Catatan Penulis:
Cerbung ini saya
persembahkan untuk SEBUAH NAMA yang meninggal karena penyakit maag akut.
Semoga kamu bahagia disana. Kamu sudah tidak merasakan sakit lagi.
"Kamu tadi bilang suka ama aku. Apa maksud kamu, pengin jadi cowokku?"
Andika mengangguk dua kali.
Ella mengangguk juga.
Andika bingung, “Anggukanmu artinya apa? Aku enggak mau nebak-nebak, entar dipikir Ge-Er.”
"Aku juga suka kamu Dika." Ella berkata lirih. Kepalanya berputar sampai ke belakang untuk memastikan tidak ada orang. "Sejak pertama kali kita ketemu, entah kenapa aku merasa seneng banget lihat kamu."
Mama Ella yang mengintip dari kelambu dapur gembira. Dia merasa senang karena setelah ini Ella bukan gadis rumahan lagi. Ia mengepalkan tangannya, mengangkatnya keatas dan menurunkan sikunya kebawah dengan cepat. "Yes." Tiba-tiba panci yang diletakkan di rak sampingnya jatuh karena sikunya menyentuh pinggir rak. Seketika bunyi panci jatuh memenuhi rumah.
"Aduh mama." Pikir Ella sambil menggigit bibir bawah. Ia takut kalau Andika tahu. Tapi terlambat. Andika memang tahu bahwa ternyata ada seseorang yang berusaha mendengar percakapan mereka. Rasa tidak enak menghampirinya. Andika membatalkan berbagai pembicaraan sehubungan dengan mereka berdua. "Aku harus mengganti topik pembicaraan, nih," pikirnya.
"Ngomong-ngomong, aku ingin bertanya sedikit, boleh?"
"Tanya aja, ga usah ijin. Formal banget sih." Ella tertawa.
"Kenapa kelihatannya semua teman-teman kita memusuhi Ardilla?"
Seketika mulut Ella terkatup rapat. Matanya terbeliak, "Darimana kamu tahu nama Ardilla?"
"Lho. Kenapa kamu heran? Kan dia teman kita."
"Teman katamu? Darimana kamu kenal Ardilla."
Andika semakin heran. Ada apa ini, pikirnya. Ardilla teman sekelas dia dan Ella, kenapa Ella heran dia kenal Ardilla. "Kamu tahu sendiri kan. Ardilla duduk sama aku."
Ella begitu terkejut. Tatapannya tiba-tiba kabur. Kepalanya pusing. Dan ia jatuh pingsan.
"El. Ella." Andika kebingungan. Matanya menatap seluruh ruangan kalau-kalau ada orang di rumah itu. Mama Ella tergopoh-gopoh ke ruang tamu. Sama bingungnya dengan Andika, ia berusaha menepuk-nepuk pipi Ella. Namun tidak berhasil.
"Bu, sebaiknya kita bawa ke kamar saja." Mama Ella mengangguk pelan. Andika membopong Ella mengikuti arah mama Ella menuju kamar Ella. Di kamar mama Ella berusaha memberi minyak putih pada hidung Ella. Beberapa saat Ella mulai siuman. Ada duka mendalam tergambar di wajahnya. Badannya kelihatan lemah sekali.
"Saya minta maaf, Bu. Tadi saya cuma menanyakan tentang salah satu teman kami Ardilla. Tiba-tiba Ella pingsan."
Mama Ella tiba-tiba menangis. Ia juga tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Andika tambah bingung. Ia sama sekali tidak mengerti.
"Besok aku mau tanyakan ke Ardilla," pikirnya.
"Nak Dika. Sekarang Nak Dika pulang dulu. Biar besok Ella saja yang menjelaskan. Ini bukan salah nak Dika. Ibu tahu nak Dika masih baru disini." Katanya menghela nafas panjang. "Jangan kuatir dengan kami. Sebentar lagi ayah Ella pulang."
"Baiklah, Bu. Sekali lagi saya minta maaf. Saya benar-benar tidak tahu ada masalah apa. Selamat malam Bu."
Mama Ella mengangguk kecil. Tangannya masih sibuk menyapu air mata yang mengalir di pipinya.
Hari masih pagi. Jam baru menunjukkan pukul setengah enam. Andika bergegas masuk ke kelasnya. Malam hari kemarin ia sama sekali tidak bisa tidur. Berbagai pertanyaan tentang Ardilla ada di benaknya. Ia tidak sabar menunggu hari pagi dan memberondong Ardilla dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya. Tapi kecewa. Bangku itu kosong. Tidak ada sosok Ardilla disana. Dengan gontai ia berjalan menuju bangkunya. Meletakkan tas. Ia duduk sambil melipat tangannya di meja. Menit demi menit ia menunggu, namun sosok Ardilla belum menghampirinya sama sekali. Sesekali ia melirik ke samping ke tempat biasanya Ardilla duduk. Masih kosong. Wajahnya menelengkup ke meja. Disadarkannya dahinya pada kedua tangannya.
Tiba-tiba ia merasa ada sebuah tangan menepuk pundaknya. Andika langsung bangkit. "Ardilla." Tapi ia keliru. Tangan itu adalah tangan Ella. Andika duduk lagi.
"Maaf, ya." Tangan kanannya memegang dahinya dan dia diam. Ella duduk di bangku depan Andika tetapi badannya menghadap ke arah Andika.
"Dika. Sekali lagi aku bertanya. Darimana kamu tahu nama Ardilla?"
"Aku sudah bilang El. Dia teman bangkuku. Kan kamu lihat sendiri selama ini."
Ella menjawab dengan tegar. "Aku dan semua teman-teman kita disini melihat kamu duduk sendiri. Kamu tidak pernah duduk dengan siapa-siapa."
"Tidak mungkin Ella." Andika ngotot. Aku berbicara dengan dia. Bahkan dia sempat menimpuk kepalaku dengan buku."
Ella terkejut. "Kamu melihat dia? Kamu berbicara dengan dia?"
"Ya iyalah. Kan dia teman bangkuku. Masa kalian semua ga lihat aku ngomong-ngomong dengan Ardilla."
Ella memandang wajah sedih. "Dika. Kami semua memang tidak mungkin melihat dia. Dan kami yakin kamu selama ini duduk sendiri."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Andika.
"Dika. Ardilla memang pernah menjadi teman kami semua. Tapi dia sudah meninggal setahun yang lalu lalu."
"Apa?" Andika tidak percaya. "Itu tidak mungkin. Aku benar-benar berbicara dengan dia, bagaimana mungkin dia sudah meninggal."
"Aku sudah menduga tapi tidak berani memastikan kalau kamu melihat Ardilla. Aku sering melihat kamu seperti berbicara dengan seseorang di samping kirimu. Aku berharap seberuntung kamu Dika. Aku ingin berbicara dengannya lagi. Dia sahabatku." Kembali Ella menitikkan air mata. "Kalau saja dia mau berterus terang. Aku bisa menolongnya. Bodohnya aku."
Andika jadi ingin tahu cerita tentang Ardilla. Ia menunggu sampai Ella agak baikan dari rasa sedihnya. Kemudian ketika dia merasa saatnya tepat, ia bertanya,"Apa yang sebenarnya terjadi pada Ardilla. Kenapa dia meninggal?"
"Masalah Ardilla jadi masalah yang memalukan bagi sekolah. Yang merasa malu sekolah bukan Ardilla-nya." Ella berhenti sebentar. "Setahun sebelum kepergiannya. Orang tua Ardilla bercerai. Saat itu juga keadaan Ardilla jadi tidak menentu. Kedua orangtuanya bertengkar hebat, mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri sehingga melupakan keberadaan Ardilla. Ia mati-matian mencari nafkah buat dirinya sendiri. Pernah ia jadi tukang cuci pakaian di sebuah keluarga. Pernah juga menitipkan gorengan di kantin." Ada rasa kelu di dada Ella. Tapi dia ingin tetap meneruskan agar Andika tidak merasa penasaran lagi dan percaya bahwa selama ini Ardilla tidak pernah menjadi teman duduknya.
"Mungkin Ardilla terlalu sibuk mencari nafkah dan belajar sehingga dia melupakan keadaannya sendiri. Dia kelihatannya sering lupa makan dan mulai kena penyakit maag. Entah karena lupa makan atau kadang ia tidak punya uang buat beli makan, maagnya tambah parah. Suatu ketika dia pernah pingsan di rumahku. Aku membawanya ke dokter bareng papa. Dokter bilang dia kena syndrom dispepsia, maag akut." Ella memejamkan matanya. Bayangan wajah sahabatnya sempat mampir di pelupuk matanya. Wajah Ardilla tersenyum manis.
"Maag Ardilla semakin parah. Perutnya terlihat menggembung seperti orang hamil." Ella celingukan melihat ke kanan kirinya. Ia kuatir ada orang di sekitarnya, karena sekarang ia akan menceritakan sangkut paut sekolah ini dengan Ardilla.
"Kepala sekolah memanggilnya. Ia menuduh Ardilla hamil. Dengan alasan ia memalukan bagi sekolah, maka kepala sekolah mengeluarkan Ardilla. Aku berusaha mati-matian menjelaskan pada kepala sekolah. Tapi dia tidak mau mendengar penjelasanku." Ella terlihat geram. tangan kanannya terlihat mengepal. Dia berusaha menahan diri untuk tidak menggebrak meja.
"Tiga bulan sesudah dikeluarkan Ardilla masuk rumah sakit. Keluargaku yang membiayainya karena keluarganya sendiri seperti tidak perduli pada Ardilla." Ella menarik nafasnya dalam-dalam.
"Aku ada disaat-saat terakhirnya. Dokter bilang lambungnya rusak. Dia mungkin tidak dapat bertahan," Ella menatap Andika sambil berlinang air mata."Ardilla meninggal di pelukanku." Andika hanya diam. Dia mencoba mencerna dengan segala kemampuannya terhadap semua cerita yang dikatakan Ella serta pengalamannya sendiri dengan Ardilla.
Bersambung ke Bagian 4
Sebelumnya: Bagian 1, Bagian 2
Sumber gambar: boredpanda.com
0 komentar:
Posting Komentar