Catatan Penulis:
Cerbung ini saya persembahkan untuk SEBUAH NAMA yang meninggal karena penyakit maag akut. Semoga kamu bahagia disana. Kamu sudah tidak merasakan sakit lagi.
Kalau Ardilla sudah meninggal lantas siapa yang selama ini berbicara dengannya. Kalaupun itu hanya roh Ardilla, kenapa juga ia bisa merasakan tepukannya bahkan pukulannya lewat buku. Andika mengingat-ingat semua kejadian itu. Dia benar-benar mendengar suara Ardilla. Dia melihat tatapan matanya yang dingin dan seakan memerintahnya. Dia mendengar bentakan Ardilla.
"Ella, apa kamu membawa foto Ardilla?"
Ella tersenyum campur sedih. "Aku sudah menduga kamu akan menanyakannya. Lagian mama juga menyuruhku membawanya buat diperlihatkan ke kamu." Sejenak Ella mengaduk-aduk isi tasnya dan tiga menit kemudian menyodorkan foto dengan bingkai dari kayu.
"Ya. Ini memang dia." Andika kelu. Dia baru memercayai kematian Ardilla. "Kamu mau mengantar aku ke makamnya."
Ella mengangguk. Kebetulan hari minggu ini ulang tahunnya yang ke 18. Aku akan antar kamu."
"Kamu bisa tidak mengantar aku siang ini ke rumah orangtua Ardilla?"
"Kenapa kamu ingin kesana ?" Ella curiga.
"Aku ingin tahu saja, seperti apa mereka?" Ella mengeryitkan dahi, tanda ia masih belum mengerti maksud Andika. Dia mencoba mencari jawabnya dengan memandang wajah Andika. Tapi tidak ada jawaban disana. Jawabannya masih tersimpan di hati Andika. Sebetulnya Ella enggan mengantar tapi dia tidak punya alasan buat menolak. "Emh...Oke. Sepulang sekolah."
Dengan diantar Ella, Andika membawa sepeda motornya di depan sebuah rumah bertipe 72 dengan cat putih. Jalan di perumahan ini agak lebar, sehingga motor Andika yang diparkir di seberang jalan tidak terlalu menyolok perhatian orang di dalam rumah. Andika hanya diam menatap rumah itu. Ella jadi takut. Dia menyesal mengantar Andika. Dia berharap tidak terjadi apa-apa. Tapi kenapa jantungnya jadi berdebar-debar?
Setelah sepuluh menit dalam diam, pintu rumah terlihat terbuka. Sesosok pria paru baya keluar dari sana. Andika bertanya dengan nada datar. "Apa itu ayah Ardilla?"
Dengan takut-takut Ella menjawab,"Ya."
Tangan Andika mengepal ketika ia turun dari sepeda motornya dan berjalan menuju rumah itu. Seketika Ella mendapat firasat apa yang akan dilakukan Andika. "Andika kamu mau kemana?" Ella berlari secepat yang dia bisa. Dia mendahului Andika. Dengan posisi di depan Andika dia memegang kedua tangan Andika. "Apa yang mau kamu lakukan ?" Suara Ella meninggi.
"Aku cuma mengenalkan kepalan tanganku ke orangtua itu. Orang yang membuat Ardilla menderita."
"Tidak. Tidak Andika. Jangan. Andika dengar aku, jangan lakukan itu. Aku mohon."
"Apa kamu tidak mempunyai rasa marah sedikit pun dengan orang ini?"
"Tidak," jawab Ella. "Dika, dengar. Aku sudah mengenal cukup lama Ardilla. Aku tahu siapa dia. Kamu baru saja mengenal dia. Seharusnya kalaupun ada orang yang begitu dendam dengan orangtuanya adalah aku dan Ardilla bukan kamu. Tapi kamu dengar Andika. Baik aku dan Ardilla tidak dendam. Dan kalau kami berdua tidak dendam kenapa kamu merasa harus lebih dari aku dan Ardilla."
Andika dipenuhi emosi. Kata-kata Ella tidak ada yang masuk di telinganya. Bayangan akan kebaikan Ardilla yang menginginkan mereka menjadi sepasang kekasih dan kenyataan bahwa sekarang Ardilla pergi selama-lamanya benar-benar mengguncang emosi Andika.
Ella berusaha memeluk Andika erat-erat. Ia berharap Andika akan kesulitan melangkah. Meskipun ia ragu. Badan Andika yang besar tidak sebanding dengan tubuhnya yang kecil mungil. Dia berharap setidaknya itu pertanda dari dia, bahwa dia tidak menyukai tindakan kekasihnya itu. Dan benar. Andika tetap merangsek maju. Ella cuma punya satu senjata, rasa cintanya cowok itu pada dirinya.
Ella menyentuh pipi Andika sampai hampir terjatuh. "Andika dengar. Kamu cinta aku? Andika! Dengar," kedua tangan Ella mengoyang-goyankan kepalanya.
Andika berhenti.
"Kamu masih sayang sama aku, kan?" Ella menatap kedua mata Andika. "Kamu masih ingat malam itu kamu bahagia kalau bersama aku. Sekarang aku tanya kamu. Apa menurutmu aku bahagia kalau kamu melakukan sesuatu yang membuat aku tidak bahagia?"
Andika diam. Dia menyesali dengan apa yang akan dilakukannya. "Sayang. Dengerin aku sebentar aja." Ella memohon. "Kalau kamu benar-benar ingin menghukumnya, biarkan orangtua itu hidup dengan kenangan kematian anaknya. Percayalah padaku, itu lebih menyiksa daripada kepalan tanganmu. Robekan di hatinya akan lebih perih dan akan mereka tanggung seumur hidup dibandingkan dengan robekan di wajahnya yang sembuh dalam beberapa hari." Ella memeluk sebentar cowok itu. Ia merasakan degupan jantung Andika makin lama makin pelan. Ella lega. Cowok tersayangnya ini sudah reda amarahnya.
"Aku pengin pulang. Laper. Anterin aku pulang, ya ?" Ella berkata manja. Ia masih kuatir akan amarah Andika. Dengan berkata manja ia berharap Andika akan menuruti kata-katanya.
"Oke. Aku anterin kamu pulang."
Ella tersenyum lega.
***
"Hei. Kok ngelamun." Ella menepuk lengannya. "Bunganya sudah habis."
Andika menyadari kata-kata Ella. "Sorry."
Sambil menatap makam Ardilla, Ella bertanya, "Apa sewaktu Ardilla berbicara dengan kamu, dia bicara tentang aku?"
"Ya. Kelihatannya dia sayang banget ama kamu. Dia selalu bergairah kalau ngomong tentang kamu. Bahkan dia yang menyuruh aku bilang kalau aku suka ama kamu."
"Tapi kita jadian bukan karena kamu disuruh dia, kan?"
"Ga. Aku emang suka ama kamu. Cuma aku masih bingung ngomong ke kamu. Dia yang bikin aku pede ngomong ke kamu. Pake getok kepalaku pake buku lagi." Andika tersenyum jika ingat itu.
"Dia orangnya memang seperti itu. Selalu menekankan omongannya pakai tindakan. Getok pakai buku kek, pakai tepukan kek, Pandangan yang tajam kek, lepar kapur tulis ke. Duh, Dilla aku kangen sama aku." Ella seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Andika setuju dengan Ella. Dia melihat jam tangan. "Ayo kita pulang El. Udah sore. Entar ga enak sama papa mama kamu. Kita kan udah pergi dari pagi."
Ella mengangguk, tapi kita harus ngomong sesuatu ke Ardilla." Andika tiba-tiba ingat sesuatu."Ya benar. Ayo ngomong sama-sama..1...2...3 Selamat ulang tahun Ardilla." Keduanya lantas berlalu sambil bergandengan tangan menuju pintu makam.
0 komentar:
Posting Komentar