Rumah
di depannnya seperti rumah biasanya. Berbentuk segiempat. Dua lantai. Warna
gentengnya sudah menghitam. Lumut berpesta pora sepanjang tembok kiri. Pagarnya
hanya setinggi pinggang orang dewasa. Berandanya hanya terisi dua kursi dan
satu meja. Halaman besar, cukup untuk menampung motor-motor atau mobil anak
kos. Hanya satu kekurangannya, penampilan halaman agak menyeramkan. Di dekat
tembok rumah sebelah kanan, tumbuh pohon trembesi. Di bawahnya terdapat kolam
usang. Atau setidak-tidaknya mantan kolam karena tak ada air disana. Hanya
rerumputan dan beberapa kaleng bekas.
Tangannya
baru saja hendak mengetuk pintu, saat bunyi berderit dari pintu mengagetkannya.
Sebuah kepala melongok. “Ya?”
“Saya
mau kos disini, Pak? Per bulan bayar berapa, ya?”
“Oh,
masuklah dulu, Nak.” Pintanya seraya membuka pintu lebih lebar-lebar.
Orangtua
itu mengatakan harga dan menjelaskan peraturan-peraturan di kos. Setelah itu
bertanya , “Bagaimana, Nak. Jadi kos disini? Jika ya, saya meminta uang kos
dibayar sekarang.”
Ia
merogoh dompet dan mengambil beberapa puluh ribu. “Jadi, Pak.”
Pria
itu tersenyum, lantas menunjukkan jalan ke calon kamarnya. Rupanya tiap kamar
di kos ini dapat dicapai tanpa melalui rumah bagian depan. Anak kos dapat
menuju ke kamar melalui halaman samping. Ia tahu, pemilik kos tidak ingin
diganggu dengan anak kos yang sering pulang malam. Daripada harus bangun
malam-malam membukakan pintu, lebih baik mereka diberi akses seperti sekarang.
Kata
Pak Kos, sebut saja demikian, ia memang lupa menanyakan nama pemilik kos,
kamarnya melewati jalan samping paling kanan. Sebelum jalan samping itu,
berderet kamar dari kiri ke kanan. Ia juga menghadapi deretan kamar serupa di
ujung jalan samping. Deretan kamar disini lebih gelap daripada di halaman
depan. Kamarnya paling pojok, dekat dengan kamar mandi. Pantas, tinggal kamar ini yang belum ditempati. Ia mengunpat. Kamarnya terletak dekat kamar mandi,
sehingga tembok bagian dalam kamarnya lembab, tetapi ia tak dapat mengumpat
lebih lama. Tubuhnya penat. Matanya langsung terpejam begitu kepalanya
menyentuh kasur.
***
Telinganya
menangkap percikan air. Sangat jelas. Semua suara memang akan tampak jelas di
malam-malam seperti ini. Ia mengangkat kepala. Kakinya menapak lantai menuju
jendela.
Matanya
seketika melebar. Seorang gadis berdiri membelakanginya, tiga meter dari teras
kamar. Tangannya mengambil sebuah baju dari ember, memeras, lalu meletakkan di
tali platik yang melintang.
Gadis
itu memutar tubuhnya ke belakang. Rambutnya melenggang seperti iklan-iklan
sampo. Wajahnya tampak terkejut ketika menyadari ada seorang pria
memandanginya.
“Hei,”
sapa pria itu gugup, ia merasa tak sopan memandangi gadis di malam hari dengan
diam-diam. “Aku baru disini. ”
Gadis
itu pulih dari rasa keterkejutannya. Dibalasnya senyum pria itu, namun giginya
samasekali tak kelihatan. Tampaknya dia tergolong gadis pemalu. Ia mengangkat
ember dan berlalu tanpa mengucapkan
apa-apa.
“Aku
Karta. Mahasiswa baru di universitas Jayakarma,” seru Karta, sebelum punggung
gadis tertutup tiang rumah dekat dapur. Karta lesu. Memang susah dapat gebetan kalau tidak punya uang.
***
Karta
pulang cepat-cepat. Sepanjang kuliah tadi pikirannya tak tenang.Wajah gadis itu
menempel di benaknya. Ia ingin tahu bagaimana wajah gadis itu jika dilihat di
waktu sore. Jika di waktu malam saja ia sudah tampak begitu menggoda, lantas
bagaimana jika sisa-sisa sinar dari langit lebih memperjelas penglihatannya.
Di
depan kamarnya, ia duduk pada sebuah kursi kayu panjang. Matanya masih terarah
pada bulan purnama ketika hidungnya membau sesuatu yang amat dikenalnya. Bau
kopi.
“Mau
kopi, Mas?”
Karta
hampir terjatuh dari kursi karena terkejut. Kepalanya berputar kesamping. Gadis
yang ditunggunya sedang membawa nampan berisi secangkir kopi hangat.
“Eh,
kamu. Duduk sini.” Karta bersyukur, ternyata orang tidak punya uang seperti
dirinya masih diberi kesempatan mendapatkan wanita.
Karta
kembali mengucapkan namanya seperti kemarin malam. Gadis itu menjawab namanya
Nana, putri pemilik kos. Karta berandai-andai, andaikata gadis ini menjadi
pacarnya, mungkin pemilik kos menggratiskan biaya kos. Malam ini, Karta
bertekad dengan segala cara, atas nama hidup hemat, gadis ini harus menjadi
pacarnya. Dan pertemuan-pertemuan selanjutnya membuktikan tekad Karta menjadi
kenyataan. Enam malam berikutnya mereka menjadi sepasang kekasih.
Pada
malam ketujuh, Karta berhasil menciumnya. Bukan karena gadis itu mengijinkan,
tetapi Karta merangsek maju, menghimpitnya pada sebuah pohon. Tak ada langkah
buatnya untuk mundur. Ia bahagia sedemikian rupa sampai tak melihat bahwa gadis
itu tak merona pipinya. Mata kelamnya dianggap Karta karena sinar rembulan tak
sanggup menyibaknya. Indera di kulitnya tak sanggup merasakan dingin pada kulit
Nana, padahal kehangatan yang dirasakannya cuma karena birahinya menutupnya
dengan sempurna dan menggantinya dengan panas tubuhnya sendiri.
Karta
meraba dadanya. Meremasnya dan duduk di kursi. Ia ingin menyakinkan dirinya
sendiri kalau jantungnya masih ada di tempatnya. Ia menarik nafas dalam-dalam.
Pembantu tempat kos—mbok Dasemih—baru saja mengundangnya untuk mengikuti
peringatan tiga tahun putri pemilik kos, Nana, yang meninggal pada tanggal lima
belas September.
0 komentar:
Posting Komentar