“Kenapa tiba-tiba kamu jadi sopan?”
Deni menengadahkan kepala. Keringatnya bercucuran.
“Bisa di tempat lain,” bisik Syanne.
Deni meletakkan kunci inggris. “Brur,
kamu terusin dulu, ya?”
Orang yang dipanggil Brur
mengayunkan tangan dengan gaya hormat. Matanya mengedip. Seakan bertanya, “Dia
pacarmu?”
Syanne mengikuti Deni ke belakang.
Setelah mencuci tangan, Deni duduk di depan Syanne. “Jadi?”
“Aku hamil.”
Deni hampir terlonjak. Ludahnya terteguk. “Siapa yang melakukan?”
Syanne tidak menjawab. Justru air matanya menetes deras.
“Orangtuamu sudah tahu?”
Syanne sesenggukkan. Tangisnya lebih hebat dari tadi.
“Dengar Syan. Kamu datang kesini
supaya aku membantu kamu, kan? Kalau kamu nggak ngomong apa-apa, terus
bagaimana aku melakukannya?”
“Papa.”
Matahari bersinar terik, tetapi sengatan
halilintar di waktu hujan deras menjalar di tubuh Deni. “Ya, Tuhan. Terus Mama
kamu komentar apa?”
“Mama menyuruhku pergi dari rumah
dulu. Mama takut Papa terus-terusan—“
“Sudah. Nggak usah diterusin, aku
tahu kelanjutannya. Apa rencanamu sekarang?”
Syanne mengusap air mata dengan
punggung tangan. Pelan-pelan dagunya terangkat. “Boleh tinggal di tempatmu
sementara? Aku enggak tahu harus kemana. Aku enggak punya uang banyak, sebagai
gantinya aku bisa cuci baju buat kamu. Masakin kamu. Bersih-bersih rumahmu.”
Deni menarik nafas dalam-dalam.
Bukannya tidak mau membantu; kehamilan Syanne bisa menjadi masalah. Bisa-bisa
orang akan menuduh Deni yang menghamili Syanne. Tetapi Deni tidak tega membiarkan Syanne yang
hamil berkeliaran di jalan-jalan. Syanne tidak mungkin tinggal di tempat
keluarga-keluarganya. Juga tidak mungkin di teman-temannya. Mereka pasti akan
segera tahu kalau Syanne sedang hamil. Mulut mereka pasti akan segera berkicau
dan kehamilan Syanne akan segera masuk dalam program-program TV, majalah, koran—
“Ikuti aku.”
Ruko tempat Deni tinggal terdiri
dari tiga lantai. Lantai dasar adalah bengkel motor. Lantai kedua tempat Deni
tinggal. Lantai tiga digunakan Deni untuk memasak, mencuci pakaian dan gudang
kecil. Lantai tiga hanya separuh beratap, sebab bagian belakang digunakan untuk
menjemur pakaian.
“Ini kamarku. Kamu tinggal disini
saja, sebab disini dekar kamar mandi. Aku nanti tidur diatas. Aku minta maaf
kalau ruang ini enggak ada pintunya. Maklum, selama ini yang tinggal cuma aku
doang. So.. aku mau telanjang di rumah, mau telanjang sambil masak enggak
problem, kan?” Deni nyengir. Mulut Syanne setengah terbuka, memperlihatkan
sederet giginya.
“Nanti aku pasang rel buat kelambu.”
“Gak usah repot. Gini aja udah
cukup. Aku bisa ganti di kamar mandi.”
Bukan masalah ganti pakaian, pikir
Deni. Bagaimana jika kamu tidur nanti.
“Oke. Kamu istirahat dulu. Aku mau
kembali kerja. Ambil saja makanan di kulkas. Atau kalau mau masak sesuatu,
masak saja. Enggak perlu ijin-ijin segala.”
Deni hampir saja jatuh. Satu anak
tangga terlewati tanpa sengaja. Benaknya diliputi banyak pikiran. Sebagai
anggota girl band di negara ini,
Syanne pasti punya uang banyak. Kenapa dia mengatakan tidak punya? Apakah
Syanne sengaja menjebaknya?.Dan anak yang dikandungnya sekarang dari ayahnya?
Gila! Ini beneran? Ada ayah segila itu? Deni tidak sabar menunggu bengkelnya
tutup. Ia sudah membuat daftar tanya yang panjang.
“Pacar Mas Deni cantik. Kok aku
seperti pernah lihat, ya? Kayak wajah artis.” Jono tersenyum pada Udin.
“Atau memang artis?” Udin
mengedip-ngedipkan matanya.
Deni cuma tersenyum. Udin memang
mata keranjang, istrinya dua. Konon, masih ingin punya istri ketiga. Jono
sampai geleng-geleng kepala, ia pernah bertanya, apa rahasianya? Jawab Udin, “Rahasianya
tidak jomblo seperti kamu.” Udin tertawa ngakak.
***
Deni grogi menapaki tangga. Kurang
beberapa tangga lagi adalah ruangan Syanne. Biasanya ia menjalani ritual
hariannya sesudah bekerja adalah mandi. Kali ini pikirannya bukan sekedar
mandi. Perasaannya campur aduk. Gembira. Takut. Malu. Perut mulas. Semuanya
menghasilkan keringat dingin berlebihan.
“Memangnya ada apa dengan aku ini?”
batinnya. Syanne cuman teman, bukan pacar. Kenapa harus dag dik duk? Ataukah
sekarang perasaan ini berubah karena dia sekarang harus hati-hati. Ia harus
mengubah penampilannya. Tidak bisa cuma sekedar bertelanjang dada sehabis
mandi. Tidak lagi hanya makan seadanya. Ia harus juga memikirkan Syanne.
“Hai. Aku mandi dulu, ya?” Deni
melihat Syanne sedang membaca buku. Aura artisnya benar-benar masih kuat,
meskipun sesungguhnya Deni tidak terlalu suka dengan girl band. Baginya girl band
hanya sekumpulan gadis-gadis dengan jumlah sekampung berteriak-teriak dan
berloncat-loncatan dengan fans mereka yang fanatik mengacung-acungkan cahaya ponsel
agar penampilan idola mereka kelihatan ramai.
Syanne mengangguk. Darah Deni
keluar-masuk jantung dengan kecepatan tinggi. Hampir saja Deni lupa membuka
pintu kamar mandi.
“Kamu sudah mandi?”
“Udah.” Syanne tertawa. Deni tampak aneh
sekarang karena kikuk, padahal Deni yang dikenalnya selama ini jauh dari itu. Meski
bukan idola teman-temannya, Syanne cukup tahu siapa-siapa saja gadis-gadis di
sekolah mereka yang berebut perhatian Deni. Dan benar saja, Deni keluar dari
kamar mandi dengan hanya memakai handuk untuk menutupi bagian bawah badannya. Ia
tersadar ketika Syanne memalingkan muka. Buru-buru ia kembali ke kamar mandi.
“Tolong ambilkan bajuku apa saja di
lemari,” teriaknya dari dalam kamar mandi.
Syanne membuka lemari dekat bagian
kepala tempat tidurnya. Bau harum pewangi pakaian mengoyak-ngoyak hidungnya. Baju-baju
Deni tertata rapi. Terlalu rapi untuk ukuran cowok. Temannya ini membagi
tumpukan pakaian menurut jenis. T-shirt, hem, celana, dan pakaian dalam tidak
tercampur.
Dengan agak malu diambilnya pakaian
dalam, kaus, dan celana hawai. Wajahnya agak merona ketika menyerahkan pakaian
Deni lewat celah pintu kamar mandi.
Deni keluar dengan wajah kemerahan.
Kalimat yang ada di otaknya cuma, “Aku ke dapur dulu buat masak. Maaf, ya. Tadi
siang kamu mungkin kelaparan, aku tidak biasa makan siang, jadi kalau siang enggak
ada apa-apa.”
“Tapi cemilan kamu banyak. Aku
sempat nyemil brownies kukusnya. Nggak pa-pa?”
Deni menahan senyum. Semula Deni
berpikir setiap artis berhati-hati kalau makan.
“Aku udah masak sup,” tambah
Syanne.
Deni sempat terperanjat. Wah, artis juga bisa masak?
“Kalau gitu kita makan sama-sama
diatas, yuk?”
“Enak juga. Beneran nggak sangka
kamu bisa masak.” Deni baru saja mengecap-ngecap dua sendok sup ayam. Mereka
duduk berhadapan di meja kecil. Deni membelakangi tempat jemuran, sebelum mesin
cuci, sedangkan Syanne membelakangi kompor gas.
Syanne tersendak. Deni mengangsurkan
segelas air.
“Setiap orang butuh makan. Kenapa
memasak menjadi hal yang aneh?”
“Ya, setiap orang memang butuh
makan,” sahut Deni. “Tetapi tidak semua orang bisa punya seseorang yang
membantunya di dapur.”
Deni menghabiskan waktu makan malamnya
dengan bercanda. Ia memang sengaja tidak bertanya sesuatu yang membuat Syanne
merasa terbebani. Wajah Syanne, tawa, candanya memang sedikit membuat malam itu
berbeda dari malam-malam sebelumnya, meskipun Deni tahu, Syanne memaksakan
dirinya untuk tersenyum. Tetapi ketika Syanne menonton TV bersamanya di lantai
dua, Deni tidak bisa tidak bertanya.
“Aku tahu, ini memang bukan
urusanku. Tetapi karena kamu tinggal disini, aku jadi pengin tahu ada apa
dengan kamu sampai kamu seperti ini?”
BERSAMBUNG ke Bag 2 , Bag 3, Bag 4, Bag 5 , Bag 6, Bag 7
, Bag 8
*Sumber gambar: Karl Liversidge, https://www.artstation.com
0 komentar:
Posting Komentar