Pelabuhan Hati (Bagian 4)



Floriana bingung antara harus tertawa dan prihatin. Dia memperhatikan tas ransel Rommy yang gendut

“Kamu cowok aneh. Di sinetron-sinetron, adegan baru beli baju yang banyak selalu diperlihatkan dengan membawa tas-tas bertuliskan merek-merek dalam jumlah yang banyak juga. Tapi kamu malah memasukkan semuanya ke dalam ransel.”

“Kalau kamu pernah jadi gelandangan jalanan. Cara ini lebih praktis. Tidak menarik perhatian dan lebih mudah membawanya.”

“Gelandangan jalanan? Apa itu?”

Backpacker.”

Floriana tertawa terpingkal-pingkal. Rommy sampai-sampai harus menutup mulutnya.

“Aku bilang tadi, aku tidak suka menarik perhatian.”

“Sorry. Kamu harus latihan memberi jawaban yang enggak konyol agar aku tidak cepat tertawa.”

“Jadi sekarang kamu bahagia?”

“Hemm..eh.”

“Oke. Sekarang kita rayakan dengan makan-makan.”

“Kamu berpotensi membuat diet-ku gagal,” keluh Flori.

“Sudahlah.Pilih makanan yang kamu suka.”

“Rawon?”

Rommy berhenti mendadak.

“Rawon? Kita ada di mall tapi kamu malah pengin makan rawon?”

“Di depan mall ada depot rawon enak. Aku suka makan disana.”

“Oke deh.Terserah Tuan Puteri saja.”

Rommy menahan air mukanya. Pipinya menggembung sebesar bola tenis ketika melihat daftar menu.

“Aku salah sangka.Aku pikir harganya murah, ternyata sekelas restoran."

Floriana pura-pura tidak mendengar.Dia asyik menyebutkan pesanannya. “Eh, pesanan kamu apa? Ditunggu Mbaknya.”

Rommy menyebutkan pesanannya, kemudian memandang keadaan sekelilingnya setelah Mbak penulis pesanan berlalu.“Kelihatannya depot ini sudah lama, tapi aku kok enggak pernah tahu.”

“Mungkin kalau kamu kencan selalu di resto. Enggak pernah di tempat seperti ini.”

“Siapa bilang—“

“Nah, berarti sudah pernah punya pacar dong.”

Rommy membuang nafasnya sambil melihat Floriana.

“Pacar kamu dulu cantik?”

“Ya ampun. Kenapa kamu sekarang jadi kepo banget.”

“Nggak usah ngeles. Cakep apa enggak?”

“Cakep itu relatif. Kamu minta dibandingkan sama siapa?”

Floriana menunduk sebentar.Matanya mengarah pada daftar makanan, kemudian menatap mata Rommy dalam-dalam. “Kalau sama aku?”

“Wah..emm…kamu lebih muda,” kerutan-kerutan di dahinya mengeras.

“Aku tidak tanya masalah umur. Aku tanya, cakep mana?”

“Maksudku. Perbandingannya enggak setara.”

“Mungkin maksudmu aku lebih cantik karena masih muda?”

“Bukan begitu.”

“Lantas apa dong?”

“Aku selalu punya dua faktor kalau pengin menilai kecantikan seseorang. Pertama-tama adalah karakter cewek itu. Kedua barulah wajah. Kehilangan salah satunya membuatku gagal menilainya. Aku tahu wajahmu, tetapi masih belum tahu karaktermu. Jadi susah kalau menilai apakah kamu lebih cantik dari dia.”

“Ya, ampun.” Flori mengusap mukanya. “Apa kamu selalu berpikir serumit ini?Atau kamu sengaja tidak ingin bilang kalau mantanmu lebih cakep dari aku.”

Rommy memegang punggung tangan Flori.

“Apa sih pentingnya kamu tahu kalau mantanku itu lebih cakep dari kamu atau tidak? Itu masa lalu. Aku aja enggak tahu dia ada dimana. Buat apa diomongin.”

Floriana tampak kesal. Ia ingin mengatakan sesuatu tetapi pesanan mereka datang. Mereka menghabiskan makanan tanpa berbicara lagi. Sesampai di rumah, Flori langsung meminta isi ransel dan pergi ke kamarnya.

“Ada apa sih, Non? Kamu marah?”

Floriana tidak mengubris. Pintu ditutupnya agak keras.

“Cewek memang sudah dipahami. Enggak ada apa-apa kenapa dia tiba-tiba seperti orang marah?”

Rommy masuk ke kamarnya dan jatuh tertidur. Tengah malam matanya terbuka karena merasa ada yang aneh dengan tempat tidurnya. Pegasnya seakan-akan tertekan lebih dalam padahal ia tidak sedang bergerak. Mukanya siap-siap berbalik dari menghadap tembok ke bagian belakang tubuhnya.

Tubuhnya berputar cepat. Tangan kirinya meraih apapun yang ada di belakangnya. Dihentakkan tubuhnya memanfaatkan pegas ranjang. Sosok yang dicengkeramnya hendak berteriak tapi terhambat himpitan jempol dan jari kiri Rommy. Pantatnya menduduki sosok itu dan tangan kanannya mengacung hendak menjatuhkan pukulan.

“Flori.” Pandangan sosok dibawahnya tampak ketakutan.Rommy langsung melepaskan cekalannya dan memindahkan tubuhnya ke samping. “Sorry. Aku enggak tahu kalau kamu. Aku kira pencuri atau apa.”

Tubuh Flori bangkit sambil terbatuk-batuk. Rommy bergegas pergi keluar kamar dan kembali dengan segelas air putih.

“Minum.”

Floriana menyahutnya dan menenggak habis. Rommy mendekati namun Floriana menjauhkan diri ke arah tepi ranjang.

“Sorry. Aku benar-benar tidak tahu kalau tadi itu kamu.”

Rommy mendekat perlahan-lahan. Lengannya melingkar dengan lembut.“Aku janji tak ada yang menyakiti kamu lagi.”

Kedua tangan Floriana terkulai di samping tubuhnya.Rommy takut melihat Flori sangat rapuh.Tangannya kanannya hampir masuk ke bawah kedua lutut Flori untuk menggendongnya kembali ke kamar.

“Kak,” bisiknya. “Kamu sudah membeliku mahal. Kamu tidak ingin melakukan apa-apa sama aku?”

“Aku tidak tahu maksudmu. Aku sudah memberi kamu tempat. Membelikan kamu perlengkapan tadi dan—”

“Itu semua kebutuhanku. Aku yang senang. Tapi hak kamu? Hak yang semestinya kamu lakukan karena sudah membeliku.”

“Flori.”Tangan Rommy menghadapkan wajah Flori ke arahnya.“ Jangan pakai istilah membeli.Aku tidak suka.Yang aku lakukan waktu itu cuma menebusmu. Kamu disandera ibumu sendiri.25 juta itu harga kebebasanmu, bukan caraku membelimu.”

“Begitu murah hatikah kamu, menghabiskan 25 juta hanya demi kebebasan? Kamu tidak rugi?”

Rommy menggeleng.

“Kamu tidak ingin melakukan seperti yang dilakukan pria itu dengan 25 jutanya?”

“Aku tidak tahu maksudmu.”

“Aku memang masih muda, tapi tidak berarti aku tidak tahu apa-apa. Aku pernah melihat mama melakukannya dengan laki-laki di sofa semaleman.”

Rommy hampir terkena serangan jantung. “Mereka tidak tahu kamu melihatnya?”

“Maksud Kak Rommy aku melihat apa?” Floriana menahan senyum.

Rommy merasa terjebak. “Cewek cerdas.”

Floriana melingkarkan tangannya ke belakang leher Rommy. “Sekarang Kak Rommy tahu apa yang aku maksud? Kalau gitu jawab.”

“Kamu masih terlalu muda. Ini tidak benar. Kamu belum punya banyak pengalaman. Masih banyak cowok-cowok ganteng diluar sana yang belum kamu lihat. Siapa tahu ternyata mereka lebih baik, lebih ganteng, dan lebih menyanyangi kamu. Belajarlah mengenal dirimu sendiri supaya kamu tahu apa yang kamu butuhkan pada pasanganmu kelak. Jangan terlalu percaya pada seseorang sampai kamu membuktikan orang itu dapat dipercaya. Masih banyak yang harus kamu pelajari, Non. Belajarlah dulu.”

“Duh, Kak. Omonganmu sudah kayak orangtua. Jawab saja, Kak. Apa kamu menyukaiku? Kalau iya, kita bisa pacaran setelah aku dewasa. Enggak harus sekarang karena Kak Rommy malu punya pacar seumuran aku.”

Rommy mengangguk.

“Maksud anggukan itu apa? Yang jelas.”

“Ya, aku suka kamu.”

Floriana tersenyum lebar. “Asyikkk. Akhirnya aku punya pa—“

Rommy buru-buru menempelkan telunjuk ke bibir Flori. “Tidak sekarang.”

“Ya..ya..ya. Aku tahu, tapi kamu harus janji enggak boleh pacaran sampai kita benar-benar jadian. Tapi aku pengin tahu, kenapa kamu menyukaiku?”

“Karena kamu memercayai aku. Kamu datang ke telaga waktu itu. Kamu tidak memikirkan bagaimana keadaan telaga saat itu membuat kamu ada dalam keadaan bahaya. Bisa saja kamu—ya begitulah.”

“Tapi kamu tidak melakukannya. Bahkan sekarang, ketika kamu punya kesempatan sekalipun, kamu tetap tidak melakukannya. Jadi alasan kita sama. Percaya. Dan itu membuatku jatuh cinta sama kamu.”

“Jangan pikirin masalah ini dulu. Belajar saja sampai kamu lulus SMA dan masuk perguruan tinggi. Nanti ada saatnya kamu memiliki pasangan. Udah met malem. Besok kamu masih harus sekolah.”


Floriana mengendurkan pelukannya. “Simpan semua cintaku sampai waktunya.”

Rommy menggendong Floriana ke kamarnya.

***
Rommy duduk di tepi ranjangnya sendiri. Ia menatap langit-langit. Helaan panjang gagal membuatnya lega. Badannya melorot mengikuti tepi ranjang. Permukaan karpet kurang lembut menyambut pantatnya.

“Gila. Apa yang terjadi hari ini? Aku apa dia yang waras?”

Bersambung ke Bag 5 , Bag 6 , Bag 7 , Bag 8 , Bag 9
 
Sebelumnya: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3

Sumber gambar: pinterest.com

Pelabuhan Hati (Bagian 4) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar