Raja Badai berkuda memasuki istana. Alisnya mencuat keatas. Dagunya terangkat. Rambut sebahunya berkibar, kontras dengan jubah merahnya yang menutupi kuda. Pandangannya menyapu orang-orang yang sekarang berlutut. Baik wajah dan pedang besar di pinggangnya sama-sama mengancam setiap orang yang tidak disukainya.
Di belakangnya orang-orang berbaris dengan kuyu. Barisan wanita dan anak-anak tepat di belakang kudanya. Tangan mereka diikat dengan satu tali mulai dari orang terdepan sampai yang paling belakang. Setelah mereka, baru barisan kuda dengan berbagai barang diatas punggung mereka. Hasil rampasan dari Kerajaan Magdala sudah cukup menghidupi istana sampai tahun berikutnya.
Ketika turun dari kuda, Raja berkata pada hulubalang, “Siapkan wanita-wanita itu di balairung.” Tangannya menunjuk pada wanita-wanita yang dirantai di belakang kudanya.
“Baik, Yang Mulia.”
Raja segera ke balairung sesudah mandi. Di depan tempat ia duduk sudah berjajar beberapa wanita yang diambilnya dari Kerajaan Magdala. Matanya awas mengamati mereka. Perempuan-perempuan berparas cantik dimasukkan ke dalam harem, sedangkan yang tidak menjadi budak, baik di dapur, taman istana, ataupun merawat harem.
Raja selalu berada di harem jika tidak sedang berperang. Ribuan selir selalu menantinya. Raja duduk diatas balkon. Dibawahnya terdapat kolam tempat para selir mandi. Selir-selir itu berlomba menarik perhatiannya. Selir yang beruntung akan didatanginya. Ia akan membawa bunga dan memberikannya pada selir itu sebagai tanda Raja memilihnya.
Setiap bulan, selalu saja ada selir baru. Semakin lama keuangan kerajaan semakin boros. Biaya harem terlalu tinggi. Apalagi Raja selalu membawa ratusan selir ketika pergi berperang. Raja menyiasatinya dengan berperang dengan kerajaan lain. Negara yang kalah akan dikeruk seluruh hartanya. Puteri-puteri raja yang tak mau menjadi selirnya dibunuh, yang mau akan segera menjadi bintang di harem untuk bulan itu.
Masyarakat tak mengenal nama aslinya. Mereka menyebutnya dengan Badai. Bukan tanpa alasan mereka menyebutnya demikian. Raja Badai terkenal sebagai raja yang tak berbelas kasihan. Ketika ia hendak menaklukkan kerajaan lainnya, ia akan mengirimkan utusan. Raja Badai menawarkan perdamaian dengan syarat mereka menyerahkan upeti pada Kerajaan Badarasta.
Anak perempuan mereka menjadi target utamanya. Raja meminta mereka diserahkan juga sebagai salah satu upeti. Kerajaan asal selir raja tidak akan diserang. Apabila mereka menolak, maka Raja Badai akan menyerang mereka.
Sebelum menyerang Raja mengibarkan bendera hijau. Ini tanda bahwa Raja masih berbaik hati jika mereka mau membatalkan keputusan mereka untuk bertahan. Bendera kuning, ini tanda bahwa para prajurit tidak akan diampuni, tetapi seluruh bangsawan akan dibiarkan hidup. Sedangkan bendera merah pertanda mereka tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Seluruh istana akan dibunuh kecuali wanita dan anak-anak.
Tak ada ampun bagi kerajaan yang berani menentangnya. Seluruh pria dari kerajaan itu akan dipancung. Kebiasaan ini yang mengakibatkan pria-pria dari negara yang kalah untuk bunuh diri daripada dipancung raja, sedangkan wanita-wanita serta anak-anak akan diangkut ke Kerajaan Badarasta.
Malam itu Raja berada di peraduannya. Seorang wanita dipilih dari wanita jarahan Magdala oleh kasim. Dua orang kasim lantas membawanya menghadap raja. Kasim adalah laki-laki yang dikebiri dan bekerja di bagian keputren. Tugas kasim bukan merawat kamar-kamar harem, tetapi lebih kepada tugas administrasi. Kasim yang memilih wanita yang akan tidur dengan raja jika raja tidak memilih selir. Kasim melatih dan mempersiapkan segala sesuatu yang harus dipelajari seorang wanita penghibur raja di waktu malam.
Suatu pagi Raja sedang menikmati pagi bersama permaisurinya. Seorang punggawa istana datang menghadapnya.
“Ada apa punggawa? Kamu tahu aku paling tidak suka diganggu saat aku bersama permaisuriku.”
“Maaf beribu maaf, Ya Baginda. Kami menangkap seorang pedagang yang tidak membayar pajak. Kami menghadapkan pada Yang Mulia agar Tuanku dapat menjatuhkan hukuman yang sesuai.”
Raja Badai pergi ke singgasananya. Dihadapannya berdiri seorang bertubuh gemuk dan pendek. Kakinya bergetar begitu melihat Raja Badai datang dan duduk di kursinya.
“Bacakan tuduhannya,” perintah Raja.
“Namanya Sarmud. Ia adalah saudagar rempah dari India. Sudah dua bulan tidak membayar pajak Yang Mulia.”
“Kamu tahu hukuman bagi mereka yang tidak membayar pajak kepadaku?”
Sarmud menyembah raja. “Ampun Paduka. Hamba tidak bermaksud melanggar hukum Paduka, tetapi dua kapal hamba dibajak oleh perompak. Mereka mengambil semua barang-barang dan membakar kapal. Hamba merugi Paduka, hamba masih belum sanggup membayarnya. Tetapi hamba berjanji akan segera melunasinya setelah hamba mendapatkan uang.”
“Aku tidak tertarik dengan urusan bisnismu. Siapapun yang tidak membayar pajak harus dipenggal di alun-alun kerajaan dan seluruh hartanya disita untuk kerajaan.”
“Ampuni hamba,” Sarmud bergetar. Tubuhnya menggigil membayangkan algojo mengasah kapak. “Hamba mohon dengarkan hamba dahulu. Hamba mempunyai satu penawaran untuk Paduka.”
“Penggal dia.” Muka Raja memerah.
Dua punggawa menyeret Sarmud.
“Dengarkan Tuanku—“
Punggawa berbadan kekar tetap menyeret Sarmud.
“Di kampung Maro, ada seorang wanita cantik. Tuanku pasti menyukainya.”
Kuping peka Raja yang peka terhadap kata wanita langsung menangkap teriakan Sarmud.
“Berhenti.”
Punggawa berhenti, tetapi tetap memegang kedua tangan Sarmud.
“Namanya Kanud. Hamba jamin, Tuanku pasti menyukainya. Kulitnya sewarna gading. Lembut. Rambut hitam seperti arang. Matanya berkilau. Semua pemuda menyukainya.”
Raja tersenyum. “Sepertinya menarik. Panggil juru lukis istana.”
Juru lukis menghadap.
“Sekarang katakan ciri-ciri Kanud pada juru lukis ini. Aku ingin melihat wajahnya. Jika sampai wajahnya tidak seperti apa yang kamu katakan, aku sendiri yang akan memenggal kepalamu.”
Sarmud memberikan ciri-ciri Kanud sepanjang juru lukis menggambarkannya. Sarmud berdoa dalam hati, semoga Raja menganggap Kanud sebagai wanita berparas cantik. Setelah selesai, Raja melihat lukisan itu. Wajahnya tertawa. Sarmud lega. Itu tanda-tanda baik bagi nyawanya.
“Hulubalang. Siapkan lamaran. Bawakan permata paling indah. Jahitkan baju-baju paling indah. Wanita itu harus jadi milikku.”
Penjahit, ahli permata, dan para pasukan seketika sibuk mempersiapkan lamaran. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan pelamar yang terdiri dari lima puluh prajurit pengawal singgasana, sepuluh dayang istana dan ahli masak pribadi raja. Mereka semua berlomba menyajikan yang terbaik agar wanita yang diinginkan raja bersedia menikah dengan raja.
Orangtua Kanud dan orang-orang Dusun Maro terkejut melihat rombongan dari istana. Mereka ketakutan. Raja Badai terkenal kejam. Mereka pastilah akan membinasakan dusun ini, pikir orang-orang itu.
Hulubalang Arya yang ditunjuk Raja untuk melamar masuk ke dalam rumah.
“Salam, hai, orang tua. Kami kemari hendak melamar anak perempuanmu, Kanud. Kami sudah membawakan segala hadiah-hadiah yang akan menjadi milikmu.”
Orangtua Kanud gemetar mengetahui maksud rombongan raja ini. “Maafkan hamba, Tuanku Hulubalang. Bukannya hamba menolak maksud Yang Mulia, tetapi Kanud baru saja menikah. Ini—” Orangtua Kanud menunjukkan suami Kanud.
Sumber gambar: pinterest.com
0 komentar:
Posting Komentar