Kepada Yang Tersayang


Aku berpendapat bahwa memanggil orang yang sudah meninggal itu sangat terlarang. Alasanku ada dua. Pertama, kita tak akan pernah tahu apakah yang datang itu adalah orang yang kita panggil apa bukan. Kedua, Tuhan memang memberikan garis batas antara orang hidup dan mati. Orang mati tak akan dapat berkeliaran di dunia orang hidup. Begitu sebaliknya. Kalaupun ada orang hidup dapat berbicara kepada orang yang mati, itu karena kehendak Tuhan, bukan karena kita sengaja memanggilnya.

Tetapi aku melanggar prinsipku. Aku mempunyai kekasih bernama Nikita. Kurang dari tiga bulan sebelum dia meninggal aku bertunangan dengannya. Kecelakaan di jalan tol menewaskannya. Aku masih tidak terima akan kematiannya sampai sekarang.

Temanku memberikan alamat seorang cenayang yang dapat membantuku untuk berbicara pada Nikita. Bayarannya memang mahal, tetapi konon dia memang tersohor dengan keahliannya. Aku hanya klien termiskin untuknya. Banyak pejabat-pejabat yang sering memakai jasanya untuk berbagai keperluan.

Rumah cenayang tersebut agak besar. Serupa dengan rumah-rumah bekas kepala desa jaman dulu. Banyak tanaman jagung mulai berbuah kecil di sekelilingnya. Jarak dari jalan desa ke pintu rumah cukup jauh untuk ukuran orang kota sepertiku.

Ruangan yang akan dipakai untuk pertemuanku dengan Nikita tidak terlalu besar. Ukurannya sekitar lima kali enam meter persegi. Sebuah meja dengan beberapa kursi diletakkan di ruangan. Saat aku masuk, ruangan dalam keadaan gelap. Aku hanya mengikuti bayangan Bu Jono—nama cenayang itu—dari belakang.

Sesaat keadaan jadi hening. Aku sendiri lebih cenderung mengatakan sebagai mencekam. Sepi. Sedikit temaram dengan cahaya cuma dari satu lilin di tengah meja. Lamat-lamat aku mendengar suara seperti dengung lebah. Suhu ruangan turun. Kemudian terdengar suara seperti angin berdesir dari kejauhan.

“Nikita, apakah kamu sudah datang?” Suara Bu Jono terdengar lirih.

"Ja....ngan gang...gu a...ku." Suara itu diucapkan dengan nada berat dan terseret.

"Kamu Nikita?" Aku bertanya tidak sabar. Mataku melirik tempat sekitarku, meski gelap, aku masih melihat sedikit pantulan sinar lilin di beberapa perabot. Aku memang bukan orang yang terlalu percaya hal-hal seperti ini. Aku curiga, siapa tahu ada mikropon atau sound system yang menyebabkan suara-suara seperti ini.

Cenayang itu mencengkeram tanganku. Dia tampak tidak suka dengan kelancangannku.

"Nikita?"Suara Cenayang itu seperti kuatir. Matanya terpejam. Raut mukanya tampak menahan sesuatu. Mataku membuka sedikit, bergantian, aku memandang antara sekelilingku dan cenayang itu. Hidungku lambat-lambat mencium bau busuk. Aku berusaha melepas tanganku dari genggamannya, Tetapi cenayang itu semakin mempererat pegangannya. Aku tidak ikut. Kali ini aku memaksa memisahkan tanganku. Cepat-cepat aku menggunakan telapakku untuk menutup hidung . Cenayang itu membuka matanya terbelalak. Matanya menyorotku.

Tidak jelas apa yang terjadi setelah itu karena.aku menunduk. Aku mendengar bunyi seperti kayu patah. Aku menengadah. Bu Jono tidak ada. Lilin mati. Aku merasa tidak nyaman. Aku ingin berteriak memanggil Bu Jono, tetapi seperti ada segumpal besar ludah menghalangi pita suaraku. Aku bangkit dari kursi. Kakiku tidak bisa melangkah. Rasanya seperti kram bercampur kesemutan. Aku mulai ketakutan. Aku rasa ini bukan sekedar efek. Kalaupun iya, pembuat efek ini pastilah orang yang canggih.

Mataku mulai adaptasi dengan kegelapan. Samar-samar aku melihat seperti gumpalan gelap setinggi orang dewasa mendekatiku. Aku mencoba menggerak-gerakkan kakiku, tidak berhasil. Aku berharap bisa pingsan, tetapi mataku bahkan semakin terbelalak.

Sesuatu merayapi leherku. Aku kesulitan mengambil nafas. Kakiku sekarang bisa digerakkan, tetapi anehnya aku merasa kakiku tidak menyentuh lantai. Panik, karena menyadari keadaanku. Aku mencoba meninju-ninju sesuatu di hadapanku. Tangannku terasa meninju udara. Tak satupun yang menghalangi tanganku.

Tepat ketika pandanganku hampir padam, sesuatu seperti sinar putih mengelilingi sosok itu. Aku terhempas ke lantai dengan debu-debu berwarna abu-abu memenuhi udara. Sepertinya ledakan tadi juga menghempaskan jendela. Sinar bulan tampak masuk dari bundaran putih di langit. Aku tergopoh-gopoh menjauh dari tengah ruangan dan pergi secepat mungkin dari rumah itu.

Aku tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Mulai hari itu, aku sering membeli berbagai koran. Aku mencari berita-berita orang mati atau apalah. Jika Bu Jono mati tak wajar, koran-koran pasti memberitakan. Aku ingin tahu sekali nasib Bu Jono. Sampai sepuluh hari ke depan, tak ada berita yang seperti itu. Sekali waktu, aku melintasi rumah Bu Jono. Aku berharap bisa lega jika melihat Bu Jono.

"Kata orang roh Bu Jono tersesat."

"Maksud, Bapak?"

"Seminggu sebelum dia meninggal, Bu Jono seperti orang kurang waras. Pandangan matanya seperti kosong. Dia seperti menatap di tempat lain. Anak-anaknya mendatangkan orang pintar, kata dia roh Bu Jono dipaku di pohon beringin dekat sungai sana. Bu Jono berusaha melepaskan diri tetapi tidak bisa. Orang pintar itu juga tidak bisa."

"Jadi maksud Bapak yang terlihat itu cuma jazad Bu Jono?"

"Entahlah, Dik. Saya tidak seberapa tahu masalah itu. Saya sendiri juga dengar dari orang-orang. Lha, sampean sendiri ini siapa kok tanya-tanya Bu Jono."

Aku tidak menjawab. Aku meletakkan uang sepuluh ribuan di meja lantas pergi meninggalkan rumah Bu Jono.

"Dik, ini uang kembaliannya."

Suatu malam aku begitu merindukan Nikita. Aku mengambil fotonya dalam frame. Sesuatu seperti dahulu datang lagi. Kali ini aku tidak merasa takut. Sesuatu itu membuat hatiku damai. Aku tidak tahu apakah ini cuma perasaanku atau tidak. Aku merasa ada seseorang yang memelukku.

"Nikita, apakah Tuhan sekarang mengijinkan kamu menemuiku?"


sumber gambar: art.alphacoders.com

Kepada Yang Tersayang Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer