Faisal melihat ke arah luar. Dari menara ATC di tempatnya berdiri, dia dapat mengawasi seluruh pesawat yang berlalu lalang di bandara internasional ini. Faisal mendapat shift malam, oleh karena itu dia berusaha untuk tidur dari pagi sampai sore, tetapi entah kenapa, Faisal masih merasa agak mengantuk dan capek. Badannya terasa pegal-pegal. Kepalanya pening. Ia berharap dengan berdiri di depan kaca pembatas ini cukup membuatnya terhibur dan lega.
“Kopi, Pak.” Prapto menyorongkan secangkir stereoform pada bosnya.
“Ma kasih, To. Kok tahu kalau saya lagi ngantuk.”
Prapto tersenyum, lantas kembali ke tempat duduknya, menghadap layar-layar dengan grafik berwarna hijau. Faisal lantas menyandarkan diri pada sofa.
Belum sempat Faisal menyesap kopinya untuk ketiga kalinya, Burdin bersuara dengan agak keras. “Pak. Ada pesawat turun tapi tidak memberitahu indentitasnya.”
Faisal bergegas ke layar monitor milik Burdin. “Coba hubungi sekali lagi.”
Burdin berusaha mengontak, tetapi tidak ada jawaban. Faisal masih menatap layar monitor—melihat jarak pesawat dari bandara.
“Prapto! Kamu hubungi angkatan udara dan keamanan bandara. Burdin! Pending semua pendaratan dulu.” Suara Faisal menghilang ketika badannya menuruni menara.
Sesampainya dibawah, ia melihat beberapa prajurit angkatan udara berlarian sambil membawa senjata. Truk-truk pemadam kebakaran—airport crash tender— berjajar sepanjang jalan landing pesawat. Mobil ambulan memuntahkan sinar lampu darurat. Lampu-lampu kecil di jalur landing pesawat berkilat-kilat antara padam dan menyala. Sesekali membuat mata Faisal agak kabur, apalagi lampu di luar jalan landing dimatikan, sehingga pandangan semua orang mengarah pada lampu-lampu yang masih menyala.
Di sisi kiri, Faisal melihat orang-orang yang sedang menunggu jadwal penerbangan sedang mendekati kaca pembatas. Tempat mereka yang lebih tinggi dari landasan membuat mereka seperti manusia di dalam etalase. Wajah-wajah mereka tampak keheranan dengan keramaian yang tiba-tiba.
Gemuruh pesawat tampak semakin memekakkan telinga. Pasukan dari Kopaskhas tampak lebih bersiaga. Lamat-lamat semua mata melihat bayangan besar di langit mulai menurun. Faisal memicingkan mata. Tiba-tiba jantungnya serasa terhenti. Pandangannya kaget campur heran.
“Fokker F 27 100.” Mata Faisal melontot. “Bagaimana mungkin ada maskapai masih memakai pesawat model ini.”
Faisal tidak sempat berpikir panjang. Otaknya tak dapat mencerna pendaratan pesawat yang terlalu mulus. Terlalu mulus untuk pesawat buatan 1958. Faisal sibuk berusaha agar menjadi orang terdepan pada barisan paramedis yang berjaga-jaga. Beberapa orang pengaman bandara tidak mengijinkan orang-orang yang tidak berkepentingan untuk mendekati pesawat. Pasukan Kopaskhas menyerbu masuk.
Pasukan khusus TNI itu keluar lagi dalam hitungan menit. Faisal heran. Tak ada orang lain yang berjalan di belakang mereka. Tak ada penumpang yang perlu diselamatkan. Tak ada teroris. Semua serba tak jelas.
Sebuah mobil penarik pesawat—aircraft tractor—berjalan mengendap-ngendap menyeret pesawat memasuki hanggar.
Perasaan orang-orang sama dengan milik Faisal. Heran. Tak ada penjelasan apapun. Harapan mereka untuk melihat adegan bak film-film Holywood tidak kesampaian. Ada apa ini? Pesawat milik maskapai siapa? Kenapa tak ada penumpang yang turun? Dimana pilotnya?
Faisal masih tidak mendapatkan informasi apapun sampai beberapa hari kemudian. Setiap kali matanya berpapasan dengan hanggar pesawat itu, pikirannya selalu tergelitik untuk masuk kesana. Namun beberapa orang tentara dan garis polisi berwarna kuning mengurungkan niatnya.
Suatu ketika ia berhasil menyelinap masuk ke hanggar. Pengalamannya bekerja selama bertahun-tahun membuatnya tahu bagaimana memasuki hanggar tanpa terlihat siapapun. Dengan langkah penuh kehati-hatian kakinya menapaki tangga ke arah pintu masuk pesawat.
Faisal menahan nafas. Hampir-hampir ia lupa cara menghirup udara. Dari 44 kursi yang ada, hanya tiga puluhan yang terisi. Semua penumpang masih memakai pakaian lengkap. Hampir setengahnya berisi penumpang dewasa, sisanya remaja dan dua orang bayi. Pilot masih ada di kokpit, tertelungkup pada panel. Disampingnya duduk co-pilot—sedang bersandar. Kedua tangannya menggantung di samping tubuhnya. Semua tampak normal-normal saja. Kekurangan mereka hanya satu. Semua penumpang dan pilot cuma tinggal kerangka berbalut baju mereka sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar