Hati Hulubalang mencelos. “Apa yang akan dilakukan Baginda jika mengetahui Kanud sudah menikah. Tidak pernah ada orang yang berani menolaknya selama ini.” Pikirnya dalam hati.
Benar saja, Raja murka. “Hulubalang bodoh. Kenapa kamu lemah?” teriaknya. “Rampas. Jika orangtua Kanud menolaknya, bunuh semua orang di dusun itu. Habisi semua keturunannya.”
Dahi Hulubalang basah. Setitik demi setitik air dingin keluar dari pori-porinya. Beruntung Raja tidak memacungnya. Hulubalang segera menyiapkan pasukan.
“Pasukan Raja pasti kemari. Apa yang akan kita lakukan?” Kulud, suami Kanud, bertanya pada rapat dusun.
“Tolonglah kami, Kulud. Ceraikan saja istrimu. Kamu bisa mencari gadis lain. Masih banyak gadis-gadis cantik selain Kanud.”
Orang-orang dusun lainnya menyatakan persetujuannya.
“Tidak layak kamu mengorbankan seluruh warga dusun hanya untuk seorang wanita.” Seorang ibu pendek mencerocos tanpa diminta.
“Dan kamu Kanud.” Anak kepala dusun menoleh pada Kanud. “Bukankah menyenangkan jika mempunyai suami seorang raja. Emas dan permata akan menjadi alas kakimu. Siapapun orangnya, tak akan berani memandang matamu. Kamu mempunyai kuasa yang bahkan kepala dusun tak bisa menolaknya.”
“Bukan itu masalahnya, saudara-saudaraku.” Kulud mencari perhatian peserta rapat dengan menghentakkan gelas bambunya. Orang-orang yang hadir seketika terdiam. “Sekarang memang istriku yang diincar oleh raja. Tetapi tidak menutup kemungkinan istri-istri kalian pada suatu hari nanti. Cepat atau lambat, kita harus melawannya, atau—” Kulud mengedarkan pandangannya mengelilingi ruangan. “—selamanya kita akan diperbudak oleh Raja Badai.”
“Maksudmu kita melawan Raja? Kamu pasti sudah hilang ingatan Kulud. Raja Badai mempunyai ribuan pasukan. Itupun tidak hanya manusia. Kita bisa tahu dari kasak-kusuk, Raja Badai juga mempunyai pasukan dari bangsa jin. Hanya sekedipan mata, maka habislah kampung kita.” Darusman, orang paling tua di Dusun Maro angkat bicara.
“Kita memang tidak mungkin melawannya. Tetapi kita akan menghilang.”
Seluruh peserta rapat tertawa. Mereka memandang Kulud seperti orang gila yang biasanya menyatroni desa mereka.
“Aku tidak mengada-ada.” Kulud tidak patah semangat mengutarakan maksudnya. “Seperti yang aku katakan tadi, kita memang tidak mungkin melawan Raja Badai. Oleh karena itu aku menawarkan suatu strategi.”
Sepanjang malam para tetua dusun merancang strategi melawan Raja Badai.
Tengah malam rapat bubar. Dahlit berbisik pada Wargo, “Ikuti aku.”
“Ada apa?”
“Sudah, ikut aja.”
Dahlit membimbing Wargo menjauh dari pemukiman.
“Kamu tahu Raja Badai menyukai Kanud. Aku punya ide, bagaimana jika kita menculik Kanud dan menyerahkan pada Raja. Paduka pasti memberikan kita imbalan besar.”
“Warga disini akan membunuh kita, jika mereka tahu.” Wargo berbisik, seakan-akan pohon dapat mendengar mereka.
“Oleh karena itu kita melakukannya diam-diam.”
“Baiklah. Aku setuju. Nanti hadiahnya kita bagi dua.”
Dahlit dan Wargo menghadap Raja Badai. Raja menyetujuinya dan menjanjikan seribu keping emas, dengan syarat malam berikutnya mereka sudah harus menyerahkan Kanud.
Dahlit dan Wargo menyatroni rumah Kanud dan Kulud. Menjelang malam, mereka mengendap-ngendap mendekati jendela kamar Kanud. Wargo mencongkel dengan bambu. Dahlit berjaga-jaga di sekitar jendela.
Setelah berhasil, Wargo membuka jendela dan masuk. Keadaan kamar gelap. Wargo waspada dengan menghunus golok. Kakinya meraba-raba lantai. Tujuannya adalah sebelah kiri jendela, sebab ia tahu, disitulah tempat Kanud tidur.
Tetapi mereka kecewa ketika tidak mendapati Kanud disana. Mereka tidak tahu bahwa pada rapat malam sebelumnya Kanud diungsikan di balai desa. Beberapa laki-laki ditugaskan menjaga di sekitarnya.
Dahlit memukul-mukul telapak tangannya.
“Bagaimana ini. Raja pasti akan membunuh kita.” Wargo berbicara pada Dahlit sambil berjalan menjauhi dusun.
“Jangan menyerah. Kita cari seputar desa. Kanud tidak mungkin melarikan diri ke desa lain. Kemanapun mereka pergi, selama masih di Badarasta, Raja Badai pasti mengejarnya.”
Wargo dan Dahlit mencari di seluruh dusun. Ada satu tempat yang dicurigai oleh mereka berdua. Balai pertemuan. Di tempat itu obor dipasang di empat sudut. Beberapa pria berjaga-jaga di sekitarnya dengan golok terhunus. Untuk apa lagi balai pertemuan dijaga jika tidak ada sesuatu yang penting disana. Di balai tidak ada sesuatu yang bisa dicuri. Disana hanya ada lincak dan meja-meja kecil.
“Kita masuk?” bisik Dahlit.
“Gila, kamu. Menghadapi mereka semua? Mau cari mati?”
“Lantas bagaimana? Kamu mau dipancung Raja?”
“Kita harus cari akal. Sebentar.” Wargo termangu sebentar. Beberapa lama kemudian ia menjetikkan jari. Ia membisikkan sesuatu di telinga Dahlit.
“Itu rencana gila.”
“Kita tidak punya cara lain. Cuma itu satu-satunya cara membuat mereka tercerai kemana-mana. Dengan begitu kita bisa dengan mudah menculik Kulud.”
Burung celepuk berbunyi tiga kali sebelum orang-orang berteriak, “Kebakaran. Kebakaran.”
Warga Dusun Maro panik. Mereka sudah menutup pintu gerbang dusun untuk membatasi gerak pasukan Raja Badai nantinya, padahal sungai terdekat hanya berjarak lima puluh meter dari desa. Sumur-sumur desa sedang kering karena kemarau tahun ini lebih panjang dari biasanya.
Wargo mendobrak pintu belakang balai. Betul dugaannya, Kanud sedang tidur di lincak. Dahlit yang membawa karung untuk membekap Kanud, lebih dahulu menghampiri.
Kanud bangun dengan terkejut. Dua orang bertopeng dengan golok terhunus menghampirinya. Dia akan berteriak meminta pertolongan, tetapi Dahlit tergesa-gesa menutup mulutnya. Wargo mengikat kaki dan tangan Kanud.
Mereka bersiap-siap akan memasukkan Kanud ke karung ketika tiba-tiba pintu depan di buka dengan kekuatan besar.
“Siapa kalian?” Kulud meradang. Ia berlari mendekati mereka. Sebelum benar-benar sampai, Kulud meloncat dan merentangkan kakinya di udara. Wargo tertendang. Kepalanya pecah menghantam kayu kelapa yang dijadikan tiang rumah. Dahlit terlempar dan terjerembab ke belakang. Lincak disampingnya menghalangi langkah kakinya untuk mundur.
Dahlit bangun dan memungut goloknya. Ia mencoba menyambar sisi kiri Kulud. Dan gagal. Kulud dengan lincah meliukkan tubuhnya. Kaki kanannya maju agar dapat mengangka kaki kirinya untuk menendang dagu Dahlit. Sedemikian keras tendangan Kulud, membuat Dahlit jatuh terlentang.
Kulud mendekati Dahlit dengan hati-hati. Ia mengendap-ngendap sambil mempersiapkan pukulan andai Dahlit tiba-tiba berdiri.
Kulud lega melihat rahang Dahlit lepas dari engselnya.
“Dahlit,” Kulud tidak percaya dengan apa yang dilihatnya setelah membuka topeng Dahlit.
Kulud membawa Kanud kembali ke rumah. Di rumah atau balai tidak ada bedanya. Istrinya selalu dalam keadaan bahaya. “Lebih baik di rumah”, Kulud mengatakan kepada kepala dusun. Pria tua itu tak dapat mencegah Kulud. Malam ini membuktikan bahwa keberadaan Kanud di balai tidak lebih aman.
“Kamu yakin akan menyerang Raja Badai?” Kanud bertanya pada suaminya.
“Apa kamu mau kita bercerai?”
Benar saja, Raja murka. “Hulubalang bodoh. Kenapa kamu lemah?” teriaknya. “Rampas. Jika orangtua Kanud menolaknya, bunuh semua orang di dusun itu. Habisi semua keturunannya.”
Dahi Hulubalang basah. Setitik demi setitik air dingin keluar dari pori-porinya. Beruntung Raja tidak memacungnya. Hulubalang segera menyiapkan pasukan.
***
“Pasukan Raja pasti kemari. Apa yang akan kita lakukan?” Kulud, suami Kanud, bertanya pada rapat dusun.
“Tolonglah kami, Kulud. Ceraikan saja istrimu. Kamu bisa mencari gadis lain. Masih banyak gadis-gadis cantik selain Kanud.”
Orang-orang dusun lainnya menyatakan persetujuannya.
“Tidak layak kamu mengorbankan seluruh warga dusun hanya untuk seorang wanita.” Seorang ibu pendek mencerocos tanpa diminta.
“Dan kamu Kanud.” Anak kepala dusun menoleh pada Kanud. “Bukankah menyenangkan jika mempunyai suami seorang raja. Emas dan permata akan menjadi alas kakimu. Siapapun orangnya, tak akan berani memandang matamu. Kamu mempunyai kuasa yang bahkan kepala dusun tak bisa menolaknya.”
“Bukan itu masalahnya, saudara-saudaraku.” Kulud mencari perhatian peserta rapat dengan menghentakkan gelas bambunya. Orang-orang yang hadir seketika terdiam. “Sekarang memang istriku yang diincar oleh raja. Tetapi tidak menutup kemungkinan istri-istri kalian pada suatu hari nanti. Cepat atau lambat, kita harus melawannya, atau—” Kulud mengedarkan pandangannya mengelilingi ruangan. “—selamanya kita akan diperbudak oleh Raja Badai.”
“Maksudmu kita melawan Raja? Kamu pasti sudah hilang ingatan Kulud. Raja Badai mempunyai ribuan pasukan. Itupun tidak hanya manusia. Kita bisa tahu dari kasak-kusuk, Raja Badai juga mempunyai pasukan dari bangsa jin. Hanya sekedipan mata, maka habislah kampung kita.” Darusman, orang paling tua di Dusun Maro angkat bicara.
“Kita memang tidak mungkin melawannya. Tetapi kita akan menghilang.”
Seluruh peserta rapat tertawa. Mereka memandang Kulud seperti orang gila yang biasanya menyatroni desa mereka.
“Aku tidak mengada-ada.” Kulud tidak patah semangat mengutarakan maksudnya. “Seperti yang aku katakan tadi, kita memang tidak mungkin melawan Raja Badai. Oleh karena itu aku menawarkan suatu strategi.”
Sepanjang malam para tetua dusun merancang strategi melawan Raja Badai.
Tengah malam rapat bubar. Dahlit berbisik pada Wargo, “Ikuti aku.”
“Ada apa?”
“Sudah, ikut aja.”
Dahlit membimbing Wargo menjauh dari pemukiman.
“Kamu tahu Raja Badai menyukai Kanud. Aku punya ide, bagaimana jika kita menculik Kanud dan menyerahkan pada Raja. Paduka pasti memberikan kita imbalan besar.”
“Warga disini akan membunuh kita, jika mereka tahu.” Wargo berbisik, seakan-akan pohon dapat mendengar mereka.
“Oleh karena itu kita melakukannya diam-diam.”
“Baiklah. Aku setuju. Nanti hadiahnya kita bagi dua.”
Dahlit dan Wargo menghadap Raja Badai. Raja menyetujuinya dan menjanjikan seribu keping emas, dengan syarat malam berikutnya mereka sudah harus menyerahkan Kanud.
Dahlit dan Wargo menyatroni rumah Kanud dan Kulud. Menjelang malam, mereka mengendap-ngendap mendekati jendela kamar Kanud. Wargo mencongkel dengan bambu. Dahlit berjaga-jaga di sekitar jendela.
Setelah berhasil, Wargo membuka jendela dan masuk. Keadaan kamar gelap. Wargo waspada dengan menghunus golok. Kakinya meraba-raba lantai. Tujuannya adalah sebelah kiri jendela, sebab ia tahu, disitulah tempat Kanud tidur.
Tetapi mereka kecewa ketika tidak mendapati Kanud disana. Mereka tidak tahu bahwa pada rapat malam sebelumnya Kanud diungsikan di balai desa. Beberapa laki-laki ditugaskan menjaga di sekitarnya.
Dahlit memukul-mukul telapak tangannya.
“Bagaimana ini. Raja pasti akan membunuh kita.” Wargo berbicara pada Dahlit sambil berjalan menjauhi dusun.
“Jangan menyerah. Kita cari seputar desa. Kanud tidak mungkin melarikan diri ke desa lain. Kemanapun mereka pergi, selama masih di Badarasta, Raja Badai pasti mengejarnya.”
Wargo dan Dahlit mencari di seluruh dusun. Ada satu tempat yang dicurigai oleh mereka berdua. Balai pertemuan. Di tempat itu obor dipasang di empat sudut. Beberapa pria berjaga-jaga di sekitarnya dengan golok terhunus. Untuk apa lagi balai pertemuan dijaga jika tidak ada sesuatu yang penting disana. Di balai tidak ada sesuatu yang bisa dicuri. Disana hanya ada lincak dan meja-meja kecil.
“Kita masuk?” bisik Dahlit.
“Gila, kamu. Menghadapi mereka semua? Mau cari mati?”
“Lantas bagaimana? Kamu mau dipancung Raja?”
“Kita harus cari akal. Sebentar.” Wargo termangu sebentar. Beberapa lama kemudian ia menjetikkan jari. Ia membisikkan sesuatu di telinga Dahlit.
“Itu rencana gila.”
“Kita tidak punya cara lain. Cuma itu satu-satunya cara membuat mereka tercerai kemana-mana. Dengan begitu kita bisa dengan mudah menculik Kulud.”
Burung celepuk berbunyi tiga kali sebelum orang-orang berteriak, “Kebakaran. Kebakaran.”
Warga Dusun Maro panik. Mereka sudah menutup pintu gerbang dusun untuk membatasi gerak pasukan Raja Badai nantinya, padahal sungai terdekat hanya berjarak lima puluh meter dari desa. Sumur-sumur desa sedang kering karena kemarau tahun ini lebih panjang dari biasanya.
Wargo mendobrak pintu belakang balai. Betul dugaannya, Kanud sedang tidur di lincak. Dahlit yang membawa karung untuk membekap Kanud, lebih dahulu menghampiri.
Kanud bangun dengan terkejut. Dua orang bertopeng dengan golok terhunus menghampirinya. Dia akan berteriak meminta pertolongan, tetapi Dahlit tergesa-gesa menutup mulutnya. Wargo mengikat kaki dan tangan Kanud.
Mereka bersiap-siap akan memasukkan Kanud ke karung ketika tiba-tiba pintu depan di buka dengan kekuatan besar.
“Siapa kalian?” Kulud meradang. Ia berlari mendekati mereka. Sebelum benar-benar sampai, Kulud meloncat dan merentangkan kakinya di udara. Wargo tertendang. Kepalanya pecah menghantam kayu kelapa yang dijadikan tiang rumah. Dahlit terlempar dan terjerembab ke belakang. Lincak disampingnya menghalangi langkah kakinya untuk mundur.
Dahlit bangun dan memungut goloknya. Ia mencoba menyambar sisi kiri Kulud. Dan gagal. Kulud dengan lincah meliukkan tubuhnya. Kaki kanannya maju agar dapat mengangka kaki kirinya untuk menendang dagu Dahlit. Sedemikian keras tendangan Kulud, membuat Dahlit jatuh terlentang.
Kulud mendekati Dahlit dengan hati-hati. Ia mengendap-ngendap sambil mempersiapkan pukulan andai Dahlit tiba-tiba berdiri.
Kulud lega melihat rahang Dahlit lepas dari engselnya.
“Dahlit,” Kulud tidak percaya dengan apa yang dilihatnya setelah membuka topeng Dahlit.
***
Kulud membawa Kanud kembali ke rumah. Di rumah atau balai tidak ada bedanya. Istrinya selalu dalam keadaan bahaya. “Lebih baik di rumah”, Kulud mengatakan kepada kepala dusun. Pria tua itu tak dapat mencegah Kulud. Malam ini membuktikan bahwa keberadaan Kanud di balai tidak lebih aman.
“Kamu yakin akan menyerang Raja Badai?” Kanud bertanya pada suaminya.
“Apa kamu mau kita bercerai?”
Bersambung ke Bagian 3
Sebelumnya: Bagian 1
Sumber gambar: pinterest.com
0 komentar:
Posting Komentar