutupnya. Dari lubang ventilasi, Flori mendengar suara orang mengaduh dan menyumpah-nyumpah. Tampaknya ada sebuah kursi yang terbanting dan benda berat yang menghantam lantai.

Telinganya menempel pada pintu. Ia berusaha mencari suara Rommy, kalau-kalau saja pria itu membutuhkan bantuannya.

“Bawa mereka ke kantor.” Rommy mengamat-ngamati dua wajah yang tergeletak di lantai.

“Siap, Pak. Laksanakan”

“Tunggu saya datang besok, saya ingin lihat interogasinya.”

“Siap, Pak. Laksanakan”

“Ssssst. Jangan terlalu formal.” Kepala Rommy mengangguk ke arah pintu kamar.

Rommy mengetuk pintu kamarnya tiga kali sesudah orang yang membawa penyerangnya tidak terlihat. Flori membuka pintu cepat-cepat. Kedua tangannya bersiap-siap mengayunkan tongkat. Begitu ia melihat Rommy, Flori membuang tongkatnya dan menghambur ke arah dekapannya.

“Kok tidak ada siapa-siapa?” tanyanya sesudah badannya agak jauh dari Rommy.

“Kebetulan ada polisi patroli lewat, aku kasih ke mereka. Nah, sekarang aku memaksa kamu tidur sekarang. Udah malem.”

Rommy menemani Flori ke kamarnya. Sebelum pintu tertutup, Flori tiba-tiba bersuara. “Rommy?”

“Hemmm.”

“Apa kamu tadi menciumku?”

Rommy menutup pintu kamar Flori tanpa menjawab.

Bersambung ke Bag 7 , Bag 8 , Bag 9
Sebelumnya: Bag 1, Bag 2, Bag 3, Bag 4, Bag 5

Sumber gambar: pinterest.com

Pelabuhan Hati (Bagian 6) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar