“Kemasi barangmu sekarang.”
Syanne mendongak. “Kenapa?”
“Tempat ini tidak aman buat kamu. ”
Syanne mengemasi barang-barang; memasukkannya dalam satu tas lantas mengikuti Deni ke bawah. Di belakang lantai satu, Deni membuka pintu dari besi yang dibaliknya ada sebuah taman kecil. Sepintas tak ada yang istimewa. Kursi kecil dengan meja kayu bundar menghadap tembok ruko paling belakang. Seluruh permukaan tembok ditutupi oleh gendola. Tangkainya yang berwarna merah dan daunnya yang hijau menutupi tembok seperti wallpaper.
Deni menyibak gerombolan tangkai gendola untuk mengetahui cuatan tuas dibaliknya. Terdengar bunyi klik saat telapak tangannya menekan tuas. Pintu bergeser dengan kekuatan bahu Deni.
“Ayo masuk. Kenalkan, ini rumahku yang sebenarnya.” Deni meringis.
Mereka masuk lewat dapur menuju ruang tengah.
“Kamu tidur disini.” Kata Deni setelah membuka pintu di ruang paling kiri.
Gitar klasik merek terkenal tergantung di dinding bertarung ramai dengan hasil cetak printer dari foto-foto digital. Syanne melihat sebuah dry box dinding kaca. Di dalamnya berjajar tiga lensa kamera dan sebuah kamera di rak paling atas.
“Aku memang kepo. Tapi kalau kamu memang punya rumah disini, kenapa kamu tidur di ruko. Bukankah disini lebih nyamana?”
“I hate this home, to tell you frankly. Rumah ini selalu mengingatkan aku sama Papa, pria yang tidak ingin aku ingat.”
Syanne melihat geraham Deni mengejang. “Sorry, aku tidak tahu.”
“That’s ok. Oh, ya. Kamu istirahat dulu aja. Aku mau ke bengkel dulu. Kayaknya banyak motor yang harus dibetulin sesudah aku memecat Udin. Jangan segan-segan telpon aku kalau ada apa-apa. Entar sore aku akan bawa kulkasnya kesini, biar kamu enggak usah bolak-balik ke ruko.” Deni berbalik menuju pintu dapur. “Dan ingat. Kamu nggak usah masak. Kita beli aja di warung langgananku.”
***
Sore hari, setelah bengkel tutup, Deni mandi dan bergegas ke rumah belakang untuk mengajak Syanne makan malam. Bau masakan langsung membuat perutnya diguncang gempa lapar. Syanne sedang mengaduk-ngaduk panci. Kuahnya merah, mungkin karena kacang merah yang sesekali muncul di permukaan air yang mendidih. “Aku sudah bilang kamu jangan masak.”
Syanne mengerling sebentar. “Ini caraku biar enggak ingat yang enggak-enggak. Lagipula kalau tiap makan kamu beli, uangmu cepat habis.”
“Kayaknya cowok kalau punya istri pasti dapet omongan kayak gini.”
Syanne tertawa. “Kan itu demi hematnya duit. Itulah alasan dunia juga diisi cewek, supaya hidup cowok keruan.”
“Ya, Ma.” Deni terkekeh lantas berjalan ke arah ruang tengah. “Aku perangkat perang buat makan.”
Syanne kali ini berbalik terkikik. “Hati-hati ngomong kayak gitu pas ada Niken. Bisa habis masa depanmu.”
“Kalau masa depanku habis sama Niken, kan masih ada masa depanku sama kamu.”
Syanne menjulurkan lidahnya.
“Enakkkk… beneran enak. Kok bisa sih kamu masak kayak ginian.”
“Mama belum kesampaian buka resto jadi Mama ngajarin aku dikit-dikit, siapa tahu entar aku yang nerusin.”
“Benar-benar calon istri yang ideal.”
“Dasar cowok, maunya yang enak-enak. Kalau disuruh cuci piring ama cuci baju mau?”
“Mau dong kalau imbalannya makan beginian.” Tiga guyuran centong sayur mengisi piring Deni.
Syanne menunggu Deni memasukkan sendok ke mulut sebelum berkata, “Den. Mama mau kesini, boleh?”
“Tentu saja boleh, kamu memang anaknya.”
“Ma kasih, aku pikir tadi enggak boleh.” Syanne melanjutkan menghabiskan sisa-sisa nasinya.
“Terus bagaimana dengan itumu.” Deni menunjuk perut Syanne dengan kepalanya. “Apa enggak sebaiknya diperiksa dokter.”
Syanne terdiam setelah mengelap mulutnya. “Aku bingung, Den. Entar aku kesana sebagai apa? Dokter pasti bertanya ‘suaminya mana?’ Aku jawab apa?”
“Aku yang antar kamu. Jadi sudah jelas jawabannya.”
Syanne melihat wajahnya. “Aku enggak mau ngrepotin kamu lebih jauh. Kamu udah berbuat banyak buat aku. Sementara aku sama sekali enggak bisa bales apa-apa.”
“Sudah dua hari ini kamu masak buat aku. Kok bisa-bisanya kamu bilang enggak berbuat apa-apa.”
“Sama sekali enggak cukup buat bales kamu.”
“Syan.” Deni mengelap mulutnya. “Aku terima kamu disini sebagai teman. Bukan orang kos atau tamu hotel. Itu artinya hubungan kita bukan untung rugi. Please, nggak usah mikirin harus bales apa. Kita harus buktikan pada makhluk yang disebut ayah bahwa seorang anak juga mempunyai kekuatan. Tanpa ayah kita juga bisa berhasil.”
“Aku tidak mau membalas ayahku. Kalau dia meminta maaf aku bakalan memaafkannya.”
“Setelah dia memperkosamu. Kemana dia saat ini? Tidur? Lihat aku. Kalau ayahku tidak brengsek, aku sekarang masih bersama mereka. Mama tidak akan mati karena stress memikirkan papa. Dan Papa tidak akan mati karena minum minuman keras. Kemana mereka saat anak-anak seperti kita membutuhkan mereka? ; Tidak, Syanne. Aku tidak akan memaafkan ayahku. Kalau dia berlutut dihadapanku saat ini, maka aku meminta dia mengembalikan Mama terlebih dahulu sebelum kata maaf keluar dari mulutku. ”
Syanne berdiri. Tiba-tiba Deni menjadi orang asing. Deni yang lembut dan pengertian berubah menjadi pendakwa. Deni yang baru menyelamatkannya dari Udin berubah menjadi musuh.
“Itu bukan urusanmu. Aku bukan apa-apamu. Kalau kamu mau balas ayahmu enggak usah ngajak-ngajak aku.” Syanne mendorong kursi terlalu keras dan menghantam tembok. Langkahnya setengah berlari menuju kamar.
“Syanne. Maaf. Aku—“
Suara Deni menabrak pintu yang baru ditutup Syanne.
***
Deni menarik sarungnya lebih tinggi. Udara semakin dingin. Matanya menatap bulan. Sekali-kali kelelawar dan burung berwarna hitam menghalangi pandangannya. Sejak kecil ia berteman dengan bulan. Ketika harus tidur sendiri untuk pertama kalinya, bulan yang membuatnya tidak takut gelap. Saat ketakutan, ia membayangkan seorang peri keluar menolongnya dari bulan.Sekarang pun ia membayangkan bulan sedang menemaninya. Angannya sempat menggodanya untuk membayangkan mamanya keluar dari sana.Tetapi itu tidak mungkin. Mama sudah berada di surga. Tempat Tuhan itu lebih indah dari bumi. Surga tidak mengenal air mata. Tetapi apakah Tuhan memperbolehkan seorang disana menengok ke bumi?
“Maaf. Aku tadi emosi.” Pemilik suara itu duduk di sampingnya.
Deni tidak menoleh. Pandangannya masih lurus ke atas.
“Kamu masih marah sama aku?”
Syanne menunngu Deni menjawab. Tetapi sampai beberapa lama Deni tidak mengubah posisinya. Syanne bangkit dan hendak berputar kembali ke arah tangga tepat ketika tangan Deni meraihnya.
“Temani aku sebentar,” bisiknya.
Syanne kembali duduk.
“Kamu benar. Aku tidak punya hak apa-apa sama kamu. Aku minta maaf. Setiap kali aku teringat ayahku, emosiku selalu terpancing.”
“Aku bisa mengerti.”
Keduanya terdiam beberapa lama sampai Syanne tiba-tiba bersuara.
“Andai keadaanku tidak begini. Apakah kamu mau jadi cowokku?”
Deni menoleh, tepat ketika Syanne mengangkat kepalanya yang sendari tadi bersandar. Kedua bola mata mereka beradu.
“Kamu tahu, aku pernah membayangkan menciummu.”
“Aku rasa kamu sekarang tidak perlu bermimpi.”
“Boleh?”
Syanne memejamkan mata.
Cerita sebelumnya:
Bag 1, Bag 2, Bag 3
*Sumber gambar: Karl Liversidge, https://www.artstation.com
0 komentar:
Posting Komentar