Dani
baru saja pindah ke tempat ini, suatu perumahan baru di tepi sebuah rawa.
Komplek Dani adalah komplek perumahan ketiga. Komplek terlama terletak di
sebelah utara. Sedangkan komplek lainnya di selatan. Komplek Dani terletak di
tengah-tengah dua komplek lama. Jarak antara satu komplek dengan komplek
lainnya lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki, melewati tanah berair beralang-alang
dan rumput setinggi anak umur tiga tahun.
Pada
hari pertama pindah, Dani sempat menangis selama sehari. Komplek ini masih
sepi. Penghuninya baru tiga orang. Tidak ada anak-anak yang dapat diajak
bermain. Kalau malam, Dani cuma mendengar suara jangkrik dan kumbang tanah.
Orangtuanya lantas mengenalkannya pada tetangga sebelah, Pak Dirman.
Pak
Dirman punya anak perempuan bernama Sara dan adik laki-lakinya, Irwan. Dani
lebih sering bermain dengan Irwan. Dalam seminggu saja, Dani dan Irwan sudah
bermain monopoli, ular tangga, dan tembak-tembakan.
“Aku
jenuh. Mainan yang lain, yuk,” ajak Dani.
Irwan
setuju, dia mengusulkan main di rawa. “Aku
pernah mancing sama ayah disana. Tidak panas. Banyak pohon.”
Sara
mendengar percakapan mereka. Segera ia bangkit sambil membawa bonekanya. “Aku
ikut, ya. Selama ini ayah tidak pernah mengajakku kesana.”
“Tapi,
Mbak. Ini cuma buat laki-laki. Perempuan tidak boleh ikut.”
Sara
hampir menangis. Baru saja hatinya senang karena akan berpetualang di tempat
baru. Ibu Sara menghampiri, “Sudahlah Irwan. Ajak Mbakmu juga. Kalau kamu tidak
mengajak Mbakmu, kamu tidak boleh ikut.”
Irwan
menggerutu. Tidak asyik main sama perempuan. Paling-paling nanti menangis. Padahal
ia berpikiran untuk mengajak Irwan main lempar lumpur. Rambut kakaknya panjang,
kalau kotor pasti dia menangis. Tapi ya sudahlah, daripada tidak boleh main.
Sara
malah girang ketika bisa menyentuhkan kakinya di tanah liat kering, sebuah
jalan setapak tempat ia berpijak. Sandalnya ia tenteng. Rumput-rumput dekat
sini tak seberapa tinggi. Di depannya terbentang bagian tanah lebih rendah.
Terendam air payau dengan ilalang sedang menua. Irwan mengambil sebuah.
Ditiupnya buah ilalang itu. Dani terbahak-bahak ketika bulu-bulu ilalang
tersangkut di rambut Sara. Kakak Irwan itu justru tidak marah, mereka malah
tertawa-tawa. Segera terjadi perang ilalang.
Capek
perang. Sara mengajukan usul untuk main petak umpet. Mereka langsung lupa
dengan kepenatan. Ketika membuang undi, Irwan yang kena giliran berjaga,
sedangkan Dani dan Sara bersembunyi.
Itulah
saat terakhir mereka melihat Sara. Gadis itu tak pernah diketemukan meskipun
Irwan dan Dani sudah mencari selama dua jam. Mereka menyerah. Dengan menangis Irwan
bercerita pada Pak Dirman. Bersama orangtua Daani, mereka mulai mencari kembali
di rawa. Sampai malam hari, Sara tetap tidak ketemu. Tangis Irwarn semakin
keras karena Bu Dirman pingsan berulangkali.
Beberapa
tahun kemudian, sepulang kuliah Dani terkejut. Orangtuanya baru saja
meneleponnya. Sara diketemukan. Bayangan-bayangan masa kecilnya kembali
menguar. Wajah Sara. Irwan. Bu Dirman yang menangis.
Sara
diketemukan di salah satu gubuk di rawa itu. Gubuk itu adalah tempat petambak garam
melepas lelah saat berhenti bekerja. Gubuk itu sudah tidak terpakai
bertahun-tahun sebelum orangtua Dani dan Sara pindah kesana, maka tak heran jazadnya tak pernah diketemukan. Jazad Sara utuh.
Sepertinya tanah disana mengawetkannya. Ia jatuh terperosok di bekas sumur di dalamnya.
0 komentar:
Posting Komentar