Santet


Apa yang kamu rasakan ketika orang yang kamu cintai membencimu dan berusaha membunuhmu? Apakah kamu masih mencintainya? Andai kalian menanyakannya padaku, maka akan kujawab Ya, aku masih mencintainya. Ini bukan jawaban retorika, tetapi sekali kukatakan aku menyanyangi seseorang, maka itu berarti untuk selamanya.

“Brandon.” Siska berteriak.

Kujauhkan ponsel dari telinga. Suara denging masih berlanjut. “Ada apa?”

“Dia meneror kami lagi.”

Aku terlonjak dari sofa. Novel yang kubaca terjatuh mendekati kucing di karpet depanku. Aku tahu siapa yang dimaksud Siska dengan “Dia” dan aku juga tahu jenis teror apa yang dilancarkan oleh “Dia”. Tanpa berganti pakaian aku segera melarikan mobilku ke rumahnya.

Rumah Siska tampak tenang-tenang saja. Kuparkirkan mobil lima puluh meteran dari gardu listrik di depan rumahnya. Sejenak kupandangi sekitarku. Sepertinya tak ada apa-apa, gumamku. Apa Siska lagi mabuk?

Baru saja aku akan membuka pagar, aku baru menyadari ada hal yang aneh. Sesuatu itu diatas rumah. Kulihat lima burung berwarna hitam sedang bertengger. Perasaanku tidak enak. Aku cepat-cepat memasuki halaman. Jarak pagar ke pintu rumah agak jauh. Rumah Siska seperti rumah di pedesaan. Halamannya luas. Beberapa tanaman tumbuh dengan subur tanpa repot dirawat. Tanah di tempat ini memang sering dikubur dengan abu vulkanik.

Belum sampai pintu, aku mendengar seperti suara kepakan burung. Mula-mula seperti satu-dua-tiga burung, tetapi lama-kelamaan suaranya begitu kencang. Aku melihat keatas, ribuan burung berkoak-koak. Beberapa bulunya berjatuhan menimpaku. Mendadak aku merasakan angin terlalu keras. Ini mustahil. Rumah ini di perkampungan, bukan di tengah perkebunan, sehingga angin seharusnya tidak sekeras ini.

Telingaku mulai berdenging. Suara burung—yang kuduga—burung gagak, tampak seperti suara speaker ribuan watt. Mataku sempat melihat-lihat rumah di sekelilingku. Rumah-rumah itu tampak tak mengalami kejadian seperti di rumah Siska. Semua orang seperti tidur nyenyak. Aku mulai membuka mulut. ingin meneriakkan nama Siska, tetapi mulutnya seperti disumpal.

Semenit kemudian tubuhku terbanting. Seperti ada sebuah tenaga tak kelihatan yang mendorongku dengan brutal. Dalam keadaan tertelengkup, sebuah tangan menyentuhku. Siska. Temanku membantuku berdiri. Ia sendiri sedang berdiri dengan tumpuan lutut.

Sekarang aku berdiri dengan lutut, sejajar dengan Siska, ketika mata kami melihat mobilku—yang jelas-jelas sudah kumatikan mesin mobilnya—berjalan sendiri dan menghantam tiang gardu listrik. Kaca depan pecah berkeping-keping. Dan anehnya, tak ada tetangga yang terbangun. Siska dan aku bergegas menuju pintu rumah.

Suasana dalam rumah lebih berantakan dari luar. Kursi-kursi terbalik. Piring-piring di lemari kaca seperti dijatuhkan ke lantai dengan tenaga luar biasa. Saking terlalu luar biasa, aku tidak melihat kepingan kaca yang besar.

Aku dan Siska duduk di belakang pintu. Suara angin tetap menderu-deru seperti badai.

“Kamu belum membuang bonekanya?”

Siska tampak ketakutan. “Itu boneka kesayangan Tia. Dia pasti mencarinya.”

Kesabaranku hilang. Aku berlari menuju kamar Tia. Boneka terkutuk itu seperti menertawakanku. Kuambil boneka itu dan berlari ke arah dapur. Sial. Aku baru ingat jika minyak tanah sulit ditemui di dapur-dapur Indonesia. Semua kompor berganti menjadi kompor gas. Aku meletakkan boneka di atas kompor gas. Dengan panik kucoba untuk menyalakan kompor. Putaran pematik malah lepas. Sambil mengumpat-ngumpat aku berjongkok dan menelusuri setiap sudut rumah. Pematik itu dibawah meja antik jati dan berat. Tangannku tidak cukup memasuki celah bawah.

“Brandon. “ Siska panik. Telunjuknya mengarah pada jendela. Secara otomatis aku mengikuti arah telunjuknya. Aku melihat bola api besar menyala terang kemerah-merahan di langit. Bola itu berjalan lambat-lambat seperti layangan. Aku tidak tahu apa itu, tetapi firasatku mengatakan kalau bola itu bakal mencelakakan kami.

Mataku jalang menyapu dapur. Aku melihat sapu dan terpikir olehku untuk mengambil pematik itu dengan sapu. Dan berhasil. Aku segera memasangnya dan memutar pematik. Baru kali ini aku senang melihat api, saat si biru itu membakar boneka.

Tiba-tiba kudengar ledakan hebat di langit. Sisa-sisa api jatuh seperti hujan di halaman. Langit berubah menjadi terang dalam beberapa detik untuk kemudian menjadi gelap gulita. Suara angin berhenti. Suara burung gagak membisu. Tapi sedihnya, mataku masih menangkap pemandangan mengerikan. Bagian depan mobilku tetap hancur. Padahal tadi aku berharap bahwa itu cuma ilusi.

Malam itu aku menemani Siska. Kepalanya tergeletak di pangkuanku. Kubiarkan ia melewati malam dengan tenang, sementara aku masih terduduk di sofa. Hatiku gusar meskipun kepalaku masih membelai-belai kepala Siska.

Beberapa bulan yang lalu, Siska bercerita padaku. Suaminya sedang diguna-gunai oleh perempuan. Namanya Lenny. Perempuan itu menyukai suaminya dan berusaha merebutnya dari Siska. Lenny sering membawa makanan yang telah diberi mantra dari seorang dukun dan memberikannya kepada keluarga suami Siska. Sejak itu keluarga suaminya tiba-tiba membiarkan anaknya berhubungan dengan Lenny.

Siska tidak mau menyerah. Dia berusaha ke dukun-dukun meminta bantuan. Dari orang-orang itulah Siska tahu siapa sebenarnya perebut suaminya ini. Lenny tidak tanggung-tanggung dalam usahanya merebut suami Siska. Ia tidak hanya meminta bantuan dukun tetapi bersatu dengan jin-jin yang mempunyai pengaruh besar di tanah Jawa. Bahkan Lenny kawin dari salah satu dari mereka. Ketika Siska masih ngotot mempertahankan suaminya, Lenny marah. Dia mengancam akan membunuh anak-anaknya. Boneka Tia adalah salah satu dari rencana Lenny. Entah apa yang sudah diisikan lewat boneka itu. Yang jelas boneka itu adalah media untuk masuk ke dalam rumah Siska dan menyerangnya dari dalam rumah. Aku sudah pernah mengatakan pada Siska agar melepas suaminya saja serta membakar boneka itu.

Hari ini aku tahu, Siska masih berusaha mempertahankan suaminya. Tetapi aku berharap agar Siska melepaskan saja suaminya. Bagiku pribadi, anak-anak Siska adalah harta paling berharga. Mereka perlu diselamatkan. Untungnya, kali ini Siska mendengarkanku.

Sudah tiga tahun ini Siska menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Suaminya? Entah kemana. Karir Siska makin melejit. Terakhir kali kudengar ia menjadi manajer dari sebuah perusahaan.

Maafkan Lenny. Maafkan dia, Siska. Andai aku masih tetap bersamanya, masalah ini tak akan terjadi.

Untuk kamu, Lenny, entah kamu percaya atau tidak. Aku masih mencintaimu. Maafkan aku. Seandainya waktu bisa diputar ulang, aku akan berusaha menjadi kekasih yang terbaik.

Santet Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar