Raka
merapikan peralatan selam yang baru saja diletakkan keluarga turis asuhannya,
sementara Burhan, temannya sedang berjaga-jaga di konter. Sudah seharian dia
dan dua orang temannya mengajarkan open
water—pelajaran dasar menyelam—kepada beberapa orang-orang bule di Gili Trawangan.
Sekarang yang ingin dilakukannya hanya membuat kopi dan menghabiskan waktu sejam
untuk menikmati matahari masuk ke horison pantai sebelum beranjak ke biliknya.
“Ka,
ada yang pengin pelajaran selam besok.”
“Ya,
udah layani saja, aku masih merapikan ini.” Raka berbicara membelakangi
Burhan.
Burhan
mendekat, kemudian berbisik, “Dia ingin kamu yang melayani.”
Dengusan
Raka cukup menandakan kalau ia jengkel. “Pasti orang Indonesia, ya? Orang-orang
seperti itu mintanya macem-macem tapi gak mau bayar mahal.” Ia
berbalik. Dicobanya menghilangkan rasa jengkel di mukanya. Ia ingat bagaimana pelajaran dasar manajemen,
pelanggan adalah raja.
“Ya,
Kak,” Raka memandang gadis di depannya. Rambutnya panjang lurus,
dibuat agak ikal di bagian bawah. Tingginya hampir sama dengan dirinya. 175
senti. Mata berwarna hazel. Alisnya tebal di dekat mata dan semakin
meruncing samping hilang ke samping.
“Saya
ingin selam dasar. Kalau tidak salah yang open water, ya?”
Raka
mengangguk. Jarinya menyorong pada harga di sebuah kertas di dekat gadis itu.
“Baik,
Pak Raka. Saya setuju. Jam berapa saya harus kemari?”
Raka tersetrum tegangan tinggi. Janggutnya terangkat penuh. Diselidikinya gadis di depannya. “Darimana
Kakak tahu nama saya?”
“SMA
Trasula Surabaya. IPA 2”
***
“Saya
pengin les, Pak.”
“Les?
Kalau anak pintar seperti kamu les, terus bagaimana dengan anak-anak dibawah
nilai-nilaimu. Bisa-bisa satu sekolah bisa minta les sama saya.”
“Itu
urusan Bapak, mau diterima apa enggak. Yang jelas saya minta les. Papa sudah
kasi ijin, kok.”
Mula-mula
cuma sehari dalam seminggu. Lama-kelamaan menjadi tiap hari. Raka sewot dan
meminta jadwal les dikembalikan ke sehari-seminggu. Tapi Raka heran, setiap
kali les cuma satu kali per minggu, nilai ulangannya selalu jelek. Ia curiga
Rahel sengaja menjelek-jelekkan ulangannya. Raka tak punya bukti.
Jabatannya sebagai guru honorer bisa terancam jika nilai murid sepintar Rahel
turun dibawah bimbingannya. Raka mengalah. Les kembali menjadi tiap hari.
Sebulan
kemudian Kepala Sekolah memanggilnya. Kasak-kusuk tak sedap di sekolah
mengatakan bahwa Raka melakukan perbuatan tak sepatutnya pada muridnya. Pak Aji—kepala
sekolah—memberikan pilihan pada Raka, dia harus mengundurkan diri dari sekolah
atau dilaporkan pada polisi. Raka memilih yang pertama. Pupus harapannya
menjadi pegawai negeri walaupun sekedar keinginan orangtuanya. Dia memilih
meninggalkan pulau Jawa untuk melupakan semuanya. Melupakan perbuatan yang tak
pernah dilakukannya.Sekarang,
disini, berdiri sebagian masalalunya.
***
“Rahel?”
Gadis
itu mengangguk. Pandangannya terkunci pada mata Raka, membuatnya tak berkutik. Tak ada alasan
baginya untuk memalingkan wajah.
“Kamu
udah gede.” Tangannya mencorat-coret sesuatu di kertas, kemudian menyerahkannya
pada Rahel. “Ini biayanya. Besok
pagi, jam enam, aku tunggu disini.”
***
“Tolong,
Pak agak kesana.” Rahel berbicara tanpa memandang.
“Daerah
sana cuma buat penyelam bersertifikat. Belum saatnya kamu kesana.”
“Tenang,
Pak. Saya punya sertifikat instruktur.”
Raka
menelan ludah. “Beneran? Ayo kita balik. Aku pengin lihat sertifikat kamu dulu.”
“Masa
sih saya bohong. Konyol banget kalau saya sampai mati setelah ketemu Bapak.” Rahel cuek. Setelah sampai pada spot yang diincarnya, tanpa komando, dia
langsung memasuki laut. Mau tak mau Raka mengikutinya. Berkali-kali
dada Raka hampir pecah. Bukan karena tekanan air, tetapi ia tahu kemana tujuan murid selamnya ini. Spot tujuan Rahel memang bukan untuk pemula. Raka berusaha menarik
tangan Rahel sebagai tanda tak setuju. Tapi Rahel malah menghentakkan tangan Raka. Dengan berat hati, Raka
terpaksa mengikutinya sambil berharap bahwa Rahel benar-benar mempunyai
sertifikat instruktur penyelam seperti yang dikatakannya.
Rahel
menunjuk pada sebuah rongga. Dahi Raka mengernyit. Dengan isyarat tangan, ia
menanyakan padanya, “Apa itu?”
Kilauan
nakal di mata Rahel dan jempolnya yang terancung tak membuat Raka lega.
Seumur-umur Raka tidak pernah memasuki lubang itu. Matanya terbeliak ketika
mereka memasuki lubang. Dia sadar ini bukan sekedar lubang. Ini gua. Gua bawah
air. Di dalamnya terdapat rongga kering. Raka dan Rahel naik ke bagian darat. Raka
segera melepaskan tabung oksigen. Dihirupnya udara yang selalu dirindukannya. Udara
laut bercampur dengan tanah dan bau garam.
“Bagaimana?” Rahel mengibas-ngibaskan rambutnya setelah selesai melepas tabung
oksigen miliknya dan snorkel.
“Darimana
kamu tahu ada gua di dalam sini? Kamu pasti sudah level master.”
Rahel
cuma terkekeh. Jarak mereka tinggal beberapa senti. Mata itu. Mata yang dirindukannya
dalam setiap mimpi. Mimpi yang mengalutkan pikirannya. Karena dirinya memang jatuh cinta.
Tapi apakah pria seperti dirinya patut mencintai seseorang seperti Rahel. Muridnya. Meskipun mantan
muridnya ini bukan gadis remaja lagi. Tubuhnya sudah sepenuhnya tumbuh
menjadi gadis dewasa. Dan mungkin sudah mengenal cinta. Tetapi bukan darinya.
“Semua
orang sudah tahu bahwa Bapak tidak pernah melakukan pelecehan itu. Pak Aji
hanya cemburu kepada Bapak. Andai Bapak memberikan sedikit upeti, dia tidak
akan mendepak Bapak waktu itu.”
“Aku
tidak pernah meminta uang sama ayahmu,” jawab Raka lirih.
“Ya,
saya tahu. Saya sudah berusaha menjelaskan pada Pak Aji. Tapi Pak Aji nggak mau
dengar.Dan sekarang—” Sinar mata Rahel meredup. Ada sesuatu yang mengganjal
pikirannya. Raka bisa menebaknya. Apakah
sekarang saatnya?
“Pak
Raka?”
“Panggil
saja Raka. Kamu bukan muridku lagi.”
Rahel
menunduk, kemudian mengendikkan badannya. “Raka.” Pipinya merona.Untuk pertama kali dia mengucapkan nama Raka seperti mantra.
Tangan
Raka mengembang. Ditariknya Rahel mendekatinya. Balasan pelukan Rahel sudah
cukup membuatnya mengerti, gadis ini juga menyukainya.
“Kamu
suka aku dari dulu, kan? Raka?” Rahel merasa nyaman. Sebidang dada dan tangan
dirasakannya sebagai benteng yang melindungi.
“Raka
membelai punggung Rahel. “Seorang guru tidak pantas melakukan itu.”
“Tapi
sekarang kita bukan guru dan murid. Umur kita juga tidak jauh berbeda. Apakah
menurut Bapak. Eh, maksudku kamu. Kita pantas—”
Raka
merenggangkan pelukannya. Rahel mengeluh. Ia masih ingin menikmati sebisa
mungkin kenyamanan yang baru saja didapatkannya. Karena mungkin ini adalah pelukan Raka yang terakhir, jika tebakannya salah. Jika Raka masih menganggapnya seorang murid.
“Kamu
mau jadi pacarku?”
Rahel
menggeleng. Raka kecewa. Tebakannya salah. Rasa malu segera menggumpal di
dadanya.
“Tapi aku
mau jadi istrimu.”
0 komentar:
Posting Komentar