Bel istirahat berbunyi. Johan memandang lesu pada kertas ulangan kimia yang baru saja diterimanya. Tertulis dengan huruf merah besar angka lima. Ia meletakkan kertas itu kasar di atas meja. Aliska temannya yang duduk di belakangnya bertanya, "Dapat berapa bro?"
"Kayak ga tahu aja."
"Mangkanya bro belajar, jangan cuma ngurusin ekskul."
"Hiking lebih menyenangkan daripada kimia."
Aliska duduk bersebelahan dengan Johan. Cewek dengan potongan poni di dahi dan rambut panjang diikat di belakang itu mulai berbicara lagi.
"Kamu kan jago bertahan di hutan. Bagaimana caranya mendapatkan air bersih kalau tidak ada sungai?"
Johan menyenangi topik pembicaraan ini, dia bersemangat sekali menjawab.
"Ya, kalau pas pagi hari kita bisa meletakkan kain di pohon yang berembun. Entar kalau sudah basah diperas di botol minum atau kita bisa cari tanaman kaktus, enau, kelapa. Pokoknya tanaman-tanaman penyimpan air deh."
"Nah lho. Kamu jago kalau bertahap hidup di hutan. Tapi kan kita lebih banyak hidup di kota. Pastinya harus lebih jago bertahap hidup di kota dong."
"Maksud kamu apa?"
"Kalau misalnya kita ingin menghemat uang, tapi kita pengin punya bahan pembersih lantai gimana?"
"Auk ah gelap. Ngapain juga dipikirin."
"Masa kamu lebih jago hidup di hutan. Padahal kamu lebih banyak hidup di kota."
Johan sebel, dia tahu Aliska memang jago banget kimianya, mangkanya dia lebih baik diam. Tidak mungkin menang debat kimia dengan Aliska.
"Kamu tinggal beli texapone, natrium klorida, pine oil ama air aja. Murah, padahal kalau beli karbol bermerek bisa ampe enam belas ribu."
Johan melengos. Tidak suka kimia masih saja diceramahin kimia.
"Aku bisa bantu kamu belajar kimia kalau kamu mau."
"Udahan dulu, aku mau ke kantin. Keburu bel masuk. Kasihan ote-ote di kantin entar enggak ada yang makan." Johan meninggalkan Aliska cepat-cepat. Kupingnya panas, meski ia akui omongan Aliska benar. Bagaimanapun malu juga kalau tidak sampai naik kelas hanya gara-gara pelajaran kimia. Ikut bimbel jelas mahal. Jadi tawaran Aliska jelas lebih mengiurkan.
Sore hari tepat jam empat, Johan sudah sampai di depan rumah Aliska. Setelah bel dipencet, keluarlah seorang wanita dengan daster warna biru muda. "Bisa ketemu dengan Aliska, Mbak?"
"Mbak Aliska-nya sedang pergi sebentar ke supermarket di depan, Den. Tunggu aja dulu di dalam."
"Terima kasih, Mbak." Johan mengikuti wanita tadi dan duduk di sofa berwarna coklat di ruang tamu. Johan baru saja akan mengambil sebuah majalah untuk menemaninya menunggu Aliska ketika tiba-tiba ia mendengar suara piano dimainkan di ruang tengah. Penasaran dengan pianisnya, Johan berdiri dan mengintip dari pintu masuk ke ruang tengah dari ruang tamu.
"Air on G Johann Sebastian Bach," kata Johan datar.
Gadis itu terkejut ketika mendengar suaranya. Berangsur-angsur ia menoleh ke belakang. Giliran Johan yang terkejut, gadis ini mempunyai wajah sama dengan Aliska. Tapi bedanya dia buta. Johan berani memastikan dia buta, sebab ia sepertinya mencari-cari sebuah tongkat yang bertengger di sampingnya.
"Siapa kamu?" tanyanya heran.
"Aku Johan, teman Aliska."
"Oh." Gadis itu seperti lega. Johan jadi berpikir, mungkin tadi gadis itu berpikir dia orang yang nyelonong masuk ke rumahnya mau merampok.
"Bisa piano juga?" tanyanya.
"Aku lebih suka memainkannya pakai gitar."
"Fingering style." Gadis itu tersenyum.
"Boleh aku ke tempatmu.” Johan menyadari gadis itu akan kesulitan menuju ke tempatnya, sehingga dia yang mengalah menuju ke tempatnya.
“Kenapa tidak?”
“Johan.”
“Alena.”
“Wow..woh. Baru ditinggal setengah jam saja kakakku yang cantik sudah berkenalan dengan temanku yang jelek.” Suara Aliska mengejutkan Johan. Aa membawa tas plastik yang berisi susu, snack, mie instan dan kopi. “Aku cuma mengingatkan saja br, kakakku yang cantik ini udah punya cowok. Kuliah luar negeri. Tidak seperti kamu yang kimia aja masih minta ajarin aku.”
Duh, keki banget dengerin omongan Aliska. Alena tersenyum samar.
Johan jadi bersemangat belajar kimia di rumah Aliska. Tetapi bukan cuma buku kimia yang dibawanya. Gitar juga. Johan dan Alena sama-sama bertukar lagu. Johan memainkan lagu buat Alena dengan gitarnya dan sebaliknya Alena memainkan lagu buat Johan dengan pianonya. Mulanya Aliska agak sewot, karena kadang Johan bermain gitar sebelum belajar kimia dengannya. Namun lama-kelamaan ia mulai bisa menikmati. Meski dia lebih suka lagu pop, tapi untuk didengerin sambil ngelamun, lagu klasik ternyata enak juga, pikir Aliska.
***
Hari ini cuaca mendung, kurang dua ratus meter dari rumah Aliska hujan sudah mulai turun rintik-rintik. Johan mempercepat sepeda motornya agar cepat sampai di rumah Aliska. Ada tanda tanya besar ketika dirinya sampai. Di depan rumah Aliska terparkir mobil hitam mengkilat. Pintu pagar sedikit terbuka. Ia masuk dengan seperti biasanya. Di ruang tamu ia melihat Alena sedang berbicara dengan seorang pria. Pasti pacarnya, pikir Johan. Alena yang mendengar ketukan di pintu bertanya, “Siapa?” “Johan.”
“Oh masuk aja, udah ditunggu Aliska di ruang tengah.” Johan melewati mereka berdua sambil tersenyum pada pria di hadapan Alena.
“Siapa?” tanya Johan pada Aliska.
“Cowok Alena, Anton.” Johan menyuarakan tanda mengerti padahal ia sudah dapat menebak. Johan tidak berniat belajar kimia sore ini. Beberapa kali penjelasan dari Aliska tidak masuk ke dalam otaknya. Ia hanya ingin tahu pembicaraan Alena dengan Anton tapi tidak mungkin mengendap-endap terus menempelkan kupingnya pada tembok selama ada Aliska.
Dari Aliska, Johan mendengar bahwa sesudah ia pulang kemarin, Alena dan Anton bertengkar hebat. Sahabat Alena yang satu kota dengan Anton di New York memberitahu Alena, bahwa Anton sering keluar dengan cewek bule. Awalnya teman Alena menganggap hal itu sebagai hal yang biasa, sampai kemudian ia tahu cewek itu seringa menginap di apartemen Anton.
***
Pukul setengah sembilan ponsel Johan berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal tertulis di layarnya. Berarti tidak masuk daftar phone book-nya. Dengan malas ia mengangkat sambil menggerutu. Udah malem masih ada aja yang iseng telpon. Ketika di dengarnya suara yang dikenalnya keluar dari speaker, Johan langsung bangkit terduduk. “Johan, tolong aku.”
“Ada apa?” Johan terheran-heran. Pertama karena ia sama sekali tidak menduga Alena akan mengontaknya lewat ponsel. Kedua, bagaimana Alena memijat nomornya di ponsel?
“ Aliska kecelakaan.”
“Apa?” Johan terkejut. Sekarang memang hari minggu. Sebelum libur akhir pekan, Aliska bilang bahwa ia akan ke rumah neneknya. Tentu hari ini dia akan pulang karena Senin masuk sekolah. “Kecelakaan dimana?”
“Tol cipularang.”
“Mama papa kamu?”
“Mama Papa sudah berangkat ke rumah sakit. Mereka ga mengijinkan aku ikut. Tapi Aliska saudara kembarku Johan, aku tidak bisa cuma diam di rumah. Aku pengin tahu keadaannya.” Suara Alena bergetar. “Tolong antar aku ke rumah sakit.”
Johan melihat jam, “Masa bodoh,” pikirnya. Aliska sudah membantuku, masakan sekarang aku sama sekali tidak perduli dengan nasibnya? “Oke, aku akan kesana.”
Mama Alena langsung memeluk Alena ketika melihatnya. Dari dokter yang berbicara kepada orang tua Aliska, Johan tahu Aliska akan dioperasi, tetapi dokter membutuhkan golongan dari O, sementara golongan darah orang tua Aliska. A dan B. Golongan darah Alena sama dengan Aliska karena mereka kembar identik. Tapi Alena agak lemah sekarang, orang tua mereka bimbang karena tidak tega kepada Alena.
“Ambil punya saya, Dok,” kata Johan seketika. “Dijamin darah saya O.”
Operasi gagal, ada tulang menyobek jantung Aliska. Johan tidak ingin tahu lebih detil lagi. Ia berusaha tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Pada peringatan kematian Aliska yang 3 hari, 7 hari, 40 hari, Johan tidak pernah datang meskipun Alena memohon kedatangannya. Tidak datang pada adalah pertahanan dirinya agar tidak jatuh.
Untuk kesekian kalinya Alena menelepon. “Johan, aku tahu banget perasaanmu. Tapi masa sih kamu ga pengin mendoakan dia disini, di rumah dia sendiri. Ayolah Jo, datang ya? Lagian ada yang ingin aku bicarakan tentang kamu, Aliska dan aku.”
Johan mendengarkan dengan rasa ingin tahu. Kalau yang diomongkan Alena antara dia dan Aliska, maka itu hal yang biasa, tapi kenapa Alena ikut-ikut.
“Aku akan datang.”
***
Enam kurang sepuluh Johan sudah di depan pintu pagar rumah Alena. Beberapa orang tampak hilir mudik mempersiapkan peringatan kematian Aliska. “Masuk aja Jo, Alena ada di taman belakang.” Mama Alena tersenyum. Johan mengangguk kemudian menyusuri lorong menuju bagian belakang rumah.
Alena sedang duduk di kursi putih menghadap tatanan bunga yang tertata rapi di halaman berumput. Tangannya memegang sebuah buku dengan ukuran lebih kecil dari buku tulis biasa dan tebal.
“Johan, ya? Duduk Jo” Alena berbicara dengan masih tetap memandang ke arah depan.
Johan duduk di samping Alena. Jari Alena dimasukkan ke dalam buku. Sepertinya ia menandai halaman tertentu. Tangan Alena mengulur ke arah Johan. “Tolong kamu baca halaman ini.”
Johan memeriksa buku yang diberikan Alena sekilas. “Ini buku diary?” Johan membolak-balik sampai halaman depan. Tertulis nama Aliska.
Alena mengangguk. Johan mulai membaca halaman yang ditunjukkan Aliska.
“Aku merasa Johan suka dengan kakakku. Aku bisa melihat bagaimana kecewanya dia ketika tahu bahwa Alena punya pacar. Kelihatan banget dia ga konsen belajar kimia hari ini. Berkali-kali dia mendongak ke arah ruang tamu. Aku bisa melihat dia cemburu. Aku rasa Johan bukan tipe Alena kalau melihat model pacarnya sekarang, tapi siapa tahu mereka berjodoh. Bro..bro...klo emang suka kenapa ga bilang...selama belum menikah apa salahnya bilang suka ama cewek yang kamu demenin....dasar pengecut bro.”
Johan tersenyum kecut. Andai Aliska ada di depannya sudah ditimpuk kepalanya pake buku. Omongnya asal banget. Bikin keki, setelah dipikir-pikir ada benarnya juga.
“Apa yang ditulis Aliska itu benar?”
Jantung Johan seakan berhenti. Alena bertanya apa yang ditulis Aliska di diari-nya ini benar? Apa Alena membacanya? Bagaimana caranya? Ini tulisan tangan bukan huruf braille.
Johan pura-pura bloon. “Tulisan yang mana?”
Alena mengarahkan pandangan matanya ke wajahnya. Johan memandang kedua bola mata Alena. Bola mata itu seperti....MELIHAT ! Apa Alena?
“Bagian yang mengatakan kalau kamu suka ama aku.” Alena menaikkan alis matanya sejenak.
“Kamu bisa melihat?”
“Sudah lama aku ingin memberitahu kamu. Tapi kamu ga pernah mau datang kesini Jo.” Tanpa menunggu pertanyaan Johan lagi, ia menambahkan. “Aliska pernah bilang ke mama papa. Kalau ia meninggal lebih dulu dari aku, ia mau mendonorkan matanya ke aku. Jadi mataku adalah mata Aliska.”
Beberapa menit keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai Alena menepuk tangan Johan. “Kamu masih belum jawab pertanyaanku. Apa yang ditulis Aliska di daerah benar?”
Johan agak gugup. Alena, cewek yang disukainya berada di hadapannya dan bertanya apa dia memang menyukainya. Johan mengangguk kecil. Johan menambahkan kata-katanya takut-takut. “Apa aku bertepuk sebelah tangan?”
“Aliska benar tentang kamu. Kamu bukan tipe cowok yang aku mau.”
Johan kelu. Pasrah. Tapi Johan lega setidak-tidaknya ia berterus terang. Alena tertawa geli dalam hati. “Tapi Aliska benar juga. Mungkin kita berjodoh.”
Johan memperlihatkan tampang bodoh. “Maksudmu?”
“Menurutmu apa?”
“Kamu jadi kayak Aliska.” Johan baru sadar Alena mempermainkannya.
“Memang. Kan mataku punya Aliska. Lagian aku dan dia emang kembar.”
Johan mengambil bantal dan menimpuk kepala Alena.
“Lho kok aku ditimpuk, sih. Barusan jadian kok sudah melakukan kekerasan.”
“Aku gemas bener sama Aliska. Berhubung dia ga ada, kamu gantinya.Pertama karena dia bilang aku pengecut.” Tangan Johan meninju pelan pipi kiri Alena.
“Emang ga?” Alena menimpali.
“Kedua karena dia mengajari kamu jadi kayak dia.” Tangan Johan meninju pipi kanan Alena.
“Lho, ini ada apa? Kok anak mama yang cantik ditinju-tinju.” Johan menghentikan candanya ketika didengarnya mama Alena berada di belakangnya. Alena masih tertawa memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
“Rasain lho,” bisiknya.
“Udah. Berhenti dulu bercandanya. Ayo bantu mama ngatur piring buat nasi.” Mereka berdua berjalan mengikuti mama ke dapur. Johan merasa, ia sekarang mempunyai malaikat kembar. Pertama malaikat pelindung cinta mereka, Aliska lewat matanya di Alena. Kedua malaikat cintanya lewat diri Alena.
Sumber Gambar: Pinterest.com
Hallo.. cerpennya cukup romantis
BalasHapus