Home /
cerbung /
cerita /
cinta /
fiksi /
kisah /
roman /
romansa /
romantis /
Biarkan Aku Mencintaimu (Bagian 6)
Biarkan Aku Mencintaimu (Bagian 6)
Deni baru saja dari toilet sekolah dan hampir masuk ke kelasnya ketika menyadari adik-adik kelasnya yang sedang berolahraga adalah kelas Syanne. Deni gusar Syanne tidak mengatakan akan berolahraga hari ini. Andai tahu, ia sudah pasti melarangnya. Deni berusaha mencari perhatian Syanne untuk memberikan kode lewat gerakannya agar Syanne keluar dari lapangan olahraga tetapi Syanne sedang sibuk berusaha memasukkan bola basket ke keranjang. Dahi Syanne penuh dengan keringat. Setiap tetesan keringat yang mengalir seperti palu yang diketok di dada Deni. Hatinya takut terhadap sesuatu. Syanne hamil muda. Pak Broto berdiri di samping tiang papan pantul. Ia mencatat setiap bola yang masuk ke keranjang untuk dikonversi ke nilai.
“Kenapa kamu berdiri disitu?” Pak Lokes membuat Deni kaget. Ia memutar badan hendak memasuki kelas.
“Syanneee.” Seorang murid berteriak di belakangnya.
Deni secepat kilat memutar badan. Murid-murid bergerombol memandang sesuatu ke pusat lingkaran kerumunan. Deni berlari dan menyibak kerumunan. Syanne tergeletak. Deni tak menunggu Pak Broto yang kebingungan, ia segera menggendongya ke ruang UKS dan membiarkan petugas piket merawat Syanne, Deni sendiri menunggu diluar.
Pintu terbuka. Deni bangkit melihat kekuatiran Rara.
“Bagaimana Ra? Tidak kenapa-kenapa, kan?”
“Kita harus membawanya ke rumah sakit. Aku enggak tahu kok bisa ada pendarahan.”
Tubuh Deni tiba-tiba terasa dingin.
“Aku mau beritahu kepala sekolah dan wali kelasnya dulu.” Rara meninggalkan Deni tergesa-gesa.
Sepulang sekolah Deni membatalkan rapat OSIS pada jam satu, teman-temannya sudah tahu alasannya. Berita tentang Syanne langsung menyebar di seluruh kelas. Niken mengajak teman-temannya serta Deni menengoknya ke rumah sakit.
“Apa mungkin Syanne lagi mens, ngkali?” Niken bertanya sambil berjalan di koridor.
Tak ada yang menyahut sampai di depan pintu kamar Syanne. Dari jendela, Deni melihat Bu Karlista dan wali kelasnya, Bu Mursyid sudah ada di ruangan. Niken menarik tangan Deni. “Lebih baik kamu tinggal diluar, siapa tahu ini masalah cewek. Cowok enggak boleh dengar.”
Deni ingin protes, tetapi batal melihat mata Niken yang tampak serius. Terlalu serius untuk ukuran Niken yang suka pecicilan. Pantat Deni jatuh di kursi seiring dengan pintu kamar yang tertutup. Detik demi detik terasa seperti dikali sehari. Deni gusar memikirkan jika mereka sampai tahu apa yang terjadi pada Syanne yang sebenarnya. Apa yang akan dikatakan Syanne? Apa yang harus dilakukannya?
Pintu terbuka. Deni menoleh dan melihat Bu Karlista menuju tempatnya duduk. Pita suaranya hampir saja bergeta tetapi urung. Wajah Mama Karlista terlalu murung untuk menjawab. Deni bisa mengira-ngira apa yang dipikirkan wanita yang masih tampak cantik di usianya itu.
“Deni mau bantu Mama.”
Deni agak terkejut dengan kata ganti mama. Kata mama membuat hubungan Deni dan Bu Karlista tampak lebih dekat dari sebelumnya tetapi sudah pasti mengandung tanggung jawab lebih besar.
“Dengan senang hati, Bu.” Deni masih kagok mengucapkan kata mama.
“Deni tahu kenapa Syanne hamil?” Karlista berbisik.
Deni mengangguk. “Syanne sudah ceritakan semuanya.”
“Kamu sudah punya pacar?”
Deni mengangguk. Jantungnya berdetak lebih keras.
“Kamu mau mengakui kalau anak Syanne itu anak kamu?”
Deni tidak terkejut. Jadi ini maksudnya. Andai tidak ada Niken, Deni akan menyetujuinya saat ini juga. Tetapi meninggalkan Niken tanpa alasan adalah biadab. Dengan mengakui dirinya adalah ayah anak Syanne adalah sama saja memproklamirkan dirinya sebagai cowok tidak setia. Sikap Niken bisa ditebak. Syanne bukan tanggung jawabmu, sisi buruknya menuntut. Tetapi bukan salah Syanne berada dalam keadaan seperti saat ini, ayahnya yang seharusnya dipersalahkan, sisi baik dirinya membela.
Itu tetap saja tidak ada hubungannya dengan Deni.
Deni seorang manusia. Kawan Syanne. Apa itu bukan sebuah hubungan?
Oke. Syanne Deni sama-sama manusia dan hubungan itu membuat Deni menjadi bermasalah. Apa salahnya memilih yang terbaik dalam hidup? Tidak ada yang suka masalah. Suara sisi buruk Deni menggebrak udara.
Bukankah itu yang membedakan manusia dan hewan. Hubungan manusia tidak selalu timbal balik, ada kalanya hubungan itu adalah menolong.
Ah bullshit. Cuma Tihan yang bisa selalu menolong karena dia punya segalanya. Tetapi manusia tidak begitu. Manusia itu terbatas, dengan saling membantu mereka sama-sama untung.
“Saya akan pikirkan dulu, Bu.” Deni tidak begitu saja mengganti kata bu menjadi kata mama. Butuh waktu untuk mengatakan panggilan yang menggambarkan hubungan dekat itu.
“Bu Mursyid sudah tahu Syanne hamil. Tadi Mama tidak tahu kalau dia sedang di belakang Mama waktu dokter mengatakannya. Kamu tidak punya waktu lagi. Mama minta maaf, Deni. Kamu seharusnya tidak menanggung masalah ini, tetapi Mama tidak bisa mengatakan jika papa Syanne yang melakukannya. Konsekuensimu adalah menikahi Syanne, tetapi tidak dengan papanya.”
Deni menghirup nafas dalam-dalam sampai suaranya bergetar.
“Mama minta maaf, Den. Kamu bisa bercerai dengan Syanne saat anak itu lahir jika kamu tidak mencintai anakku. Mama akan tanggung semua biaya yang diperlukan.”
“Saya bisa menghidupi diri saya sendiri.”
“Mama tidak bermaksud menyinggungmu. Justru itulah kenapa cuma kamu harapan Mama. Kamu pria yang bertanggung jawab. Mama terkejut ketika Syanne bercerita bahwa kamu menghidupi dirimu sendiri dengan membuka bengkel. Mama bisa saja mencari pria lain, tetapi Mama tahu, kelihatannya Syanne suka sama kamu. Mama tidak mau memaksanya mencari pria lain jika Syanne tidak mau. Ini bukan salahnya dan Syanne masih muda, mama cuma ingin masalah itu tidak berlarut-larut agar Syanne bisa melanjutkan kehidupan remajanya.”
Air mata Karlista mengalir deras. Usapan punggung tangannya tidak bekerja sempurna. Sedetik kering, sedetik kemudian mengalir tanpa henti. “Mama mohon, Den. Menikahlah dengan anakku sampai anak Syanne punya status.”
“Apa yang Ibu lakukan saat anak itu lahir.”
“Sebaiknya diberikan ke panti asuhan.”
“Apa gunanya status saya sebagai ayah kalau ujung-ujungnya anak itu diberikan ke panti asuhan.”
“Kalian masih muda. Kalian belum sanggup mengurus bayi.”
“Seperti mengurus diri saya sendiri tanpa papa saya?”
Karlista menoleh. “Maaf, Den. Bukan itu maksud mama. Tapi ayah anak itu adalah papanya Syanne. Ini hubungan inses, ada kemungkinan anak itu cacat.”
“Sudah berapa dosa yang ibu lakukan jika ibu melakukan semua rencana ibu? Ini prinsip saya, Bu. Jika saya menikah dengan Syanne, saya tidak akan menceraikannya dengan alasan apapun. Dan anak itu akan menjadi anak saya.”
“Ok. Ok. Tapi kamu harus membicarakan dengan Syanne.”
Tepat ketika Karlista menutup mulutnya, Niken dan teman-temannya keluar. Karlista berdiri untuk menerima pelukan dari Niken dan teman-temannya kemudian berpamitan pulang.
“Syanne hamil.” Niken berkata dengan lesu pada Deni saat Niken berada dalam boncengan Deni. “Setahuku Syanne tidak punya cowok. Apa pacarnya artis, ya? Kalau begitu sudah pasti dia menyembunyikannya karena takut diendus TV-TV.”
Deni diam. Pikirannya berperang antara ya dan tidak.
“Kok kamu diam. Enggak kelihatan terkejut lagi. Syanne h-a-m-i-l.”
“Terus kenapa? Apa kita harus jadi detektif? Mencari siapa ayahnya?”
“Yang enggak. Tapi ya setidak-tidaknya kamu prihatin, gitu. Kok diam.”
“Aku sedang mengemudi motor. Kalau nabrak entar bukan cuma Syanne yang di rumah sakit.”
“Apa mungkin salah satu cowok di sekolah kita ya? Tapi rasa-rasanya Syanne cuek aja sama makhluk cowok. Aku pernah lihat Syanne digoda, Syanne cuma senyum dingin saja.”
“Sudahlah, Ken. Kita enggak usah menduga-duga.”
“Sayang, ya, cewek secantik Syanne sudah hamil duluan. Artis-artis kebanyakan kayak gitu, ya.”
“Ya, ampun. Niken.”
“Ok, deh. Aku diam. Yuk nonton.”
“Nonton? Emang ada filem bagus?”
“Ayolah. Sekali-kali, kek nonton enggak cuma hari Sabtu. Ya, please.”
BERSAMBUNG ke Bag 7, Bag 8
Cerita sebelumnya:
Bag 1, Bag 2, Bag 3, Bag 4, Bag 5 ,
*Sumber gambar: Karl Liversidge, https://www.artstation.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar