Friska memandang cermin. Dia sudah takut wajahnya menghitam sejak pulang dari Pantai Pink di Lombok. Beberapa menit kemudian bibirnya tetap pada tempatnya. Itu berarti dia sudah puas dengan penampilannya. Bando warna putih dengan gambar snowy. Sedikit bedak dan minyak telon….what’s? Minyak telon? Iya minyak telon. Yang biasa dipakai bayi-bayi. Cuek bebek pendapat orang, pokoknya Anton menyukainya. Cowok itu mengatakan tidak perduli Friska memakai parfum atau cuma minyak telon. Pipi Friska kemerah-merahan. Dia menarik-narik kuncir di kedua sisi kepalanya sebelum benar-benar meninggalkan kamar.
***
“Kamu yakin dengan keputusanmu?” Deni menatap tajam.
“Kita tidak bisa begini terus, Den. Kamu tahu, jika kita terus bersama, kita tidak akan punya anak.”
“Jadi itu tujuanmu menikah?” Deni getir.
“Semua tujuan menikah bisa kita dapatkan, tetapi tidak dengan anak.” Anton menghela nafas. Matanya balas menatap. Ia tidak ingin menyakitinya meskipun dirinya ingin berpisah.
“Apakah kita masih bisa bertemu?”
“Demi kebaikan kita, sebaiknya jangan. Kita harus belajar melupakan.”
Pandangan Deni mengarah ke arah luar. Berbagai pasangan lewat di depan café. Seorang bayi tidur dengan bola pipi menggembung. Rambutnya hanya tumbuh satu-dua, tetapi pria di samping wanita itu tetap mengelus-ngelus kepalanya, seakan-akan meramalkan bahwa anak perempuannya akan mempunyai rambut selebat ibunya. Bayi. Ya, bayi. Hubungan mereka terganjal bayi. Deni pernah mengajukan adopsi, tetapi Anton tidak mau menerimanya. Ia ingin bayi dari darah dagingnya.
“Sudah punya pacar baru?”
Anto mengangguk. Ia melihat kerutan pada dahi Deni bertambah.
“Okelah kalau itu maumu. Mau kuantar pulang?”
“Boleh.”
***
Anton menoleh. Ia ingin tahu pendapat Deni. Sementara pandangan pria itu menembus kaca mobil ke arah teras rumah orangtua Anton. Mata cemburunya tak terusik kegelapan malam. Walau hanya disinari sedikit sinar bulan, ia berhasil memperoleh gambaran pacar baru Anton.
“Kuakui cantik. Andai aku bisa berubah sepertimu, mungkin aku jadi pesaingmu ngedapetin dia.”
Anton tidak merasa lega walaupun kalimat-kalimat Deni seperti tanpa emosi. Dia tidak tahu apakah Deni berpura-pura atau tulus. Tiba-tiba Anto merasa ragu. Apakah keputusan ini benar. Mungkin saja saat ini adalah terakhir kalinya ia melihat Deni. Pria disampingnya ini mungkin akan pergi selamanya. Anton memejamkan mata. Tangan Deni meremasnya. Ia tahu, Deni sedang bertempur dengan dirinya. Deni sering melakukan hal ini apabila dia sedang membutuhkan dukungan darinya. Apakah tangan gadis itu dapat meremasnya seperti ini. Jika ya, apakah rasanya seperti ini?
“Aku pergi.” Anton dengan sekuat tenaga berusaha menyadarkan Deni.
Dengan malas, Deni mengangkat tangan, diletakkan keduanya di kemudi. Anton turun dan menutup pintu. Bunyi pintu mobil membuat Friska menoleh. Gigi mungilnya mengintip dari bibirnya yang setengah terbuka. Ia lantas bergegas menyongsong Anton.
Anton melebarkan tangan, berusaha bersikap sebagaimana biasanya seorang pria menyambut wanita. Friska dengan manja menggelayutkan kedua tangannya. Anton berusaha mencari kenyamanan. Kenyamanan yang selama ini didapatkan dari seseorang di belakang punggungnya.
Bagaimana perasaan Deni sekarang?
Anton memejamkan mata. Tubuh Friska mendekat.
Marahkah dia?
Mata Friska meneduhkan Deni. Tangannya yang mengenggam erat tepian jendela mobil berangsur-angsur melemah. Bibirnya tertarik ke belakang. Ia menarik nafas panjang sebelum menggerakkan bibirnya untuk mengucapkan, “Jaga dia buatku.”
Friska mengangguk. Ia mengerti apa yang dikatakan pria di belakang kemudi itu meski tanpa suara.
Ketika telinga Anton menangkap suara mobil Deni menjauh, suatu titik air mata berusaha ditahannnya. Titik air mata kemenangan. Kemenangan agar ia tidak berbalik dan melihat Deni meninggalkannya.
0 komentar:
Posting Komentar