Pabrik Derita


Berbekal ijasah teknik kimia, Desi diterima sebagai staf bagian riset dan pengembangan. Bagian Personalia sudah memberitahukan bahwa jam masuk kantor adalah jam delapan. Desi tidak ingin mempunyai catatan buruk di awal masa kerjanya, sehingga dia datang satu jam sebelum jam masuk kantor.

Desi mengira-ngira luas pabrik cat ini sekitar dua hektar. Banyak bangunan di dalamnya. Jika melihat dari atap-atap yang terlihat olehnya, pabrik ini sepertinya mempunyai delapan bangunan utama. Ruangan tempat Riset terletak di bagian paling belakang, dekat dengan sebuah tangki baja dengan berbagai pipa besi berbaut besar.

“Saya pergi dulu, Mbak,” kata Satpam yang mengantarnya.

Desi merasa bersyukur bahwa Satpam tadi menutup pintu dari kaca setelah meninggalkannya. Ia merasa dingin. Tempat pabrik ini memang bukan di daerah berhawa dingin, tetapi embun pagi belum benar-benar pergi saat itu.

Matanya menyapu seluruh ruangan. Di sampingnya ada sebuah ruangan berdinding kaca. Dari tempat dia berdiri dia dapat melihat meja-meja setinggi perut orang dewasa. Berbagai gelas erlenmeyer, labu ukur, tabung reaksi, gelas beker dan pipet tampak diatur rapi. Di seberangnya tampak pintu-pintu. Pintu paling belakang sepertinya adalah ruang Kepala Riset dan Pengembangan. Tulisan diatas pintu menegaskan kepemilikan ruangan tersebut. Sedangkan di ujung laboratorium terdapat pintu kecil dengan gambar kartun Pria dan Wanita.

Desi menguap, menyesal karena datang terlalu cepat dari seharusnya. Dikeluarkannya komputer tablet dari tas. Sambil tersenyum dia mulai memainkan Temple Run.

Agak lama dia bermain game. Telinganya menangkap suara seperti kaki kursi beradu dengan lantai. Desi meletakkan tablet pada meja. Ia tidak ingin calon atasannya melihatnya bermain game. Pandangan matanya beredar sejauh penglihatannya. Tak ada siapa-siapa. Semua masih seperti terakhir kali dia melihat. Hanya saja, langit di luar tampak mendung sehingga cahaya di ruangan lebih redup. Sepertinya mau hujan, batin Desi.

Suara tadi terdengar. Kali ini suaranya seperti pintu dibuka dan ditutup pelan-pelan. Desi heran merasa tidak melihat pintu terbuka dan tertutup sepanjang penglihatannya. Suhu di sekujur tubuhnya dingin. Rambut-rambut pada tangannya berdesir, seperti ada angin berhembus di dekatnya. Dia berdiri. Dicobanya untuk tak berpikiran macam-macam. Dia menganggap perasaannya sekarang hanya sekedar perasaan seseorang yang berada di tempat yang baru. Desi pernah mengalami hal seperti ini saat pindah rumah. Dua minggu kemudian perasaan seperti ini hilang dengan sendirinya.

Desi iseng-iseng berjalan menuju pintu keluar. Ia merasa tenang bahwa hampir semua ruangan di bagian riset berdinding kaca, dengan demikian, hatinya tenang. Tak ada orang yang dapat sembunyi-sembunyi mengintipnya atau iseng mengerjai dirinya. Tak mungkin bersembunyi di tempat berkaca seperti ini, kecuali pada ruangan-ruangan kepala dan kamar mandi. Lagipula, mana mungkin atasannya iseng-iseng menggodanya, pikirnya sambil tersenyum.

Pemegang pintu tak mau diputar. Dalam keadaan terpaksa, bisa saja Desi memecahkan pintu kaca untuk keluar, tetapi saat ini bukan keadaan darurat. Apalagi dia karyawan baru. Apa kata mereka jika dia sampai memecahkan pintu kaca.

Dia mundur kemudian berbalik ke arah dalam. “Sudahlah, nanti juga banyak orang. Pasti sebentar lagi mereka datang dan mau tak mau membuka pintu itu.”

Desi melanjutkan bermain Temple Run. Tanpa sadar, matanya semakin berat. Dan jatuh tertidur.

***

Kesadaran Desi pelan-pelan pulih. “Ya, ampun,” serunya tertahan. Badannya tegak. Di depannya ada seorang wanita duduk tepat di hadapannya. Mereka cuma dibatasi oleh meja panjang.

“Maaf, Bu.” Desi merapikan rambutnya.

Wanita itu menyerahkan sebuah map coklat. “Berikan pada Pak Broto. Kantornya dekat bagian produksi Alkyd.”

Desi cepat-cepat mengambilnya. Perasaannya memburuk. Bagaimana ini, hari pertama sudah ketahuan tidur di jam kerja.

Punggung tangannya mengusap mata. Tak percaya. Desi takut jika matanya masih belum sepenuhnya terbuka. Sekelilingnya masih sama seperti ketika ia datang pertama kali. Seharusnya sekarang sudah siang, kan? Kenapa masih ada jejek kabut disana-sini?

Di depan ada dua cabang jalan. Di dekat persimpangan ada seseorang sedang menyapu jalan. Kepalanya menunduk. Tangannya memegang sapu ijuk bertangkai panjang. Geraknya amat pelan, namun suara derak sapu amat jelas terdengar.

“Pasti bagian kebersihan,” batinnya, ia berjalan mendekat. Desi menanyakan ruang Pak Broto. Orang itu masih menunduk tetapi telunjuknya mengarah pada jalan sebelah kanannya.

Desi tiba pada sebuah gedung besar. Pikirannya tidak dapat menduga ini gedung apa. Tidak terdengar suara sama sekali. Halangan satu-satunya memasuki gedung ini cuma dua pintu kembar. Tertutup rapat. Desi menarik nafas jengkel ketika melihat gembok besar mengunci rantai berkarat. Tangannya menjulur menyentuh gembok. Desi bermaksud membunyikan gembok agar orang dibalik pintu tahu kehadirannya.

Baru saja telapaknya menyentuh, gembok itu jatuh. Suara rantai berdenting seperti kaca pecah menghantam lantai. Pintu terbuka perlahan. Deritan engsel membuat jantung Desi seperti tercabik. Desi melangkah masuk. Jantungnya berdetak keras ketika pintu tertutup tiba-tiba. Gaungnya menyebar berkali-kali sebelum berhenti.

Desi merasakan suhu ruangan lebih panas. Mula-mula memang ia tak menyadarinya. Kulitnya semakin perih. Semula hanya seperti terkena goresan. Kemudian berubah seperti disilet. Dan saat ini, kulitnya terasa terbakar.

Dagunya terangkat. Matanya terbelalak. Lidah api dimana-mana. Tubuhnya berbalik bermaksud berlari ke arah pintu. Tetapi api menjilati jendela-jendela dan pintu. Desi bingung. Air matanya berkaca-kaca. Aku tidak ingin mati sekarang.

Lamat-lamat mata Desi melihat sebuah warna lain pada jilatan-jilatan api. Warna hitam. Mula-mula transparan. Kemudian berubah bentuk menjadi sosok semacam manusia dari bagian pinggang ke atas.

Muka sosok itu sepenuhnya gelap. Namun meskipun Desi tidak melihat bibirnya, ia merasa sosok itu berkomunikasi dengan dirinya, bukan dengan kata-kata. Desi merasa kata-kata itu seperti dikirim ke pikirannya.

“Kami terjebak disini.”

“Siapa kalian?”

Berbagai sosok mirip sosok yang pertama bermunculan. Jumlahnya puluhan. Masing-masing sosok berubah ke wujud manusia. Ruangan berpendar dengan cahaya yang menyilaukan. Setelah sinar redup, Desi melihat ruangan tempatnya terjebak berubah. Ia melihat orang-orang di sekitarnya. Berbagai tumbukan barang diatur rapi di berbagai tempat. Seorang laki-laki masuk. Sebatang rokok di mulutnya menyala terang. Temannya memperingatkan untuk mematikan rokoknya. Pria itu marah dan memukul pemeringatnya. “Maaf, Mas. Tapi ini gudang formulasi. Banyak bahan kimia disini.”

Perokok itu kalap. Dengan melotot ia mengambil rokok dari bibirnya. Tangannya terangkat setinggi lengan dan melontarkan rokoknya ke samping. “Kalau aku gak mau, kamu mau apa?” Ia berkacak pinggang.

Rokok itu masuk ke tong plastik biru setinggi dada. Desi tak sempat melihat reaksi pemuda malang itu. Telinganya berdenging karena ledakan. Sosok-sosok itu pelan-pelan terbakar. Mereka mengeliat-ngeliat. Beberapa bagian tubuh terlempar di depannya. Desi menggigil. Ruangan kembali terbakar seperti semula.

***

“Bagaimana saya ditemukan?” tanya Desi pada pria di samping ranjangnya.

“Kamu beruntung, seorang pengangkut sampah melihatmu masuk pabrik itu. Ia langsung menelepon kantor polisi. Semula kami tidak percaya. Pabrik itu sudah tidak beroperasi selama sepuluh tahun, tidak mungkin ada orang masuk kesana untuk mencuri sesuatu.”

“Tapi pabrik itu membuka lowongan kerja di koran.”

“Alamat pabrik yang kamu lamar nomor 79. Kamu masuk di nomor 69.”

“Apakah korban-korban ledakan itu dimakamkan?”

Polisi itu menggeleng. “Tubuh mereka hangus terbakar. Yang tersisa cuma tulang-tulang. Sangat sulit memakamkan mereka. Sejak itu pabrik tidak pernah beroperasi lagi. Pemiliknya menganggap pabrik itu sebagai makam mereka, dan ditinggalkan begitu saja.”

“Begitu saja? Mereka manusia, Pak. Seharusnya ada upacara pemakaman meskipun dilakukan untuk semua orang.”

“Justru itu. Saya datang kemari mengundangmu untuk hadir di upacara pemakamannya. Lima pemuka masing-masing agama kami datangkan.”

Seminggu kemudian, Desi menatap ke atap pabrik. Sesekali pandangannya menuju langit. Sepanjang upacara pemakaman lima agama berlangsung, ia melihat sosok-sosok hitam pelan-pelan keluar dari atap dan membumbung ke angkasa.
 * sumber gambar: pinterest.com

Pabrik Derita Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar