Biarkan Aku Mencintaimu (Bagian 3)


Bel istirahat membuyarkan lamunan Syanne. Pelajaran biologi biasanya selalu menarik perhatiannya. Hanya saja kali ini ia lebih suka memperhatikan burung-burung gereja. Mereka bercicit-cicit setiap kali berpindah dari pohon cemara satu ke lainnya. Posisi duduknya memang menguntungkan. Disudut ruangan, dekat jendela. Barisan pohon cemara tua berderet seakan-akan membentuk barisan pelindung dari sinar matahari di timur.

“Oeee.” Natasha menggebrak-gebrak meja. Dia langsung beranjak ke arah Syanne ketika semua temannya berburu makanan di kantin. Dila dan Monica yang berjalan di belakangnya sampai mundur dua langkah. “Otak kamu lagi dioperasi seperti kodok di laboratorium?”

Syanne tidak menunjukkan tanda-tanda terkejut. Ia memalingkan muka dengan malas. Tetap tak menjawab. Ia mundur sampai punggungnya menyentuh sandaran kursi.

“Aku tahu.” Monica duduk di sebelah Syanne. “Kamu pasti naksir sama cowok yang tampil bareng kamu di TV Award itu, ya?”

Dila langsung melongo. “Beneran? Maksudnya Bima, kan? Kita bakalan berkompetisi, nih.”

“Kompetisi apaan? Dengan cara apa kamu kenalan ama Bima? Masih mending Syanne, sama-sama artis. Modalmu dibanyakin dikit, baru mimpi.” Monica resah bakal punya saingan Dila. Monica tahu, Dila orangnya nekat, biarpun kelihatan mustahil, Dila membuatnya menjadi mungkin. Dila bisa saja meminta bantuan Syanne untuk pura-pura mengundangnya di ulangtahun Syanne dan Dila mencoba berkenalan saat itu.

Natasha mendorong kepala Dila, “Kalian itu bicara apa sih? Kalau masalah itu sudah jelas aku lebih berhak. Ingat! Aku punya semua foto Bima, dari bayi sampai sekarang. Suka itu kayak gitu. Jangan tanggung-tanggung.”

Sontak Monica dan Dila mengacak-acak rambut Natasha. “Huuuuuuu…penonton kecewa.”

Syanne melihat ke luar jendela. Deni bermain basket dengan anggota tim basket sekolah. Deni bukan anggota tim basket, tetapi Syanne melihat keahliannya tidak bisa disepelekan. Beberapa kali triple dan double point. Kenapa tidak masuk tim basket?

Beberapa kali matanya bertabrakan dengan mata Deni. Syanne melihat ada sedikit senyum samar di mulut cowok itu. Syanne pun dengan samar membalasnya. Deni memang sok cuek karena Niken duduk di bangku semen belakang Deni, sedang menjilati es krim coklatnya.

“Eh, Syan. Kok bengong?” Suara cempreng Dila mengagetkan Syanne. Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke tempat lain.

Dila melongok jendela, menebak yang dilihat Syanne. Bibirnya merekah. “Wow. Tuan puteri lagi terkesan dengan para pebasket kita.”

Monica dan Natasha ikut-ikutan melihat jendela.

“Sebentar. Aku curiga nona ini menyukai salah satu dari mereka. Hemmm…siapa, ya?” Monica mengetuk-ngetukkan jari di kepala.

“Jarot?”

Natasha menoleh pada Dila, “Jarot? Kurang tinggi, ah.”

“Dika? Cowok paling tinggi. Tapi kurang tajir.”

Monica melempar bola-bola kertas yang sendari tadi digulungnya ke Dila. “Dasar matrek. Biar tajir kalau muka kayak monyet, elo mau?”

“Habis nikah taruh aja di kerangkeng, trus aku bakalah shopping. Beres, kan?”

Deni duduk di sisi Niken. Deni sepertinya sedang tertawa-tawa mendengar celotehan Niken sambil mengelap keringat. Niken memang terkenal jago ngocol. Bahkan guru-guru lupa marah kalau mendengar Niken bercanda. Syanne menatap lekat-lekat pada Niken. Matanya yang kecil tampak lebih besar dari biasanya.

“Hei.” Natasha meletakkan telapak tangannya pada punggung Syanne. “Ada apa kok serius banget.”

Dila memekik. “Jangan-jangan kamu suka sama Deni.”

“Ohh.” Monica menutup mulutnya.

Syanne menjauh dari jendela.

“Beneran, Syan? Kamu suka Deni?” Dila berbisik.

“Ngawur.” Syanne bingung mengartikan perasaannya saat ini. Ia senang namanya disebut bersama Deni, di pihak lain, ia takut. Niken tidak akan terima kalau sampai tahu.

“Sudahlah. Memangnya enggak ada cowok lain apa. Mending sama Bima.”

“Eiiiit,” sergah Dila. “Itu cowok buat aku.”

Tawa mereka bertiga terdengar sampai tempat duduk Deni.
***
Deni menghentikan motornya begitu keluar dari gerbang sekolah. Ia melihat Syanne sedang menunggu di bawah pohon cemara. Deni celingukan. Badannya berputar ke belakang, memastikan tidak ada orang. Tapi baru saja ia akan menarik gas, seseorang menjerit di belakangnya. “Dennnn.”

Hati Deni mencelos. Motornya ia matikan.

“Nonton, yuk? Ada film horor baru.”

“Sekarang. Masih pakai seragam? Enggak enak, ah.”

“Aku udah bawa kaos.” Niken menyorongkan tas kertas. Tanpa menunggu persetujuan Deni, Niken nangkring di boncengan.

Deni melihat Syanne. Lewat mulutnya Deni bisa membaca gerakannya, “Tidak apa-apa. Aku pulang sendiri aja.”

Niken melambai-lambaikan tangannya ketika melewati Syanne. “Syannnnn… duluan, ya. Sampai jumpa besok kalau kita berdua masih hidup.”

Deni kaget. “Ya, ampun Niken. Kamu itu ngomong apa?”

Niken cengengesan. “Kita kan emang enggak tahu besok hidup atau enggak.”

“Tapi jangan ngomong kayak gitu.”
***
“Siang, Mbak.” Udin cengengesan.

Syanne tersenyum sedikit, lantas naik ke lantai dua. Tubuhnya terhempas di ranjang. Perasaan ini benar-benar aneh. Matanya tertutup rapat. Tidak mungkin. Niken memang pacar Deni, kenapa aku cemburu? Harga dirinya terhantam. Benaknya mengingat nasehat majalah remaja yang pernah dibacanya. Jika ingin melupakan seseorang, carilah sesuatu untuk membencinya. Syanne mengingat-ngingat aksi panggungnya terakhir kali. Banyak penggemar yang berteriak-teriak. Penggemar yang rela membeli segala aksesoris band-nya. Pemuda-pemuda tanggung mengaguminya. Rela melakukan apa saja. Banyak pilihan. Kenapa harus memilih Deni? Uangnya mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan cowok-cowok yang antri menjadi pacarnya.

Tapi Deni bukan cowok manja. Dia menerimanya, meskipun keadaannya bukan keadaan terbaik seorang remaja. Ia hamil. Mana ada cowok yang mau mengurusi cewek hamil. Cewek yang ternoda. Lagipula Deni juga punya pacar. Terlalu beresiko bagi cowok itu mengurusi cewek seperti dirinya. Tapi—sekali lagi tapi—Deni mau melakukannya. Bagaimana mungkin mencari keburukannya?

Semalam pun ia dapat melewati malam tanpa gangguan. Berdua dengan seorang pria bukan keluarga dibawah satu atap membuat Syanne takut. Tapi tidak terbukti. Pelan-pelan ia memercayainya. Bagaimana mungkin bisa mencari sisi negatif Deni?

Baru saja Syanne hampir tertidur karena angin dari jendela membuatnya nyaman, telinganya mendengar sesuatu menapaki tangga. Matanya terbuka lagi. Udin berdiri di ujung tangga. Sontak Syanne bangkit. “Ada apa, Bang?”

“Anu, Mbak. Saya mau mengambil obeng.”

Syanne langsung waspada. Kamar ini hanya berisi barang-barang pribadi Deni. Semua peralatan bengkel terletak dibawah, Deni mengatakan kemarin. Kenapa Udin mau mengambil obeng. Syanne menyesal ia memakai daster. Ia memang percaya Deni, bukan Udin.

“Namaku Udin, Mbak. Kita belum berkenalan kemarin?” Udin datang mendekat.

“Jangan mendekat.” Syanne hampir menangis.

“Jangan takut, Mbak. Mas Deni nggak ada.”

“Kamu mau apa?”

Pandangan mata Udin jelas kurang ajar. Senyumnya terasa busuk.

“Kalau Abang maju. Aku teriak.”

Udin mendorong tubuh Syanne dengan keras sampai terjengkang di ranjang. Giginya menyembul diantara bibirnya ketika melihat sebagian daster Syanne tersingkap. Tetapi Udin heran. Belum sempat maju lagi, tubuhnya sudah melayang ke depan. Pinggangnya perih. Hidungnya berdarah karena terbentur lantai.

Tubuhnya berputar. Deni sedang berdiri di depannya. Sambil mengumpat dan sempoyongan, Udin tertatih bangkit. Lengannya mengayunkan kepalan tangan ke depan. Deni mengangkat kakinya dengan santai selurus pangkal pahanya untuk menghadang tubuh Udin.

Deni memindahkan berat badannya sedikit ke kakinya yang terangkat, membuat Udin terjengkang ke belakang. Udin mengumpat. Deni datang dan menghentakkan kakinya ke perut Udin.

Udin tersendak. Makan siang yang baru saja masuk ke perutnya keluar memenuhi kerongkongannya. Jono yang mendengar teriakan Udin bergegas naik. Pandangannya heran nelihat Deni dan Udin seperti baru saja berkelahi.

“Pergi kamu dari sini. Sekarang. Jono!”

“Iya, Mas.”

“Bantu Udin pergi.”

Jono mendatangi Udin dan membantunya berdiri.

Saat mereka berdua melewatnya, Deni menatap Udin. “Mulai hari ini kamu enggak usah datang kesini.”

“Puh, kamu memecatku.” Udin tidak mau kalah menatap Deni tajam-tajam. “Kalau begitu aku minta pesangon.”

“Masih mending aku tidak melaporkan ini ke Polisi dan istri tuamu.”

Udin langsung kecut. Dengan tertatih-tatih, Jono dan Udin menuruni tangga. Deni melihat Syanne yang memegangi kedua kakinya memojok dekat lemari. Ia berjongkok di depannya.

“Maafkan aku. Seharusnya aku tahu kalau Udin bakalan sebejat itu. Aku janji ini terakhir kalinya aku lalai menjaga kamu.”

Deni tidak mendengar Syanne menangis. Tetapi ketika Syanne memeluknya, badannya terguncang-guncang. Sesuatu yang hangat meresapi dadanya.

BERSAMBUNG ke Bag 4, Bag 5, Bag 6, Bag 7, Bag 8

Cerita sebelumnya: Bag 1, Bag 2,

*Sumber gambar: Karl Liversidge, https://www.artstation.com

Biarkan Aku Mencintaimu (Bagian 3) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar