Dokter Aminah menatap Deni dan Syanne bergantian. “Maaf, Pak Bu. Umur Anda berdua berapa?”
Deni meremas tangan Syanne sebagai pertanda agar membiarkan dirinya saja yang berbicara. “Saya dua puluh dua, istri saya dua puluh.”
“Hemm.” Kening Aminah berkerut. “Menikah muda? Sama dengan saya. Kalau nunggu kuliah kedokteran lulus bisa lari pacar saya.” Gigi belel-nya terlihat saat tertawa.
Deni dan Syanne ikut tertawa, tidak berkomentar apa-apa. Deni ingin Aminah cepat-cepat memeriksa Syanne sehingga mereka segera keluar dari ruang praktek. Sejak masuk ke parkiran, Deni sudah kuatir ada salah seorang teman atau orangtua mereka kebetulan berada disini. Mata Deni sampai capek berputar-putar mengamati orang-orang yang akan berpapasan dengan mereka.
“Sehat-sehat saja, Bu Syanne.” Tangannya menulis sesuatu di buku resepnya. “Oh, ya, nanti pakai dokter apa bidan?”
“Dokter, Dok.” Sahut Deni asal.
Aminah tersenyum. “Itu baik.”
Tentu saja baik, gerutu Deni, karena itu berarti uang bagi mereka.
“Ingat Bu Deni. Jangan lupa memberikan ASI pertama, jangan memakai susu kaleng. Kita ini manusia, bukan anak sapi.” Aminah terkekeh.
Deni dan Syanne ikut-ikutan tertawa, tetapi tetap berusaha tidak berkomentar.
“Duh.” Syanne menarik nafas dalam-dalam. Tangan mereka masih bergandengan ketika keluar dari tempat praktek.
“Kenapa?”
“Aku kuatir Dokter tadi curiga.”
Deni tiba-tiba melepas tangan Syanne.
“Ada apa?” tanya Syanne berbisik. Pandangannya curiga mengarah pada arah mata Deni. Di depan mereka terlihat Niken menggendong anak kecil disamping wanita muda yang sesekali mengajak bercanda anak yang digendong Niken. Deni cepat-cepat melihat sekelilingnya. Tangannya meraih lengan Syanne dan membawanya masuk pada kamar kecil di samping kiri. Tepat setelah pintu tertutup, Niken melewati kamar kecil.
Toiletnya kecil. Hanya cukup untuk sebuah kloset duduk dan tempat berdiri selebar satu setengah bahu orang dewasa. Punggung Syanne beradu dengan tembok, berlawanan dengan Deni.
“Ada apa Niken ke tempat ini?” Deni berbisik di telinga Syanne.
“Ini klinik bersama. Enggak cuma dokter kandungan, dokter anak-anak juga ada, mungkin anak kecil tadi keponakannya.” Syanne menyahut.
Deni merasa pegal karena menjaga jarak agar bagian depan tubuhnya tidak bersinggungan. Lama-lama lengannya yang capek dan mulai mengendur sehingga tubuhnya hanya beberapa senti sebelum menyinggung badan Syanne.
“Maaf, Syan. Aku agak pegal.”
Syanne malah melingkarkan kedua lengannya melingkupi badan Deni.
“Apa gadis seperti aku masih pantas mendapat penghormatan? Kamu sendiri tahu, aku sudah tidak punya kehormatan yang harus dijaga.”
Deni menegangkan kembali lengannya, sehingga tubuhnya berjarak lebih lebar seperti semula. “Bukan itu maksudku. Aku masih menghormati kamu. Hanya karena aku agak pegal saja aku tadi lebih dekat ke kamu, bukan kurang ajar.”
“Aku tahu. Aku tahu banget kamu itu siapa. Enggak usah dipikirin.”
Deni mengira-ngira waktu yang digunakan Niken untuk duduk di ruang tunggu. Setelah waktu perkiraannya terlewati, kepalanya melongok melalui celah pintu. Niken duduk membelakangi toilet. Antara toilet dan ruang tunggu ada tembok kaca. Deni menutup pintu lagi.
“Niken sudah duduk. Ayo keluar sekarang.”
Syanne tidak melepaskan pelukannya. Malah tambah erat, seperti tidak ingin melepaskan Deni selamanya.
“Aku boleh jujur sama kamu.”
“Nanti saja kalau sudah di rumah. Kita harus buru-buru keluar.”
“Enggak, disini saja. Aku tidak tahu apakah di lain waktu aku punya keberanian seperti ini. Aku minta waktu kamu sebentar saja.”
Deni menyerah. Ia menunggu sampai Syanne berbicara lagi.
“Aku tahu ini tidak benar. Ini terlarang. Apa yang aku bilang cuma sekedar ingin jujur sama kamu supaya aku tidak punya beban.” Syanne menatap mata Deni. “Aku suka sama kamu.”
Deni tidak terkejut. Dari gerak-geriknya gampang ditembak bagaimana perasaan Syanne, tetapi Deni tidak menduga jika Syanne akan mengatakannya terus terang.
“Aku pengin tahu, apakah kamu juga suka aku?”
Deni menjatuhkan keningnya pada kening Syanne. “Kamu sudah tahu kalau aku dulu pernah berniat pengin punya pacar kamu. Tapi saat ini ada Niken. Aku tidak bisa mengkhianatinya.”
“Apakah ciuman tadi malam tidak berarti apa-apa buat kamu?”
“Syan.” Deni merasa serba salah. “Mungkin kita berdua terbawa perasaan. Kita sama-sama punya masalah dengan orangtua kita. Kita sama-sama sendirian, berada di suatu tempat berdua dan perasaan kita jadi ikut terlibat. Aku salah melakukannya. Maaf, Syan. Aku terbawa perasaan.”
“Oke. Baiklah. Tapi jawab pertanyaanku. Andai sekarang tidak ada Niken, apa kamu mau menikah denganku?”
Deni terbelalak. Menikah? Kata itu belum pernah mampir di pikirannya. Syanne sedang hamil, sudah pasti kata menikah sudah ada di benaknya. Tapi bagi dia sendiri, kata itu masih terlalu jauh. Belum kuliah, belum mempunyai pekerjaan tetap. Bagaimana menghidupi seorang istri? Syanne idola di sekolahnya, tidak ada laki-laki yang menolak menjadi pacarnya. Sekarang di depannya berdiri gadis yang dikejar-kejar laki-laki manapun menanyakan pertanyaan mudah tetapi mempunyai jawaban susah.
“Please, Den. Jawab saja. Aku pengin tahu. Aku tidak akan merebut kamu dari Niken. Aku janji. Aku cuma pengin merasa lega bahwa di dunia ini ada orang yang benar-benar tulis mencintai aku, bukan badanku.”
“Ya, aku mau.”
Suatu titik air hangat keluar dari sudut matanya. Deni menepisnya dengan jari. Baginya Syanne terlihat lebih cantik tanpa air mata.
“Terima kasih. Kamu tidak tahu seberapa bahagia aku saat ini.”
“Banyak cowok-cowok fansmu yang mengelu-ngelukan kamu di panggung. Bahkan aku tahu ada artis cowok yang suka ama kamu. Kenapa baru bahagia sekarang?”
“Mereka hanya suka aku karena artis. Karena wajahku. Karena aku terkenal, sedangkan kamu menerima aku meskipun kamu tahu keadaannku yang sebenarnya. Aku tidak perlu memberitahumu siapa diantara cowok-cowok itu dan kamu yang benar-benar tulus, kan?”
“Please, Syan. Jangan ngomong kayak gini lagi. Kepalaku tambah besar. Entar helm enggak cukup di kepalaku.”
Syanne tidak bisa menyembunyikan tawanya.
***
Bu Karlista memeluk erat-erat Syanne. Deni berdiri di belakang Syanne. Sekilas Deni membayangkan dia sendiri yang memeluk mamanya. Dengan sekuat tenaga ditahannya air matanya agar tak mengalir. Lelaki menangis? Puih.
“Ini, Ma yang namanya Deni.”
Deni menyambut tangan Bu Karlista. Wajahnya tidak bisa dibilang tua. Pria-pria akan sulit menebak mana yang anak mana yang ibu. Perbedaan mereka hanya di rambut Syanne yang lebih panjang dan muka Syanne yang persegi. Bentuk muka mama Syanne oval dan rambutnya pendek dan disasak dibagian atas.
Karlista melihat-lihat ke sekelilingnya sejak masuk dari ruko sampai rumah di belakang. Ekspresinya tersamar. Beberapa kali dia tertegun dengan bengkel dan taman belakang sebelum rumah. Mungkin dia heran ada pintu lagi menuju bagian lain bangunan ruko.
“Nak Deni. Ibu benar-benar berterima kasih Nak Deni—“
“Panggil saja Deni, Bu. Kepanjangan kalau ditambak nak terus.”
“Baiklah. Ibu benar-benar berterima kasih Deni mau menerima Syanne disini. Ibu tidak punya pilihan lain.”
“Tidak masalah.”
“Maaf, Den. Ibu bertanya ini, kalian tidak tidur bersama, kan?”
Syanne hampir tersendak karena terkejut. Matanya mengerling pada Deni. “Mama ini ngomong apa sih?” Tangannya mencolek pinggang Karlista.
“Tentu tidak, Bu. Saya tidur di ruko lantai tiga. Syanne disebelah sini.” Deni menunjuk tempat Syanne tidur.
“Maafkan Mama, Den.”
“Tidak apa-apa Syan, aku bisa mengerti. Oh, ya. Saya masih ada pekerjaan, saya tinggal Ibu dan Syanne disini.” Deni pergi ke tingkat dua ruko.
Ia mengambil sebuah foto pada lemari. Sambil duduk di tepi ranjang, ingatannya berusaha memanggil peristiwa saat foto itu dibuat. Umurnya masih empat tahun. Mama selalu melarangnya minum es krim sebelum makan, tetapi papa selalu sembunyi-sembunyi memberikan es krim. Akhirnya mama tahu, mama tidak marah, ia mengambil tisu dan mengelap bukti-bukti Deni minum es krim. Papa sedang membersihkan kamera saat itu, melihat mama dan Deni dalam posisi terbaiknya, Papa menjepret dslr kesayangannya.
Deni merebahkan diri, diletakkan bingkai segiempat itu pada dadanya. Matanya terpejam sampai beberapa lama sampai sebuah tangan menyentuh dahinya. Matanya terbuka pelan-pelan dan melihat Syanne duduk di tepi ranjang.
“Mama sudah pulang. Maaf enggak beritahu kamu. Aku udah hubungi hp-mu, kamu enggak jawab.”
Deni duduk dan menyandarkan diri pada tembok. Bingkai foto yang dipegangnya terbuka.
“Kangen Mama?”
Deni melihat foto itu lagi lalu membaliknya. Matanya memerah ketika membuang muka ke arah jendela. “Kamu sekarang tahu kalau aku cowok cengeng.”
“Bukan cengeng, tapi cowok yang punya hati.”
BERSAMBUNG ke Bag 6 , Bag 7 , Bag 8
Cerita sebelumnya:
Bag 1, Bag 2, Bag 3, Bagian 4
*Sumber gambar: Karl Liversidge, https://www.artstation.com
0 komentar:
Posting Komentar