Begitu
kakinya menjejak tanah di kaki gunung, Tedy menelusuri keadaan sekitarnya.
Beberapa sukarelawan dari Basarnas mendirikan tenda di tempat ini sebagai pos
komando. Seseorang prajurit TNI sedang berbicara dengan handy talkie di dekat pohon besar. Di sampingnya, sekelompok
pendaki gunung dengan peralatan survival dan tas ransel di punggung tampak
menggulung tali-tali.
Wajah
Tedy mengeras. Apa yang dicarinya belum terjangkau matanya. Ia berjalan lebih
ke dalam. Satelah memutar kepalanya ke kiri, dia melihat orang itu. Tedy
bergegas menghampirinya. Orang itu sedang duduk dengan segelas kopi susu
disampingnya.
Orang-orang
terkejut ketika mendengar seseorang terpekik. Orang yang dituju Tedy
terjengkang ke tanah. Sapuan darah keluar dari hidungnya.
“Aku
sudah bilang sama kamu ‘Jangan mengajak Putri’. Sekarang dia tersesat di hutan
dan kamu enak-enakan minum kopi disini.”
Tiga
orang tergopoh-gopoh menghampirinya. Mereka memegang kedua tangan Teddy. “Sudahlah,
Ted. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah mencari Putri.”
“Aku sudah bilang, Putri itu tidak pernah
mendaki gunung. Dia belum pernah belajar bertahan hidup di hutan. Dia pasti
kebingungan saat ini. ” Tedy berbicara sambil menunjuk-nunjuk pria yang
terjengkang itu. “Dan si Bobi dungu ini mengajaknya.” Matanya terbuka lebar
dengan nada mengancam. “Aku pastikan, jika Putri tidak selamat kamu juga tidak
akan selamat.”
Teddy
mengguncang badannya sehingga orang-orang yang memegang tangannya langsung
melepaskan pegangannya. Bagaimanapun juga memang percuma memegangi Tedy.
Badannya yang sebesar banteng dan tinggi akan mudah membanting mereka dengan
aikido-nya jika Tedy memang menginginkannya.
Seseorang
berpakaian oranye ala Basarnas menghampirinya ketika melihat Tedy seperti
berkemas-kemas akan mendaki gunung. Ia memperingatkan Teddy bahwa sebentar lagi
hujan akan turun deras. Keadaan di dalam hutan akan lebih berbahaya saat itu.
“Saya
pernah mengikuti latihan SAR. Saya juga pernah mendaki gunung ini lebih dari
lima kali, maka saya mohon, Bapak tidak perlu menguatirkan saya. Saya berjanji
untuk bertindak sangat hati-hati.”
“Apa
dia kekasihmu?” pria Basarnas itu menyungging senyum sedih. Ia bisa mengerti
kegalauan Tedy. Dirinya sendiri akan berpikir hal yang sama jika Putri adalah
anak atau kekasihnya.
“Bukan.”
Tedy menjawab dengan dingin. Ia segera meninggalkan pria itu.
Tedy
memang sependapat dengan pria itu. Mendaki gunung pada saat hujan memang
berbahaya. Di musim kemarau saja, suhu gunung sudah dingin apalagi di musim
penghujan. Tetapi dia tidak bisa tenang memikirkan Putri di dalam hutan. Kedinginan.
Sendirian. Putus asa. Dihempaskannya perasaan sakit hati ketika Putri
mencampakkannya demi Bobi. Dilupakannya betapa terbuangnya Putri karena tidak
menyapanya saat bertemu dengannya di acara kampus. Semuanya bermuara hanya pada
status sosial. Putri beralih pada Bobi karena pria itu memang lebih romantis.
Bobi sering menghujani bunga, tak perduli apakah saat itu sedang ada peristiwa
istimewa atau tidak. Bobi pandai mengambil hati orangtua Putri dengan oleh-oleh
masakan laut pedas kesukaan mereka.
Dan
Tedy? Tedy lebih banyak menghabiskan waktu mencari biaya untuk menghidupi neneknya.
Itu pun ditambah dengan biaya kuliah. Tedy sempat memohon Putri agar tetap
bersamanya, namun jawaban Putri, “Cinta juga butuh duit. Kita tidak bisa hidup
hanya dengan cinta.”
Tedy
mendapat informasi dari penjaga hutan bahwa kelompok Putri melewati jalur
pendakian empat. Jalur pendakian ini memang terkenal lebih dekat tetapi neraka.
Tanjakan-tanjakannya curam. Jalannya lebih sempit dan jurang dalam menganga di
sebelah kiri. Tedy memperkirakan Putri terlepas dari kelompoknya saat kabut
turun dengan lebat. Cuaca di gunung ini memang tidak dapat diprediksi. Sekarang
terang benderang dengan curahan matahari banyak, lain detik bisa tiba-tiba
berkabut tebal.
Tedy
bergerak mengelilingi di tempat terakhir kelompok Putri melihatnya. Semakin
lama dia memperbesar radius lingkarannya. Hujan mulai turun rintik-rintik. Tedy
semakin kuatir. Dia mencoba beristirahat pada ceruk dekat tembing. Badannya
menggigil hebat. Hujan dan kabut adalah paduan sempurna kematian di hutan ini.
“Tidak,”
Tedy bangkit lagi. “Kamu harus selamat.”
Tedy
melihat sesuatu berwarna merah dari tempatnya berdiri. Ia bergegas
mendapatinya. Ternyata sebuah scarf. Tedy lega sedikit mendapat petunjuk, kakinya
menjejak random dengan cepat ke segala arah. Ia tiba pada sebuah jalan yang
sangat curam ke bawah. Tedy membayangkan bahwa Putri bisa saja jatuh di bagian
jalan ini. Dengan berpegangan pada tanaman-tanaman merambat, Tedy menuruninya.
Nafasnya
terhenyak ketika melihat sosok di depannya. Sosok itu duduk dibawah tanaman berdaun
lebar. Tedy cepat-cepat mengambil jas hujan di tas dan menyelimutinya. Ia
mendirikan tenda kecil di tanah lapang di dekatnya.
Kamu harus hidup.
Tedy
memasukkan Putri ke dalam tenda, melepas baju dam celana Putri, menggantinya
dengan baju flanel dan celana quick dry.
Memakaikan jaket, kaos tangan, kaos kaki tebal. Dan menggosokkan minyak kayu
putih di sekujur badannya, lantas memasukkannya ke sleeping bag.
Kamu harus hidup.
Tedy
berusaha membuat Putri terjaga. Sesekali digosok-gosoknya wajah Putri.
Dipeganginya pipinya. Diusap-usapnya wajahnya. Ia berusaha membuat Putri
berbicara.
“Put..
makanlah sedikit.” Ia menyodorkan coklat hangat. Tapi Putri tak bersuara.
Bibirnya membiru. Wajahnya sedingin es. Tedy kuatir. Suhu badan Putri terus
menurun. Tedy menyedot coklat dengan pipet. Dengan selang kecil di ujungnya, ia
mengalirkannya setealah memiringkan kepala Putri. “Cobalah minum dikit aja.”
Tedy
sampai pada cara terakhir. Ia ragu melakukannya. Tetapi setelah dipikirnya agak
lama, ia menyerah.
“Terserah
kamu, Put, setelah ini kamu menuntutku ke pengadilan karena pelecehan seksual.
Tapi aku lebih suka melihat kamu hidup.”
Kamu harus hidup.
Hujan
sudah reda ketika Tedy terbangun karena Putri mulai bergerak-gerak. Kedua mata
mereka beradu. Mata Putri terbuka separuh.
“Kamu
apain aku?”
“Aku
memperkosamu.”
Tedy melihat samar-samar Putri tersenyum.
“Aku
tahu apa yang kamu lakukan. Thanks.” Putri mempererat pelukannya. “Tapi setelah
ini kamu harus menikahiku.”
“Kenapa
harus?” Tedy pura-pura bodoh.
“Kamu
sudah melihat semua dalamanku. Seharusnya
cuma suamiku yang boleh lihat. Oleh karena itu kamu harus bertanggung jawab.”
Akting Putri benar-benar menyakinkan sampai Tedy tidak enak dengan apa yang
baru saja dilakukannya.
“Tapi
itu aku lakukan supaya badan kamu lebih panas.”
“Enggak
perduli.”
“Andai
aku tidak melakukannya, apa kamu masih sama Bobi.”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Bobi
pernah meminta sesuatu seperti ini. Aku gak kasi, dianya marah-marah. Sementara
kamu tidak mengapa-ngapakan aku padahal kita berdua seperti ini. Itu artinya
kamu lebih bisa dipercaya dari Bobi.”
“Andai
kejadian seperti ini tidak pernah terjadi, apakah kamu ingin menikah denganku.”
Mata
Putri melebar. Sudut bibirnya mulai bisa ditarik. “Aku sudah ingin balik ke
kamu sejak lama. Hanya saja aku merasa malu sama kamu.”
Tedy
memeluknya erat-erat. Impiannya kembali bersemi. Angannya melambung jauh ketika
mereka berdua selesai melakukan resepsi pernikahan. Mereka akan seperti saat
ini. Tentu saja, tidak sekedar berpelukan.
0 komentar:
Posting Komentar