Tolong Ingat Aku
Catatan Penulis:
Cerpen ini saya buat untuk mengenang sahabat saya
Harry Suharsono, 9 April 1975 - 27 Juli 2016
Anes membuka mata. Sinar matahari belum seberapa menyilaukan. Baginya hari masih terbilang pagi di jam enam. Kucekan-kucekan di mata tidak terpengaruh. Kantuk masih saja bandel bertengger. Mulutnya seketika terbuka ketika menyadari tempatnya sekarang ini. Pantatnya duduk pada sebuah batu hitam. Rumput-rumput kecil terpotong rapi. Gedung di depannya berbentuk huruf L. Sekelilingnya dipagari luntas yang tumbuh subur.
Anes berdiri. Tangannya menyapu-nyapu pantat. Bekas potongan-potongan tanaman tidak mau hilang. Embun menjadikan dirinya lem yang menempelkan tanah dibawah pantatnya.
“Lho, ini kan sekolah SD-ku dulu.” Kepala Anes berputar mencari dua tiang dengan papan putih yang dipaku di keduanya.
SDN Kalisari II No. 513.
“Nah, kan.” Anes senang tebakannya benar. “Tetapi kenapa tiba-tiba aku disini?” tanyanya gusar.
Belum sempat terjawab, telinganya mendengar suara tapak kaki dari kiri. Kepalanya reflek menoleh. Bukan hanya mulutnya terbuka lebih lebar dari tadi, tetapi hatinya mencelos.
“Harry? Harry Suharsono.” Anes mundur tak percaya.
“Kamu takut?”
“Tapi kamu sudah meninggal. Aku sendiri sudah ke makammu.”
Harry tersenyum. Matanya membulat, kemudian dengan cuek ia duduk di samping batu tempat Anes duduk.
“Yuk duduk.”
Anes masih takut-takut mendekatinya. Ia mengambil jarak agak lebar. Siapa tahu tiba-tiba wajahnya berubah seram seperti film-film horor atau tiba-tiba mencekik seperti film-film Susana.
Anes dan Harry diam dalam waktu lama. Cukup lama sehingga membuat Anes merasa aman dan mulai menggeser duduknya mendekati Harry.
“Apa ini mimpi?”
Harry mengiyakan. “Banyak cara orang-orang di tempatku untuk berbicara dengan manusia-manusia di bumi. Salah satunya lewat mimpi.”
“Lantas kenapa kamu ingin berbicara denganku?” Anes lega. Harry menyakinkannya bahwa dia berniat baik meskipun dirinya tidak menyangkal keadaannya sekarang ini. Sudah meninggal.
“Ibuku sudah meninggal. Aku juga. Dan aku belum punya istri.”
Anes sudah tahu. Keluarga Harry sudah menceritakan kepadanya bagaimana situasi keadaan Harry di saat terakhir hidupnya.
“Tidak ada yang mungkin mengingatku. Karena aku tidak punya anak.”
“Aku yakin keluargamu yang di Tembok Dukuh pasti mengingatmu. Mereka sedih waktu bercerita tentang kamu. Aku yakin mereka memikirkanmu.”
“Ya semoga. Orang-orang sepertiku tidak bisa memaksa orang-orang di dunia mendoakan kita. Kita hanya berharap.”
“Aku yakinkan kamu. Andai tidak ada orang yang mengingatmu, aku dan teman-teman SD kita pasti mengenangmu.” Anes berusaha menyakinkan Harry. Ia tidak ingin Harry menjadi gusar. Dia harus tenang dan damai. Itu yang dibutuhkannya sekarang.
“Yoyok barusan membuka grup WhatApps baru. Dia sudah memasukkan hampir semua teman-teman kelas kita. Ia baru saja bilang bahwa tugas kita untuk mendoakan kamu.”
Harry tampak senang. Sudut bibirnya sedikit terangkat.
“Siapa anggotanya?”
“Handoko, Elisa, Ester, Ria, Dody, Mbak Tinik, Amanda—“
“Amanda?” Dahi Harry berkerut. “Maksudmu Anna?”
“Yeup. Dia bilang selalu sama-sama kamu pulang-pergi sekolah.”
Anes senang senyum Harry mulai mengembang. Tidak seharusnya orang seperti dalam keadaan Harry berduka. Dekat dengan Tuhan bukankah suatu hal yang menggembirakan?
“Iya. Kita seperti majikan dan bodyguard.” Harry mengingat-ngingat saat-saat Amanda memukul teman laki-lakinya. Bahkan Anes sempat menghalang-halangi ketika Amanda mengejar-ngejar Made. Duh, ini cewek sering kesurupan, ya?Anes mengelus-ngelus dada.
Anes tertawa. “Yang bodyguard pastilah Anna. Andai Yunita ketemu Anna, maka rusaklah dunia wanita. Satunya mantan cowok, satunya preman pasar.” Kemudian ia meneruskan, “Terus ada Linda, Boby, Irwan, Dyah. Oh, ya. Suami Dyah barusan meninggal—setelah kamu.”
Harry menghela nafas ketika memandang ke arah langit. “Kalau waktu itu aku masih hidup, aku pasti ke rumahnya.”
“Aku tahu. Kalian tampaknya selalu bersama-sama sewaktu kecil.”
Harry menangkap sesuatu dalam nada suara Anes. “Kamu cemburu?”
“Cemburu? Buat apa?”
“Karena aku lebih bersama-sama mereka daripada kamu.”
Anes tertawa kecut. “Hei, man. Kita bukan anak kecil lagi. Lagipula Mulyosari dan Wisma Permai itu gak dekat. Wajarlah kalau kamu lebih sering bersama Anna, Bayu, Dodi, Jarot atau Pipi daripada aku.” Anes tiba-tiba tertawa lebih keras, “Dan satu lagi. Dona. Masih ingat Dona?”
“Cewek di dekat rumah Ronny?”
“Ya, Kamu tahu kita dulu berdua suka sama dia. Kita mengundang dia ke rumahmu tapi aku lebih banyak diam.”
“Kamu suka tapi malu.” Harry menggoda.
“Bukan suka.Tapi daripada enggak ada.” Anes dan Harry tertawa ngakak.
“Tapi benar, kan, kalau aku merasa kamu seperti tidak enak mengucapkan kata ‘bersama-sama’ tadi.”
Anes menarik nafas. “Bukan cemburu. Tapi menyesal. Tahun 2009 aku sama Jarot pernah berusaha mencari kamu. Tetapi ketika kita menemukan kamu, aku dan Jarot tidak pernah ke rumahmu. Paradoks ya?”
Harry menepuk pundaknya. “Kita tidak bisa berharap semua orang akan sama seperti ketika mereka masih kecil. Saat dewasa pikiran kita dipenuhi ‘bagaimana mencari makan sendiri’, ‘gimana mencari pasangan hidup’, ‘cari uang buat sekolah anak-anak’. ”
“Tapi aku menyesal karena tidak bisa membuktikan jadi teman yang baik.”
“Buat apa bukti? Aku percaya. Tindakan seseorang tidak harus selalu fisik. Segala pikiran, angan, dan kemauan sudah jadi bukti apakah seseorang itu berarti bagi orang lain.”
“Kamu cuma menghiburku.”
“Tidak. Aku berkata yang sesungguhnya.” Harry kemudian berdiri. “Yuk, ikuti aku. Tur mengelilingi sekolah.”
Anes bingung. Tur sekolah? Apa maksudnya? Tetapi ketika Harry dan dia berdiri dekat tiang bendera, Anes terkejut.
“Ini pemandangan waktu kita kecil.” Anes mengedarkan pandangannya. “Apakah mereka bisa melihat kita?”
“Tidak. Ini hanya memori. Kenangan. Kejadian ini sudah lewat.”
Anes tertawa, “Lihat gadis kecil itu.”
Harry mengarahkan pandangannya ke arah pandangan Anes. Seorang gadis kecil berpita biru dengan mata besar tampak duduk dekat tong sampah.
“Linda.” Seru Harry. “Dari dulu sampai dewasa dia tetap imut. Kecil. Matanya gede.”
Anes tertawa, “Agak mirip Ester, ya? Apalagi pipinya. Sama-sama kecil seperti tomat baru mengembang. Aku pernah bilang di facebook kalau dia itu mama tapi kayak ABG. Anaknya cowok, satu.”
Harry berseru lagi. “Kamu tahu siapa dia?”
Anes melihat ke arah telunjuk Harry. Seorang gadis lebih kecil dari Linda duduk dengan teman pria mereka. Ujung hidungnya tampak merah jambu dengan keringat di sekelilingnya. Matanya yang kecil benar-benar cocok dengan rambut potongan pendeknya dan kepala tak lebih besar dari bola volley.
“Ria dan Dody, iya, kan?” Anes menebak.
“Tentu saja. Dari dulu mereka kelihatan saling menyukai. Ria kelihatannya tampak malu-malu, tapi menurutku dia cewek yang tegas.”
“Setuju. Matanya memang kadang-kadang kurang fokus kalau ngomong, tapi gak berarti dia gak punya power.”
Anes hendak mengajak Harry duduk di dekat tiang bendera, tetapi tiba-tiba Anes merasa ada sesuatu yang melewati mereka dengan cepat. Kepala Harry menggeleng-geleng. “Beny. Teman kita yang suka ngebut. Kamu tahu, kan, dia akhirnya kecelakaan sepeda motor.”
Beny memacu sepedanya mengelilingi tiang bendera. Tiga kali ngepot dan sekali melayang ke udara karena batu besar yang sengaja ditabraknya. Nanik mundur ke arah dinding sekolah. Hampir saja Atho Ismani terjerembab ke got karena dorongan tubuh Nanik.
Anes melihat dirinya sendiri sedang bermain kelereng dengan anak laki-laki berbadan besar. Dia Irwan. Batinnya. Lagi-lagi Anes tertawa. Ia ingat, di saat seperti ini ia pernah melepas sepatunya karena kemasukan pasir. Irwan melihat ujung kaos kakinya yang berlubang kemudian tertawa ngakak. Jaman itu tidak ada istilah bullying. Semua celaan cuma bercanda. Anes bahkan mengistilahkan kaos kaki berlubangnya dengan kaos kaki mojopahit. Entah dengan dasar apa. Yang jelas nama itu muncul setelah melihat kaos kakinya. Mungkin maksudnya kaos kakinya adalah kaos kaki lama yang sudah seharusnya diganti.
Anes menoleh. Harry tampak terpekur. Anes yakin masih ada sesuatu yang dipikirkannya. Ingin ia bertanya tetapi urung. Tidak selalu bertanya adalah cara berbicara yang baik. Terkadang terlalu banyak bertanya terlihat menjengkelkan.
“Lihatlah Nes. Masa kecil kita bahagia. Kamu mungkin mengenang aku sebagai orang yang pertama kali memakai BMX, orang lain akan mengenang aku sebagai mantan ketua kelas.”
“Mantan pacar Elisa juga,” Anes bergurau.
Harry tertawa, “Kamu masih ingat ya?”
“Jaman dulu pacok-pacokan itu biasa. Kita saling cela. Saling menyebutkan nama orangtua. Kadang kita bertengkar tetapi itu semua menjadi kenangan ketika kita dewasa. Di WhatApps kita ramai membicarakan masa kecil kita. Dulu kelakuan mereka bikin kita jengkel. Tetapi sekarang kita jadi punya bahan ngomong.”
Garis-garis di dahinya terlihat lebih tajam. Harry seperti melamunkan sesuatu.
“Dan sekarang kenangan ini aku bawa sampai mati. Semua pergi.”
“Tapi kami masih mengingatmu. Andai mereka tidak, setidak-tidaknya kamu masih punya aku. Aku janji akan mendoakan kamu terus.”
Harry menepuk-nepuk punggungku. Ia berdiri dengan gelisah.
“Kamu mau pergi?” Anes curiga. Tubuh Harry seperti memudar. Sedikit-demi sedikit pemandangan di bagian belakang Harry terlihat.
Harry mengangguk.
“Sampaikan salamku untuk Benny, Widya, dan Yudi.”
Harry mengangguk lagi.
“Har—“
Harry membuka matanya.
“Aku minta maaf. Kita enggak bisa ngomong-ngomong seperti ini disaat kita dewasa. Kamu terlalu cepat pergi.”
Harry tidak tersenyum lagi. Wajahnya kembali datar seperti ketika pertama kali ia menampakkan diri di mimpiku.
“Kamu mau menuliskan apa yang kamu mimpikan sekarang?”
Anes mengangguk. “Sudah pasti. Biar Agung, Pitono, Dono, Titas, Ika, Jarot dan lain-lainnya tahu bahwa kamu juga masih mengingat kita. Dan percayalah, kami juga mengingatmu.”
Senyum Harry mengembang lagi. Sayang, Anes tidak dapat melihatnya lebih lama. Tetapi ukiran di jiwa pastilah lebih lama daripada gambaran dunia ini. Dunia akan hancur. Setiap tempat kenangan akan musnah, tetapi sebuah persahabatan akan abadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar