Pelabuhan Hati (Bagian 10) - TAMAT



“Hei, Non. Bangun dong.”

Flori mengusap-usap matanya dan menguap. “Ada apa? Sekarang masih pagi, kan?”

“Bukan pagi, tetapi masih malam. Sebentar lagi jam dua belas. Malemmmmm.”

“Masih ngantuk, Rom. Ada apa sih?”

“Aku pengin nunjukin sesuatu.”

“Besok aja kenapa?” Flori memeluk guling lebih erat.

“Duh, ni anak.” Rommy mengangkat Flori dan membopongnya keluar dari kamar.

“Nah, kalau ini baru asik.” Flori melingkarkan kedua lengannya.

“Bilang aja kalau lagi males tingkat dewa.”

Rommy membawa Flori melewati ruang belakang. Ia agak sulit membuka pintu belakang dengan keadaan membopong. Flori bukannya tidak tahu kesulitan Rommy, ia pura-pura masih ngantuk padahal hatinya bertanya-tanya “ada apa Rommy membawanya malam-malam ke kebun belakang?”

“Flori? Open your eyes and see.”

Flori membuka matanya pelan-pelan. Matanya silau oleh cahaya-cahaya dari depan. Ia mengusap-usap matanya untuk membiasakan diri dari gelap ke terang. Mulutnya terasa kaku ketika menyadari sesuatu di depannya. Rommy hampir terjerembap, Flori tiba-tiba menjatuhkan kakinya ke tanah.

“Rommmy? Ini beneran?”

Flori melihat beberapa lampu lampion menyala dalam sarung kertas biru. Ada yang diletakkan diatas kolam, digantung di pohon dan beberapa diletakkan dekat tembok dan jendela. Sebuah boneka coklat besar duduk diatas tikar dibawah pohon mangga. Flori berlari kearahnya, dinginnya rumput karena embun tidak mampu membuatnya berkeluh. Flori yang selalu mencuci kakinya berkali-kali karena tidak suka merasa lengket sekarang menjadi Flori gadis rimba, gadis yang suka berlari-lari dengan kaki telanjang kegirangan di alam. Rommy mengikuti dengan berjalan pelan-pelan. Ia tidak bisa tidak tertawa pelan ketika melihat Flori memeluk boneka besar itu dan berguling-guling di tikar. Flori berubah menjadi kanak-kanak berseragam putih merah.

Rommy menunggu sampai Flori berubah menjadi gadis putih abu-abu. Cukup lama ia duduk bersandar pada batang pohong mangga sampai Flori membuka matanya dan meletakkan boneka itu di sampingnya. Dengan kedua lututnya ia menghampiri Rommy dan memeluknya.

“Selamat ulang tahun. Semoga hidupmu selalu bahagia.”

Flori merenggangkan dirinya. “Kok kamu seperti tahu apa yang aku suka? Bisa membaca pikiranku?”

“Kamu tahu kenapa seorang ibu bisa mengutuk anaknya? Itu karena hubungan keduanya sangat dekat. Hubungan yang membuat sebuah hati tak memiliki pintu. Apapun yang mereka omongkan, pikirkan akan masuk begitu saja. Tidak heran orang yang berhubungan dekat akan mudah saling menyakiti.”

“Aku tahu maksudmu. Tapi ini ajaib sekali. Panda, lampion, warna biru—”

Rommy meletakkan telunjuknya pada bibir Flori. Tangannya merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak berbalut beludru merah. Flori terpekik. Salah satu telapak tangannya menutup mulutnya. “Rommmy.”

Rommy mengambil tangan kiri Flori. “Aku melamarmu. Maukah kamu kelak menjadi istriku?”

“Sekarang juga mau.”

“Aku bilang kelak. Bukan sekarang.”

“Tapi kamu bilang aku masih anak-anak. Kenapa sekarang kamu melamar anak-anak?”

“Kamu udah tujuh belas tahun. Kalau di novel-novel, usia kamu itu termasuk dewasa muda, young adult. Jadi aku berani melamar kamu sekarang.“

Rommy heran, wajah Flori berubah. Matanya lantas menatap tajam. “Sebentar Rom. Ada yang harus kita selesaikan sebelum aku jawab ini.”

Rommy terpengaruh serius. Tidak biasanya Flori yang hehe-hihi ini menjadi seperti karyawan bagian piutang.

“Aku pengin hubungan kita nantinya bisa lama. Jadi aku pengin kita berdua harus benar-benar jujur. Kalau aku enggak percaya kamu, aku enggak cinta kamu juga.”

“So?” Rommy masih tidak mengerti.

“Adakah yang kamu sembunyikan dari aku selama ini?”

“Tidak ada?”

“Beneran? Apa harus aku yang bilang?”

Rommy benar-benar tidak bisa tertawa seperti biasanya ketika melihat Flori. Mata dan mulut Flori sama-sama tertarik ke belakang.

“Aku polisi.”

“Yang menyamar?”

Rommy mengangguk.

“Sudah aku duga. Kamu sengaja mendekati aku supaya bisa menangkap Mama?”

“Darimana kamu tahu aku polisi?”

“Nanti aku jelaskan. Jawab dulu pertanyaanku.”

“Tidak.”

“Aku pengin tahu alasannya.”

“Bukan Mama kamu, tapi bandar yang dekat sama Mama-mu. Aku mengira Mama kamu mengantar kamu ke sekolah, jadi aku pura-pura memancing di danau itu supaya ada alasan mendekati mamamu.”

“Aku pengin kamu jujur, Rom. Apa kamu benar-benar menyukai aku, atau semua ini kamu lakukan supaya kasus yang kamu tangani selesai?”

“Kalau aku tidak benar-benar menyukaimu, seharusnya pura-puraku selesai ketika bandar itu mati. Tapi sekarang, barusan aku melamarmu.”

“Apa kamu melakukan ini hanya supaya aku bahagia karena kamu ingin menghiburkan setelah mamaku menin—“ mata Flori basah. Suaranya parau ketika mengucapkan kata terakhir.

“Tidak Flor. Aku benar-benar menyukaimu. Buat apa aku melakukan sesuatu yang bakalan akan terjadi seumur hidup hanya demi kamu bahagia.”

“Aku takut kamu hanya pengin aku bersemangat sekolah sampai kuliah, tapi setelah itu kamu baru bilang kalau kamu melakukan semua ini demi masa depanku, lantas kamu meninggalkan aku karena aku sudah dewasa. Aku tidak butuh rasa kasihan. Aku butuh kamu.”

Rommy menengadahkan kepala Flori. “Hei—baru saja aku melamarmu dan kamu masih tidak percaya?”

“Kamu baru saja bilang kalau kamu polisi yang menyamar, jadi bagaimana aku tidak kuatir kalau kamu masih menyembunyikan yang lain-lain.”

“Aku tidak bisa mengatakan operasi-operasi polisi sama kamu. Itu rahasia negara.”

“Aku mengerti. Tapi kemarin itu kan tentang aku dan mama.”

“Aku tidak bisa bicara banyak masalah itu, Flori. Aku hanya berharap kamu percaya sama aku. Sekarang jelaskan, darimana kamu tahu aku polisi?”

“Kamu begitu mudahnya menangani orang yang masuk ke rumah kita. Kamu hanya bilang kebetulan ada polisi patroli dan kamu menyerahkan mereka ke polisi itu. Terlalu mudah. Tidak ada polisi yang mewawancari kamu dan aku. Sepertinya kamu dan polisi itu seperti tahu sama tahu. Begitu juga dengan matinya orang di rumahku. Polisi sama sekali tidak menginterogasi kamu dan aku. Kalau kita orang biasa, pasti ribet. Tak akan semudah itu seperti tidak terjadi apa-apa.”

“Dan sekarang, apakah aku sudah mendapat kepercayaan kamu lagi? Atau aku harus mengarungi seribu lautan dan mendaki ratusan gunung supaya kamu percaya.”

“Kadang-kadang kamu itu terlalu lebay.” Flori meringis.

“Sekarang giliran kamu. Apa ada yang kamu sembuyikan dari aku?”

“Aku lari dari rumah kamu karena aku pikir kamu suka sama Martha.”

“Kamu tahu Martha? Dia teman kamu?”

Flori mengangguk. Ia menceritakan segala pembicaraannya ketika pertama kali mengatakan pada Martha tentang Rommy.

“Aku menyesal setelah bilang itu. Semula aku cuma bercanda, tetapi Martha menanggapi serius.”

“Kenapa kamu tidak tanya dulu ke aku. Aku kuatir setelah kamu punya pikiran kamu bakalan balik ke rumahmu.”

“Maaf. Aku emosi. Aku menyesal tidak tanya kamu. Mungkin Mama masih ada kalau aku tidak kesana.” Air mata Flori mulai mengalir. “Bodoh. Aku bodoh banget waktu itu.”

Rommy memeluk Flori. “Aku juga merasakan hal yang sama ketika adikku pergi. Tapi aku rasa kita tidak pernah menjadi seperti sekarang ini jika tidak pernah punya masalah. Aku mulai berpikiran, Tuhan menganggap Mama, Papa dan adikku telah usai menangani ujian untuk masuk ke tempatNya, sedangkan aku belum. Semacam remedy gitu.”

“Apa kita akan sama-sama seperti ini sampai lama?”

“Kenapa tidak? Sekarang jawab pertanyaanku tadi.”

Flori mengulurkan jarinya. Rommy menyelipkan cincin dari batu transparan yang dibentuk agar sinar yang memasukinya berpendar menjadi cahaya-cahaya berwarna lain.

Be my father. Be my lover.”

"Aku tidak ingin menjadi keduanya Flori sayang. Aku cuma ingin menjadi pelabuhan hatimu yang terakhir."

TAMAT 

Sebelumnya: Bag1, Bag2, Bag3, Bag4, Bag5, Bag6, Bag7, Bag8, Bag9

Sumber gambar: pinterest.com

Pelabuhan Hati (Bagian 10) - TAMAT Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Good Dreamer

0 komentar:

Posting Komentar