“Selama aku hidup, aku akan terus melakukannya.”
“Lantas sampai kapan? Umurmu gak muda lagi, Kak. Yakin kalau besok kamu masih hidup?” Sari sewot. Berkali-kali diketuknya wajan keras-keras. Dua anaknya berlarian memasuki dapur. Suara ribut mereka membuat Sari tambah jengkel. Dengan mata melotot, Sari memandang mereka. Dita dan Lila langsung keluar dari dapur terbirit-birit.
“Apa sih kelebihannya? Aku rasa masih ada seseorang yang lebih cantik dari dia. Kakak masih ingat Dona. Berapa kali Dona kemari, tetapi Kakak cuek. Masa Kakak tidak tahu kalau gadis itu suka sama Kakak?”
“Aku tahu.” Dika menjawab sambil membayangkan wajah Dona, teman adiknya. Penulis novel angkatan pujangga baru akan mengatakan matanya berbinar seperti bintang di langit. Senyumnya memecah seperti kicauan burung di pagi hari.
Kenapa hatinya masih saja membatu?
Kerusakan bukan pada pesawat TV Dona, tetapi pada hatinya. Racun Nila demikian meracuninya, memasuki seluruh nadinya. Membuatnya menolak seluruh wanita kecuali ia. Dia tahu itu tetapi menikmatinya. Seperti rokok, beracun tetapi nikmatnya tidak dapat ditolak. Beberapa bulan terakhir ia diam-diam mengikuti perjalanan hidup Nila—gadis yang pernah dia jadikan taruhan dengan Bastian—Jika kamu bisa jadian dengan Nila dalam satu kali tujuh puluh dua jam—kami bisa ambil mobilku.
Bodoh. Dika menyesali taruhan itu. Bayangan di belakang kemudi Pajero Bastian membuat hatinya buta. Ia tak tahu bahwa itu siasat Bastian agar saingannya berkurang satu. Bastian tahu dari awal bahwa menaklukkan Nila bukan langkah yang mudah. Dika terlalu percaya diri dengan segala puja-puji gadis-gadis adik kelasnya padanya. Dika juga terlalu percaya dengan gelar juara kelas dari kelas satu membuatnya akan mudah menjadikan Nila pacarnya. Sekarang ia tahu, Nila bukan wanita seperti itu. Dika harus meremas-remas surat undangan pernikahan mereka dengan marah.
Sekarang pernikahan mereka terancam perceraian. Anak semata wayang mereka tak mampu menjadi perekat. Dika marah. Entah kepada siapa. Pada dirinya sendiri? Atau Bastian?
“Aku pergi dulu.” Diseruputnya kopi. “Sampaikan salamku sama suamimu.”
***
Sayang, rumah megah seperti ini justru membuat penghuninya tidak nyaman. Dika tafakur memandangi rumah di depannya.
Belum sempat habis lamunannya. Pintu depan rumah itu dibuka keras-keras. Seorang perempuan lari menjauhi pintu dengan seorang anak dalam gendongannya. Di belakangnya seorang laki-laki mengejar. Hati Dika mendidih ketika mengetahui siapa pria itu. Ia berjalan dan berdiri diantara wanita itu dan pria pengejarnya.
“Oh,” seringainya. “Jadi orang ini selingkuanmu.”
Bastian tiba-tiba pening. Matanya kabur. Ia mendapati dirinya terjengkang ke tanah di belakangnya. Hidungnya mencium bau amis yang keluar dari hidungnya sendiri.
Bastian tertawa terbahak-bahak. “Kamu mau menutupi kepengecutanmu, Dika.” Bastian berusaha berdiri. Belum sempat kedua kakinya menjejak tanah, Dika mengangkat sebelah kakinya dan menendang tulang kering Bastian.
“Seharusnya kamu ingat lonte-lontemu sebelum ngomong itu.”
Pria itu meraung keras-keras. Ia hanya mengaduh berkali-kali tanpa berusah untuk bangkit lagi. Dika meraih tangan Nila. Diseretnya wanita itu memasuki mobil.
***
Dika melongok dari pintu. Nila mengusap-usap kepala anaknya. Kepala bocah itu tertidur diatas bantal bulu angsa. Wajahnya sempurna seperti malaikat jika saja tidak mirip dengan Bastian. Dika datang mendekat. Nila menurunkan kakinya dari ranjang dan duduk di tepi ranjang.
“Maafkan aku.” Kalimat pertama Dika sejak meninggalkan rumah Bastian mulai keluar. Ia berlutut di depan Nila.
“Saat itu aku—“
“Aku sudah tahu semuanya. Bastian yang bilang.”
“Aku mencintaimu Nila. Andai saat itu aku tidak bodoh, kejadian seperti sekarang mungkin tidak terjadi. Aku sudah tahu dari dulu siapa Bastian itu. Penyakit ganti-ganti pacarnya sepertinya belum hilang. Tapi aku berharap dia bisa berubah saat sudah punya anak dari kamu.”
Nila meletakkan kedua tangannya diatas lutut. Ia menunduk. Satu demi persatu titik air matanya jatuh. Dika mendekat. Ia menengadahkan kepala Nila dengan menyentuh dagunya.
“Bila kamu masih ingin memberiku kesempatan. Ijinkan aku menemanimu sampai salah satu dari kita pergi selama-lamanya. Biarkan aku menyudut setiap air matamu meski itu tak layak lagi, karena aku sama-sama brengseknya dengan Bastian. Tapi aku masih punya satu harapan buat kamu. Aku ingin membuatmu bahagia.”
Nila terdiam. Matanya terpejam. Ketika bibir mereka bertautan, Dika tak merasa lega karena mungkin Nila menerimanya. Bisa saja wanita ini hanya ingin merasakan cinta yang seharusnya didapatkannya sejak lama dari Bastian. Dika bisa menerima jika setelah Nila tersadar dari rasa hausnya, wanita itu akan mencampakkannya. Cukuplah beberapa menit ia merasakan cinta dari Nila.
0 komentar:
Posting Komentar