Faisal
memangku Tania. Diusap-usapnya kepalanya sebelum kecupannya berlabuh di atas
kepalanya. Tania tak bereaksi. Ia sibuk memain-mainkan boneka barbie, hadiah
baru darinya. Ulang tahun Tania kali ini cuma dirayakan sederhana di rumahnya
sendiri. Istrinya memasak sup merah kesukaan Tania dan nasi goreng untuk Bobi.
Istrinya
mendekat dan duduk disampingnya. “Sudahlah, Pa. Tidak usah dipikirkan. Aku
sudah menerima Tania menjadi puteri kita. Bobi juga sayang sama Tania.”
Bukan
itu yang aku pikirkan, batin Faisal. Sampai
sekarang aku masih tidak percaya hal itu bisa terjadi.
***
Tak
ada sesuatu pun yang dapat dicela dari Aminah. Gadis lulusan SMP ini jago
masak. Debu-debu rumah takut padanya dan ayahnya juga jadi rajin melahap
makanan. Faisal bahagia, saat-saat susah mencari seorang pembantu rumah tangga
di teman-temannya terbayar lunas. Faisal memang tidak main-main mencari
pembantu untuk mengurus ayahnya. Sejak ibu meninggal beberapa bulan yang lalu,
ayah jadi murung. Istrinya pernah berkata, “Tinggal sendirian tidak baik buat
Bapak.” Faisal setuju tetapi dia kuatir. Faisal dan istrinya bekerja, sedangkan
Bobi dijemput mertuanya saat pulang sekolah. Barulah pada sore hari Faisal
menjemput Bobi saat pulang kerja untuk kembali ke rumah.
Aminah
lulus dari tes istrinya dan Faisal sendiri. Sulit menemukan pembantu yang jago
masak sekaligus rajin membersihkan rumah. Faisal kadang-kadang heran, kenapa
Aminah tidak membuka warung makanan saja.
Dalam
beberapa minggu kerja, istri Faisal baru mengetahui kekurangan Aminah. Gadis
remaja itu sering berpakaian apa adanya. Faisal sendiri kadang memergoki Aminah
sedang mengepel lantai dengan daster yang benang-benangnya sudah agak terberai.
Bagian pribadi di dadanya membentuk bayangan yang pasti membuat pria menelan
ludah. Bahkan tak jarang istri Faisal menyuruh Aminah mengganti roknya yang
terlalu pendek sehingga mudah tersingkap ketika dirinya jongkok. Istri Faisal
sudah berusaha membelikan pakaian baru untuknya. Tetapi ketika esok dia masih
memakai pakaian lamanya, alasannnya adalah, “Sayang, Bu. Kan saya lagi
mengepel. Nanti bajunya cepat kotor.” Atau dikirimkannya baju itu untuk
adik-adiknya di kampung.
Lama
kelamaan Faisal dan istrinya capai menasehati. Mereka serba salah. Kasihan
kalau harus memecat Aminah. Ayahnya baru saja meninggal. Ibunya akan kesulitan membesarkan tiga orang
adiknya dengan upah buruh tani.
***
Suatu
sore kening Faisal berkerut. Istrinya memasang muka angker.
“Duduk
sini, Mas,” bentaknya.
Faisal
menurut dan duduk. Baru saja ia akan bertanya, pertanyaan istrinya sudah
meloncat. Ditambah dengan caci maki. Diimbuhi tangisan. Kesemuanya bermuara
pada satu hal. Istrinya menuduhnya telah menghamilli Aminah. Faisal
terperangah. Dan minta kejelasan pada istrinya mengenai asal mula tuduhannya.
Istrinya
sering heran dengan kesehatan Aminah akhir-akhir ini. Gadis itu sering merasa
pusing, mual dan lemas. Istrinya memberinya obat sakit kepala, vitamin dan
minuman suplemen. Istrinya maklum, gadis belia itu pasti kelelahan mengurus
ayah dan rumahnya.
Tetapi
pada bulan ketiga, istri Faisal melihat perubahan pada Aminah. Badannya
membesar. Buah dada dan pantatnya bertambah montok. Rok mininya semakin
terangkat. Istri Faisal sampai pada satu kekuatiran. Ia membawa Aminah ke Puskesmas.
Hasilnya positif. Istrinya meradang. Aminah dicerca dengan satu pertanyaan, “Siapa
yang melakukannya?” Aminah diam. Cuma air matanya yang menjadi bukti rasa
takutnya sudah merajalela.
“Tidak
salah lagi,” jerit istrinya
Faisal
pulih dari rasa keterkejutannya. “Demi Tuhan, Ma. Aku tidak melakukannya.
Sekarang ayo ke rumah ayah. ”
Sesampainya
disana Faisal meminta istrinya untuk tidak bicara. Faisal bisa memahami kegusaran
istrinya, tetapi bertanya dengan penuh emosi seperti itu justru akan membuat
Aminah tutup mulut.
“Aminah.
Ibu sudah menuduh Bapak menghamili kamu. Bapak dan Ibu tidak marah sama kamu,
tetapi sebentar lagi kamu punya anak. Bagaimana cara Bapak dan Ibu akan
menjelaskan ke ibu kamu kalau kamu punya anak tetapi tidak punya suami? Ayo,
Nduk. Ngomong saja. Nanti Bapak dan Ibu akan lamarkan kalau kamu mau.”
“Kalau
memang bapak yang melakukan, katakan saja Aminah. Jangan takut.” Istri Faisal
menimpali. Nada suaranya jelas terlihat disabar-sabarkan.
Tangis
Aminah bertambah deras, tetapi Faisal tidak mau menyerah. Jawaban Aminah akan
menentukan sikap istrinya pada dirinya sendiri. Faisal sangat membutuhkan
jawaban Aminah saat ini juga.
“Ndoro,
Pak.”
Faisal
dan istrinya seperti tersengat listrik megawatt. Ndoro adalah panggilan Aminah
untuk ayah Faisal.
Betapa
campur aduknya perasaan Faisal. Tadi ia bersiap-siap marah dan mendatangi pacar
Aminah, kalau perlu, memukul wajah laki-laki yang hampir merusak nama Faisal
sendiri, tetapi sekarang, bagaimana mungkin dia mendatangi ayahnya sendiri.
Ayahnya
terkena stroke dua bulan sebelumnya. Pria tua itu sekarang lebih sering
terbaring dengan memandang langit-langit rumah. Sekarang Faisal menduga,
jangan-jangan ayahnya stroke karena mengetahui Aminah hamil. Pria usia senja
itu malu dan tak kuat menanggung perbuatannya sendiri.
***
Faisal
mencium Karina sekali lagi diiringi tetesan air mata. Dipeluknya gadis kecil
itu seperti anaknya sendiri seperti yang selalu dikatakannya apabila tetangga
menanyakan siapa Karina. “Bobi pengin adik, tetapi istri saya masih ingin
mengejar karir, jadi kami mengadopsi anak ini.” Bagi mereka Karina adalah anak
Faisal. Bagi Faisal sendiri, Karina adalah adiknya.
0 komentar:
Posting Komentar