Cinta Rasa Coklat


Nalika berjalan terbungkuk-bungkuk. Perutnya serasa bergolak. Dia meringis sekuat-kuatnya, seakan-akan dengan cara demikian dia bisa mengurangi sakit di perutnya. Pandangannya kabur. Terlalu banyak air di matanya. Ia ingat kejadian malam kemarin.

Bartok memintanya untuk pergi berjalan-jalan dengannya. Nalika serasa mendapat uang sejuta dolar. Nalika memang menyukai Bartok. Pemuda berpotongan cepak. Anggota Pecinta Alam di SMA-nya.

Tetapi sialnya. Nalika ternyata menjadi alat taruhan Bartok dan gengnya. Taruhannya adalah Bartok harus membuat Nalika tidak bisa ikut ulangan matematika keesokan hari. Geng Bartok memang hanya dikenal sebagai geng hura-hura. Kebanggaan mereka hanya terletak pada jumlah gunung yang mereka daki. Tetapi isi otak? Jangan ditanya.

Kemarin malam, Bartok mengajaknya makan bakso. Cowok itu mencampur sambal dalam kadar diluar peri-kesambalan ke dalam mangkuk Nalika. Sekarang—Nalika terancam akan ikut ulangan susulan karena sudah ketiga kalinya Nalika bolak-balik ke toilet.

***

Nalika mayun berdiri di tepi jalan. Panas. Berdebu. Tak ada pohon di depan sekolahnya.Angkot juga belum datang. Tepat ketika sebutir keringat yang kesekian akan jatuh lewat pipinya, sebuah mobil berwarna putih berhenti di dekatnya.

“Nalika? Mau sama-sama?”

Nalika melongo. Dicky tersenyum.

Dicky sama-sama populer di SMA-nya. Bartok populer di Pecinta Alam. Dicky populer sebagai anggota klub Aikido. Konon Bartok sungguh mati membenci Dicky. Bukan karena apa-apa, tetapi Dicky saingan Bartok dalam segi kepopuleran.

“Ayo.” Sekali lagi Dicky bersuara.

Bola mata Nalika berputar ke kanan-kiri.

Dicky tersenyum. “Kamu kuatir aku ngapa-ngapain kamu?”

Nalika masih diam.

“Aku juga belum punya pacar, kok. Jadi enggak akan ada yang marah.”

Dicky mengantar Nalika dengan selamat. Dicky sangat pintar memanfaatkan keadaan. Dicky mengajak Nalika menonton bioskop hari Sabtu. Nalika bingung antara menjawab Ya atau Tidak. Jika menjawab Tidak rasanya tidak sopan. Dicky sudah mengantarnya tidak kurang apa. Tapi Nalika masih trauma dengan apa yang sudah terjadi antara dia dan Bartok. Bagaimana jika Dicky juga taruhan seperti Bartok. Harus dikemanakan muka ini?

Dicky seperti mengetahui pikiran Nalika. “Aku tidak akan mempermainkan kamu. Percayalah. Lihat bioskop sendirian tidak enak.”

“Kenapa aku?” tanya Nalika dalam hatinya. Ia menggigit bibir.

“Okelah. Aku enggak mau paksa kamu.” Suaranya bergetar. Dicky menutup pintu mobil. Tepat ketika dia akan memutar kunci kontak, ia mendengar suara Nalika menjawab ‘Ya’.

***

Sepi. Tentu saja. Ini gedung bioskop, bukan pasar malam. Dicky duduk bersebelahan dengan Nalika. Dicky serasa ditumpahi peluh. Bagaimana caranya menghentikan detak jantung ini. Setidak-tidaknya agar jangan bergema terlalu keras? Ia merogoh koceknya, mengeluarkan sebatang coklat berbentuk segitiga. Kata orang, cewek suka banget coklat. Asal si cewek tidak sedang diet. Mata Dicky mengerling ke arah Nalika. “Dan Nalika pasti tidak sedang diet.”

“Nalika?”

Nalika menoleh. Dari tadi memang tidak berkonsentrasi melihat film. Jantungnya berdegup kencang. Apalagi sih yang dimaui cowok kalau dia mengajak menonton bioskop. Keadaan di bioskop terlalu intim. Terlalu pribadi. Cewek harus percaya dulu sama cowok itu sebelum mau diajak ke tempat seperti ini.

“Kamu mau coklat?”

Nalika melihat batang coklat berbungkus kuning disodorkan. Siapa juga yang menolak coklat yang rasanya enak seperti ini. Kemarin, dia menghabiskan dua bungkus sambil menangis. Untungnya coklatnya enak. Rasa sedihnya karena Bartok lumer seperti coklat.

“Tapi ada syaratnya?”

Tangan Nalika meraih ruang kosong. Tangan Dicky memundurkan posisinya.

“Kalau kamu mengambil coklat ini, berarti kamu menerima aku jadi cowokmu?”

Nalika kelu. Ia memang sudah mengira, tetapi tak urung kaget juga. Harus menjawab apa? Apa ini jebakan juga seperti Bartok? Apakah lampu bioskop langsung menyala dan semua penonton disini adalah teman-temannya sendiri. Apakah mereka lantas menertawakan kebodohannya sendiri.

“Aku tahu,” lanjut Dicky. “Kamu takut aku seperti Bartok? Itu tidak mungkin.”

Nalika memandang tajam, seakan bertanya, “Dari mana kamu tahu?”

Dicky mengerti isi pikiran Nalika. “Dia memang ember bocor. Dia cerita ke teman-teman kita.”

Ada duri tak terlihat menusuk ulu hati Nalika.

“Jika kamu mau. Aku bisa sedikit memberikan dia pelajaran. Kamu mau aku melemparkannya ke planet Mars, biar dia seperti fim The Martian ini?”

“Jangan.” Nalika berkata tiba-tiba. “Itu. Tidak. Perlu.”

“Nah, sekarang aku bisa tahu jawaban kamu?”

Apa salahnya dengan Dicky. Cowok ini kelihatan baik. Dia tulus memberi coklat. Dia mau membalaskan dendamnya kepada Bartok andai memang itu yang diinginkan Nalika. Tidak! Dicky pasti tidak seperti itu.

Telapak tangan Nalika mendekati coklat. Meraihnya. Digenggamnya seperti layaknya benda paling berharga. Diletakkannya kepala pada lengan Dicky, seperti mencoba mengukur dentang jantung Dicky, apakah cowok ini sejatuh cinta seperti dirinya.

Tangan Dicky yang bebas membelai kepala Nalika. Tak perlu suara apa-apa lagi. Dicky sudah tahu jawaban Nalika.

Cinta Rasa Coklat Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar