Ari berlari sekencang-kencangnya. Ia menelan bulat-bulat rasa sakit pada tungkai dan sikunya. Ketika untuk sekian kalinya dia menoleh ke belakang, tubuhnya melayang. Ia menjerit dengan keras. Cuatan batu tajam mengoyak kakinya. Tubuhnya jatuh terguling-guling sampai pada tepian jurang.
Di ujung pandangannya, ia melihat sesuatu yang bergerak. Tingginya hanya selutut Ari. Kibaran helaian-helaian di atasnya mengikuti angin yang tiba-tiba ribut.
Ari memohon dengan cucuran air mata. “Jangan bunuh aku. Ampun…ampun.” Tangannya menebah-nebah tanah.
Sinar bulan mulai menyingkap perawakannya ketika perjalanannya tinggal beberapa langkah di depannya. Tidak ada bekas mata di lubangnya. Tubuh pucatnya sejenak berhenti. Mendadak tubuh kecil itu berteriak. Lengkingannya membuat Ari menutup telinga. Terlambat. Lubang telinga Ari mengeluarkan darah segar. Bekas jahitan pada pipinya mulai berdarah. Ari melolong. Ia mencoba bangkit dengan bantuan kedua tangannya. Seluruh tubuhnya perih. Urat-urat tubuhnya sedikit-demi sedikit melesak ke permukaan kulit. Dari luar, urat-urat itu tampak seperti rambut-rambut yang sambung menyambung. Kemerahan. Ari tak tahan lagi. Ia berusaha menyangga tubuhnya dengan satu kaki. Malang, bukan tanah yang diinjaknya, tetapi batu. Ari tergelincir. Beberapa detik kemudian tubuhnya melayang menuju lembah. Hantaman pertama pada batu besar membuat tulang lehernya patah.
Sosok kecil itu tampak berdiri tegak. Sinar bulan membuat asap hitam di sekujur tubuhnya terkuak. Asap tipis itu membumbung menjauhinya. Ketika asap itu menghilang, tubuh kecil itu jatuh melayang-layang dan mendarat di samping jasad Ari.
***
Bagian forensik sedang membuat foto pada mayat Ari. Detektif Hendra melihat dengan penuh minat pada jenasah Ari. Ia terkejut ketika Kholil menepuk lengannya. “Masalah sulit?”“Entahlah. Sulit atau tidak masih belum jelas. Aku masih menunggu hasil dari forensik dulu. Cuma ada sesuatu yang aneh.” Tangannya menunjuk pada boneka di samping Ari. “Aku sedang menangani kasus dugaan pembunuhan dan perkosaan seorang anak. Gadis itu diduga diperkosa oleh seseorang karena ada bekas sperma pada anak itu dan rambut kemaluan yang bukan milik korban. Ia ditemukan di dalam karung oleh seorang pemulung.”
“Terus yang aneh apanya?” Dahi Kholil berkerut.
“Boneka itu—“ tangan Hendra kembali menunjuk pada boneka di sisi Ari. “Adalah boneka yang sama seperti milik gadis korban dugaan perkosaan itu. Aku sendiri yang hadir saat paramedis membuka karung itu.”
" Sudah telpon bagian penyimpanan barang bukti?" Muka Kholil semakin tegang.
"Aku tahu maksudmu. Boneka itu hilang." Hendra kemudian berteriak, "Pak Edy?"
"Ya, Pak." Petugas forensik itu mendekati Hendra.
"Ada dugaan sementara kematiannya?"
"Sepertinya fraktura vertebra servikalis, kemudian pecahannya menusuk batang otaknya. Tapi bukan itu yang membuatnya menderita, sebab hal itu akan membuatnya langsung mati. Lihat permukaan kulitnya. Kelihatannya ada sesuatu yang membetot seluruh ototnya keluar. Rasanya pasti sangat menyakitkan,"
Hendra tercenung sesaat. "Kalau begitu saya minta tolong Pak Edy periksa juga apakah rambut kemaluan mayat ini sama dengan rambut kemaluan yang Pak Edy temukan di kasus Tasha."
Edy mencatat permintaan Hendra di tabletnya kemudian berlalu. Hendra dan Kholil saling beradu pandang. Masing-masing terbawa pada sebuah pikiran tak logis, namun keduanya tak ada yang berani bersuara.
0 komentar:
Posting Komentar