Kenangan ini pasti kembali, pikirnya. Kakinya berjalan pelan menuju ke gedung di daerah Notredame Adventure Park. Lehernya terjangkit pegal seperti iklan-iklan pereda nyeri otot. Tidak cukup mengedari seluruh permukaan gedung dalam beberapa menit. Ketinggiannya membuat orang harus mengangkat dagunya tinggi-tinggi sebelum pandangan mereka sampai atap gedung.
Ruangan masih sepi. Undangan reuni memang jam tiga sore. Dita datang lebih dahulu karena belum tahu alamatnya. Jaga-jaga kelamaan mencari alamat. Beberapa orang mondar-mandir. Beberapa dikenalnya sebagai teman SMP-nya, sebagian entah. Mungkin juga temannya atau petugas yang disewa untuk menyelenggarakan reuni.
Dita berusaha menyapa orang. Pura-pura mengenal mereka. Jika beruntung mereka menyebutkan nama sehingga dia tidak malu karena tidak mengingat mereka. Jika mereka pelit, Dita pura-pura menebak kelas mereka. Paling-paling kalau salah mereka akan bilang kelas mereka sebenarnya. Setelah berbasa-basi, Dita menuju belakang gedung. Diantara bagian dalam dan luar dibatasi kaca tebal, sehingga dari dalam gedung bisa melihat danau buatan yang asri. Satu-dua pohon ditumbuhkan di dekat danau. Dita mencoba dermaga apung yang dikaitkan dengan tepi danau pada sebuah potongan kayu padat.
Dermaga…perahu-perahu kecil…suara gemercik air…
“Kamu takut?”Ari memegang bahu Dita.
Dita cuma nyengir. Takut sih, batinnya. Tetapi lebih takut melihat wajah kamu. Entar jatuh cinta kan repot.
Perahu kecil yang mereka naiki bergoyang-goyang. Dita sempat menjerit. Bayangan kapal tenggelam di film Titanic menggayutinya.
“Tenang, Dit. Ini cuma danau, bukan laut Antartika. Kalaupun kejebur juga gak masalah. Kamu dan aku bisa renang. Tepian enggak jauh-jauh amat dari sini. Malah Ahmat yang terlalu jauh, soalnya dia lagi USA.”
Pria itu melemparkan kail pancingnya. Dita duduk lagi di bagian tengah bersama Ari. Ia mengambil gambar di sekelilingnya dengan kamera kesayangannya. Sudah sejak empat bulan ini Ari tiba-tiba hobi mancing. Dia selalu mengajak Dita untuk menemaninya mancing daripada pacarnya sendiri, Mona.
“Kenapa kamu tidak mengajak Mona saja?”
“Ah dia itu puteri solo. Mana mau ke tempat-tempat beginian.”
“Enggak cemburu?”
Ari tertawa. “Aku udah ijin kok. Lagipula dia tidak akan cemburu dengan laki-laki.”
Dita cemberut, “Maksudmu aku laki-laki? Aku juga bisa dandan kayak puteri solo.”
“Oh, ya. Kalau gitu coba besok kamu dandan. Aku pengin tahu, bisa enggak bedain kamu pakai lipstick atau habis makan ayam mentah.”
Dita menggelitik pinggang Ari. Pria itu berteriak-teriak. Dita tahu, Ari paling tidak suka digelitik di pinggang. Itu bagian dari badannya yang sangat sensitif. Ari melemparkan pancing ke lantai perahu, ia berbalik dan memeluk Dita kencang-kencang agar tangannya tidak bisa menjangkau pinggangnya.
“Kenapa bukan aku saja yang jadi pacar kamu?” Dita mengeluh dalam hati. Ia menghentikan mengejar pinggang Ari. Bukan karena pelukan Ari demikian kuat, tetapi karena angannya melambung membayangkan Ari memeluknya bukan sebagai sahabat, tetapi kekasih.
Dita tersenyum. “Mudah-mudahan kamu datang. Kamu akan lihat aku beda dengan yang dulu.”
Dita akan melanjutkan lamunannya, tetapi telinganya menangkap suara kayu-kayu dermaga berderak. Goyangan dermaga membuat Dita takut, persis goyangan di kapal itu, ketika menemani Ari memancing. Dita ingin menjerit, tetapi lebih dulu terkejut. Dua buah lengan memeluknya dari belakang.
“Jangan takut, Dit. Ini bukan lautan Antartika.”
Sontak Dia merasa terbang melayang. Suara itu. Suara yang dikenalnya. Dita membalikkan badan. “Ari.”
Pria di depannya tersenyum. Deretan gigi rapi. Celana kargo dan baju flanelnya, masih seperti dulu. Ari selalu memakai pakaian-pakaian outdoor seperti ini.
Dita memeluk Ari lagi. Dihisapnya dalam-dalam parfum beraroma rempahnya. Bau badannya tidak berubah. Tiba-tiba Dita ingat sesuatu.
“Sorry. Lupa kalau kita udah tua. Kamu udah punya anak berapa?”
Ari menggeleng. “Aku nunggu kamu.”
Dita memukul lengan Ari keras-keras. “Aku ini serius.”
“Serius. Kenapa sih gak percaya?”
“Wajah playboy kayak kamu masih sendiri sampai sekarang? Gak percaya.”
“Playboy? Itu yang kamu pikirin tentang aku? Apakah playboy kalau aku menunggu kamu sampai sekarang?”
“Mona?”
“Dia kawin sama bule.”
Ari tercenung. Ia menoleh pada Dita yang duduk di sisinya menghadap telaga.
“Andai aku memintamu menjadi kekasihku, kamu mau?”
“Kamu tidak pernah bilang selama ini.”
“Aku takut.”
“Takut? Aku tidak punya pacar. Orangtuaku juga mengenal kamu sejak kecil. Apa masalahnya?” Dita jengkel. Kenapa Ari tidak mengatakannya kalau pria itu menyukainya. Selama ini ia selalu bimbang bila ada pria mengutarakan cintanya. Haruskah diterima? Bagaimana jika suatu ketika Ari yang akan menembaknya? Ia lebih suka memilih Ari.
“Aku takut menyakitimu. Sejak kecil apapun masalahku jadi masalahmu. Kalau kita pacaran, kita mungkin akan bertengkar, kalau udah gitu, dengan siapa aku curhat lagi? Kamu bukan lagi temanku, tetapi kekasihku.”
Dita akan bersuara, tetapi sebuah teriakan dari dekat gedung mengangetkannya.
“Ditttttt….sebentar lagi acara mulai. Masuk yuuuuk.”
“Masuk, yuk. Ikut acara dulu, entar dilanjutin lagi.”
Ari tersenyum sambil merogoh kantong. “Kamu duluan, aku mau ngerokok sebentar.”
Dita sebal. Dari dulu Ari senang merokok. Guru BP sudah capek memberi surat panggilan ke orangtua Ari ketika mendapati Ari merokok.
“Ya, udah. Awas gak masuk. Kita gak temenan lagi.”
Ari tersenyum. Rokok pada bibirnya menyala. Dita semakin sebal. Aneh. Kenapa cowok yang menarik selalu menyebalkan? Apakah justru itu yang membuat mereka menarik?
Seseorang menyodorkan lilin yang dilindungi oleh potongan bagian atas botol dan diletakkan pada sebuah tempat makanan styrofoam tipis.
“Teman-teman…,” pembawa acara berbicara. “Sebelum kita bersenang-senang untuk merayakan pertemuan kita setelah dua puluh lima tahun meninggalkan SMP. Marilah kita mengingat teman-teman kita yang sudah berpulang—”
Dita melihat foto-foto teman-temannya yang sudah meninggal pada layar besar di dinding. Salah seorang temannya memainkan lagu romance de amor dengan gitar di panggung. Semua terhanyut suasana. Setiap kali foto diganti dengan foto yang lain, mereka mengangkat lilin tinggi-tinggi.
“Dan teman terakhir kita. Ari Adhidharma—“
Dita melongo. “Ari?” Dita memegang tangan temannya yang tepat berada di sampingnya.
“Kenapa Ari meninggal?”
“Lho, kamu enggak tahu, Dit? Kamu kan teman dekatnya.”
“Kenapa? Kenapa Ari meninggal?” Suaranya mendesak parau.
“Katanya sih dia frustasi waktu ditinggal Mona. Dia menjatuhkan sepeda motornya di jurang waktu SMA.”
Dita membalikkan badannya dan berlari menuju arah luar. Suasana menjadi gaduh karena orang-orang menjatuhkan lilinnya gara-gara ditabrak Dita. Matanya menatap ke arah dermaga. Dita jatuh terduduk sambil melihat dermaga yang kosong.
0 komentar:
Posting Komentar