Ramdan kesal melihat jam. Sudah jam sepuluh, matanya masih enggan menutup. Kalau saja ini rumahnya, ia pasti keluar, menuju dapur, membuat mie instan kare plus lombok satu genggam dengan kopi hangat. Bodo amat harga lombok mahal. Tapi ini tempat kos. Teman-temannya sudah pulang ke rumah mereka sendiri dua hari lalu saat permulaan liburan semester. Dan kini, ia terkapar di tempat kos. Tidak mungkin pulang ke rumahnya sejauh 125 km dengan uang cuma limabelas ribu. Matanya melihat pemandangan di luar kamar. Sepi. Kamar-kamar kosong. Gelap. Pemilik kos tidak tinggal serumah dengan anak-anak kos sehingga tempat ini seperti rumah hantu waktu liburan.
Ramdan keluar mengendarai motor buntut pinjaman dari Parman, teman satu kamarnya. Rumah Parman terlalu jauh, ia lebih suka naik bis daripada motor. Setiap pulang, ia menitipkan pada Ramdan.
Ramdan berputar-putar cukup lama, sampai ia mendekati tempat yang dikenalnya sebagai tempat memancingnya bersama teman-teman kos apabila duit sedang cekak. Niatnya untuk berhenti sejenak urung. Dia tetap melanjutkan sampai beberapa meter ke depan. Matanya silau dengan lampau petromak. Ia berhenti dan melihat warung di pinggir jalan. Ramdan merasa beruntung. Disaat malas membuat mie dan kopi sendiri di kesepian tempat kos, ia menemukan tempat ini.
Wajah gadis penjualnya tidak mengecewakan. Sikapnya benar-benar seperti marketing jempolan. Senyumnya hangat. Suaranya membius. Tidak masuk akal warung ini sepi. Kemana cowok-cowok haus kasih sayang di sekitar sini.
Ramdan melirik sebentar pada dadanya ketika gadis itu mengangsurkan kopi padanya. Sempurna. Bahkan mungkin lebih besar dari sekepalan tangan. Tampak sehat. Tidak seperti gadis-gadis kota, dada mereka membusung karena silikon dan lemak makanan cepat saji. Sedangkan dia, pastilah karena bekerja keras mencari uang seperti ini.
Ramdan gerak cepat. Tidak sampai setengah jam, obrolannya dengan gadis itu tampak lumer. Orang tidak mengira kalau mereka baru saja berkenalan. Dan malam itu bukan malam pertama. Gampang ditebak, di mana Ramdan pada malam-malam selanjutnya. Malam-malam yang selalu disongsongnya dengan doa sederhana, “Semoga warungnya sepi.”
Ajakan tangan Ramdan untuk memangkunya tak ditolak. Dari sekedar memeluknya, tangannya mulai menelusuri sebaik apa alam telah mengukir seluruh lekuknya. Tak ada yang cacat. Betapa sempurna makhluk ini. Makhluk yang membuat keringatnya mengalir dan darahnya kencang ke bawah. Membentuknya sedemikian keras untuk menyatukan diri pada sosok dibawahnya. Dan Ramdan sudah tidak pantas disebut perjaka.
Ramdan membuka mata. Ia ingin meminta maaf atas godaan yang tidak bisa ditolaknya. Jika gadis itu menuntutnya, ia tidak akan menolak menikahinya. Tetapi mata gadis itu terpejam. Mungkin dia marah? Marah karena terlena membiarkan Ramdan melakukannya.
Malam berikut Ramdan memberanikan diri menemuinya. Gadis itu tetap menerimanya. Bahkan sekali lagi mereka melakukan seperti apa yang mereka lakukan malam sebelumnya. Sekarang Ramdan yakin, gadis itu tidak marah.
Akhir liburnya hampir terlampaui. Ramdan berharap matanya salah membaca tanggal. Tetapi kedatangan teman-temannya satu persatu mengisi kamar mereka jelas membuktikan mata Ramdan yang harus diperiksa. Ia menceritakan pada temannya tentang gadis itu dan mengajaknya menemuinya. Ramdan ingin menunjukkan pada mereka bahwa meskipun ia terbilang cowok tidak-laku, tetapi bisa menggaet gadis seperti yang ia ceritakan baru saja.
Ramdan menengok kesana kemari. Aneh, pikirnya. Kenapa warung itu tidak ada. Temannya tertawa tertahan. Ramdan tetap bersikeras bahwa ia mendapat kenalan seorang gadis disini. Telunjuknya menunjuk pada posisi warung tempatnya saban malam menghabiskan waktu. Ramdan dan temannya menyusuri dari tepi jalan, sampai pada jalan dekat sungai tempat ia biasa memancing. Tiba-tiba temannya terhenti. Matanya melotot pada sosok yang berbaring di dekat pohon besar. Bau busuknya membuatnya keduanya muntah-muntah.
Polisi-polisi berdatangan bersama sebuah mobil ambulan atas dasar panggilan Ramdan. Salah seorang dari mereka mendekati Ramdan dan temannya setelah memeriksa tempat kejadian. Polisi itu mengatakan bahwa gadis itu telah hilang beberapa minggu yang lalu. Keluarganya menduga bahwa ia telah diculik.
“Ada tanda-tanda perkosaan,” tambah Polisi itu. “Anehnya, sepertinya pemerkosaannya terjadi setelah ia mati.”
Teman Ramdan menoleh pada Ramdan. Jantung Ramdan hampir berhenti berdetak.
0 komentar:
Posting Komentar