Melisa tidur terlentang. Rambutnya terburai menutupi bantal. Pipinya kemerah-merahan. Matanya terpejam. Raut mukanya suram. Tangan kirinya menjulur ke nakas. Diujung jari, berdiri botol minuman berbentuk segiempat dengan cairan berwarna coklat muda tinggal seperempat.
Matanya mengamat-ngamati sekitarnya. Ia lega ketika tak menemukan racun atau obat-obatan. Saat menerima telepon dari Melisa tadi, jantung Erik langsung berdetak cepat. Bayangan Melisa akan bunuh diri sempat terlintas. Erick bergegas membuang sisa cairan di botol sebelum menyeka wajah Melisa. Lantas menyelimutinya sampai sebatas kepala.
“Erick.” Mata Melisa terbuka separuh.
“Ya, Mel.” Erik duduk di tepi ranjang, dekat kepalanya. dibelai-belainya kepala Melisa agar tenang.
“Tidurlah, Mel. Kita punya banyak waktu untuk bicara.”
Melisa tampak seperti boneka diselimuti bed cover. Sembulan kepalanya saja yang masih membuat orang menduga kalau di ranjang ini ada seorang manusia.
“Papa cerai dengan Mama.”
Ya, aku tahu, jawab Erik dalam hati. Bagaimana tidak tahu, mama Melisa yang meminta Erik menjadi pengawalnya. Begundal-begundal Deny—ayah Melisa—sering mengganggu Dara, mama Melisa. Keputusan pengadilan atas harta gono-gini tidak memuaskan Deny.
Erik tidak tahu harus berbicara apa. Melisa sedang labil. Ia takut, berbicara mengenai sesuatu yang berat akan membuatnya lebih labil. Tetapi Erik juga merasa dia tidak bisa diam saja.
“Hidup berumah tangga sama dengan hubungan dengan sahabat. Tak jarang orang akan bertengkar.”
“Tapi kan gak perlu cerai. Kalau Papa diemin Mama, entar Mama juga baik lagi.”
Bagaimana harus menjelaskan kalau hubungan Papa dan Mama-nya bukan sekedar bertengkar biasa. Papanya punya seseorang yang lain. Erik menyandarkan diri pada tembok. Diaturnya kedua kakinya diatas ranjang. Kepalanya mendongak ke arah langit-langit. Melisa mengingatkannya akan Engeline, pacarnya. Lima tahun yang lalu, tiba-tiba Engeline memutuskan hubungan mereka. Ia tidak mengatakan alasannya. Seminggu kemudian baru jelas. Seorang pemuda tak kalah kekar keluar dari mobil bersama Engeline. BMW-nya tak bisa disaingi Erik. Rolex-nya pun tidak akan cukup dengan uang di kantongnya. Erik menjadi begitu dendam dengan seorang wanita. Pelukan demi pelukannya pada seorang wanita selalu berakhir di ranjang. Pagi-pagi, sebelum dia pergi, ia menebarkan beberapa lembar ratusan ribu di ranjang, sebagai tanda terima kasih. Tapi Melisa bukan wanita seperti itu. Memegang tangannya membuatnya gemetar. Membelai kepalanya menyalurkan kedamaian dalam hati. Bagaimana mungkin dia akan membayangkan Melisa ada dalam pelukannya sebagai seorang kekasih.
“Buat apa menikah jika orang selalu menyakiti. Aku tidak ingin menikah.”
“Mobil juga sering bikin kecelakaan. Apa mobil perlu dilarang? Pisau di beberapa tempat dipakai untuk membunuh, apakah berarti pisau tidak boleh digunakan seumur hidup?” Erik merendahkan suaranya. “Kalau kamu melihat orang salah dalam melakukan sesuatu tidak berarti kamu harus meniru mereka. Kamu tahu itu salah berarti kamu tahu yang benar.”
“Aku bisa saja mencobanya, tetapi bagaimana jika gagal?”
“Bagaimana jika berhasil? Kalaupun gagal, setidak-tidaknya kamu tahu bahwa itu gagal. Tetapi apabila kamu tidak mencobanya, selama hidup kamu akan penasaran.”
“Kamu mau mencobanya sama aku?”
Udara mendadak menjadi minim. Paru-paru Erick seperti meledak.
“Lho, kok aku?”
“Kenapa? Takut? Kamu bisa bilang sama orang lain, kenapa kamu tidak bisa bilang buat diri kamu sendiri?”
“Aku tidak pantas buat kamu. Kamu tidak tahu siapa aku. Apa yang pernah aku lakukan, buruk atau tidak.”
“Pasti buruk, kan?” Melisa duduk sejajar dengan Erick. “Jika tidak, di umurmu yang sekarang kamu pasti sudah menikah.”
“Menikah itu bahasa yang terlalu bagus buatku.”
“Nah, kamu sekarang sepenakut diriku kalau ngomong masalah nikah.”
“Bukan menikah yang aku takutkan. Aku akan menikah tetapi bukan dengan wanita seperti kamu.”
“Kenapa? Apa karena aku cuma anak manja. Lebih banyak depresi daripada bisa diajak ngomong, atau kamu tidak ingin punya anak dari wanita yang lebih sibuk pada masalahnya sendiri daripada memperhatikan kamu?”
“Aku bukan pria baik-baik.” Erick menunggu keraguannya menghilang sebelum berkata, “Aku sering membayar wanita untuk aku tiduri. Kamu pasti tidak pengin punya suami seperti itu.”
“Itu hakku buat mutusin. Apa yang kamu omongkan justru membuat aku tahu kamu cowok penakut. Kamu berpura-pura seakan-akan kamu tidak pantas buat aku, padahal masalahnya adalah kamu. Rendah diri.”
“Ya, ampun. Memangnya sekarang siapa yang punya masalah. Kok sekarang aku jadi terdakwa. Okelah, karena kamu sudah cukup kuat, aku pergi aja.”
Belum sempat Erick melangkahkan kaki, tangan Melisa menahannya. “Katakan saja satu hal sebelum kamu pergi. Apakah kamu menyukaiku?”
Erick memutar tubuhnya. Keduanya berdiri berhadapan seperti dua orang koboi yang akan beradu pistol. Hanya saja, kali ini bukan peluru yang akan mereka tembakkan.
“Aku bukan penakut. Dari tadi aku mencoba menahan diri agar aku—“
“Agar kamu tidak melakukan seperti yang biasa kamu lakukan pada wanita-wanita yang kamu bayar? Itu, kan yang kamu ingin omongkan? Kalau begitu lakukan saja.”
Erick mematung. Tubuhnya dijalari perasaan yang aneh. Sesuatu berputar-putar di kepalanya, lantas turun ke dada. Melisa bukan wanita buruk. Meskipun tidak terlalu sering ke salon seperti Dara, ia mempunyai kecantikan alamiah. Kecantikan yang membuat pemilik salon menutup salonnya.
“Kenapa kamu diam? Kenapa kamu tidak melakukan yang biasa dilakukan pria kalau dia berada berdua dengan wanita di tempat seperti ini.” Melisa mendekatkan tubuhnya. “Karena kamu mencintaiku.”
Wanita satu ini benar-benar tak terduga, batin Erick. Ia datang kemari dengan harapan bisa membantu Melisa. Ia menganggap Melisa hanyalah kucing lemah seperti kucing-kucing yang ditidurinya, tetapi sekarang, wanita di depannya ini bukan kucing. Dalam hitungan menit, Melisa berubah menjadi raja hutan. Harimau penerkamnya.
Telapak tangan Erick berubah menjadi dingin saat bertemu dengan pinggang Melisa. Wanita itu tetap menatapnya. Sama seperti beberapa saat lalu. Tetapi sinarnya makin memudar. Keningnya berkerut ketika Erick mendekapnya erat-erat. Kedua tangan Melisa tidak segera melingkarkan tangan. Ia hanya ingin tahu apakah Erick memeluknya karena mencintainya atau hanya melakukan apa yang biasanya dia lakukan pada perempuan-perempuan yang menjadi teman tidurnya.
Suatu magnet menggerakkan tangannya. Perlahan-lahan kedua telapak tangannya bertemu di belakang pinggang Erick. Aroma tubuhnya tak terlalu menyengat. Parfumnya tetap berasa rempah tapi tidak menusuk hidung, ataukah kata cinta dari Erick sedetik lalu membuatnya terlena. Membuka kunci hatinya. Meluruhkan pertahanan pribadinya.
Melisa tak menjawab Erick. Ia cuma ingin menikmati dada bidang itu dengan gelora dari hatinya. Suatu gelora yang pasti dikenal Erick dengan cinta.
0 komentar:
Posting Komentar